RUPANYA penyelesaian perkebunan sawit di kawasan hutan tak tuntas hingga pemerintahan Presiden Joko Widodo berakhir pada 20 Oktober 2024. Kendati sudah diatur oleh UU Cipta Kerja tentang denda administratif bagi perusahaan dan jangka benah untuk sawit rakyat, problem sawit ilegal itu masih belum jelas penyelesaiannya.
Berawal dari kampanye di Eropa terkait dengan minyak kelapa sawit di tengah isu perubahan iklim pada 2020, parlemen Eropa dan Dewan Eropa menyusun regulasi yang melarang produk yang terkait deforestasi masuk Uni Eropa. Komoditas tersebut meliputi daging sapi, kopi, cokelat, kedelai, kayu dan sawit. Upaya pemerintah menangkis kampanye negatif kelapa sawit, masih terganjal dengan adanya sawit ilegal yang masuk dalam kawasan hutan seluas 3,1-3,4 juta hektare.
Sawit di kawasan hutan tentu saja ilegal. Kebun-kebun ini ada di hutan konservasi seluas 115.694 hektare, hutan lindung 174.910 hektare, hutan produksi terbatas 454.849 hektare, hutan produksi biasa 1.484.075 hektare dan hutan produksi yang dapat dikonversi 1.224.291 hektare.
Satuan Tugas Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan. Hingga selesai masa tugasnya, satuan ini baru sebagian kecil bisa membereskan urusan ini.
Dalam rapat nasional koordinasi pemutihan lahan sawit ilegal dalam kawasan hutan di Hotel Kempinski Jakarata, 28 Maret 2024 lalu, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono menyebut bahwa total sawit yang terindikasi masuk kawasan hutan seluas 3,37 juta hektare. Jumlah perusahaan yang sudah mengajukan pemutihan lahan sawit hingga akhir Maret 2024 sebanyak 365 perusahaan dari target pemerintah yang mencapai 2.130 perusahaan (17,13%). Sementara Menteri KLHK sudah menetapkan 21 Surat Keputusan pemberian legalitas sawit di kawasan hutan.
SK itu terdiri dari subyek hukum swasta dan masyarakat. Sementara subyek hukum dari kebijakan pemutihan lahan sawit di kawasan hutan mencapai 6.556 unit (0,32%). Belum lagi, tidak transparannya sampai saat ini berapa sanksi administratif berupa denda yang dipungut berupa uang dari perusahaan yang sudah diputihkan ini.
Setelah pemerintahan berganti, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengatakan bahwa kementeriannya akan menggunakan data mutakhir terkait sawit ilegal untuk menentukan target awal penanganan dan akan membentuk satuan tugas yang sama di era menteri sebelumnya.
Masalah utama sawit ilegal di kawasan hutan adalah pemerintah terhadap perusahaan atau masyarakat yang melanggar PP 24/2021. Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya potensi PNBP dari denda kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan mencapai Rp 50 triliun. Kini data itu akan dihitung ulang.
Kejutan belum berakhir. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nusron Wahid mengatakan bahwa kementeriannya akan fokus menertibkan 537 perusahaan yang memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) tanpa Hak Guna Usaha (HGU). Selama 100 hari kerja Kabinet Merah Putih, Nusron mengatakan akan memberi sanksi pada perusahaan berupa denda pajak, dengan besaran yang saat ini sedang dihitung oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Kementerian ATR/BPN mencatat pada 2016 hingga Oktober 2024, ada 537 perusahaan kelapa sawit yang memiliki IUP tapi tidak memiliki HGU. Dari jumlah itu, ada sekitar 2,5 juta hektare lahan hutan yang dipakai menjadi perkebunan. Nusron Wahid mengatakan penertiban ini untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi yang telah ada sebelumnya, yakni Keputusan Mahkamah Konstitusi tanggal 27 Oktober 2016 terkait Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, khususnya Pasal 41.
Bisa dipastikan 537 perusahaan kelapa sawit yang mengubah hutan menjadi kebun sekitar 2,5 juta hektare itu memperoleh lahannya dari pelepasan kawasan hutan melalui alih fungsi lahan hutan produksi yang dikonversi (HPK). Tata cara pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor P.96/2018 lalu dikukuhkan menjadi PP 23/2021.
Meskipun izin/persetujuan pelepasan kawasan hutan telah terbit dari Menteri LHK/Kehutanan, apabila dalam waktu tiga tahun setelah evaluasi tidak kunjung terbit HGU, status lahan tersebut harus dikembalikan lagi ke negara menjadi kawasan hutan. Sudahkan kebun sawit yang seluas 2,5 juta hektare tanpa HGU dan telah dilepaskan sebagai kawasan hutan akan dikembalikan menjadi kawasan hutan atau akan juga diputihkan penerbitan HGU-nya meski terlambat?
Ikuti percakapan tentang sawit di kawasan hutan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :