BAGI kalangan umum, hutan biasanya bukan tempat yang menyenangkan. Tidak jarang pula hutan dianggap sebagai tempat yang angker atau menakutkan. Di dalamnya selain tempat binatang buas, juga tempat bermukimnya genderuwo atau jin yang menambah angker.
Kakek-nenek kita pada masa lalu sering menasihati agar kita menjauh dari hutan. Perkembangan kota-kota besar merupakan fenomena menjauhi hutan yang disebut urbanisasi.
Teori ekonomi regional klasik von Thunen menggambarkan konfigurasi penggunaan lahan berdasarkan nilai land rent yang menghasilkan pola tataguna lahan (land use) dengan nilai land rent tertinggi adalah kawasan pusat perkotaan, kemudian menurun secara berurutan: kawasan permukiman kota, perdesaan, pertanian, dan terakhir adalah nilai hutan.
Naiknya jumlah penduduk dunia tersebut, menurut World Economic Forum (WEF), telah menurunkan luas hutan di dunia dari sekitar 6 miliar hektare pada 10 ribu tahun lalu menjadi 4 miliar hektare pada 2018.
Menurut WEF, sejak 1900 telah terjadi kehilangan hutan di muka bumi seluas 1,1 milyar hektare. Luas hutan di Indonesia, terutama di pulau Jawa, sudah ada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Dampak dari kondisi ini diperlihatkan oleh frekuensi banjir yang naik, erosi tanah banyak yang menjadi penyebab cepatnya pendangkalan sungai dan bendungan, serta perubahan-perubahan yang nyata dalam cuaca atau iklim dan faktor-faktor lainnya yang berkaitan.
Dalam tempo kurang lebih satu abad (1900-2018) saja sekitar setengahnya dari seluruh pertambahan kehilangan luas hutan selama 10 ribu tahun (dari 6 miliar hektare ke 4 miliar hektare), telah menjadi bukti bahwa laju kehilangan tersebut terjadi dengan laju sangat cepat. Bumi mengalami kehilangan sumber daya alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dengan laju yang makin meningkat.
Penurunan luas hutan ini menyebabkan pelbagai hal, di antaranya yang mengancam keberlanjutan kehidupan yang sehat di muka bumi ini adalah perubahan iklim. Dengan perkataan lain, cara yang tersedia untuk menyelamatkan bumi untuk layak dihuni ini adalah dengan membangun hutan kembali.
Dengan menggunakan cara pandang di atas, kita perlu melakukan reinterpretasi dan reaktualisasi akan makna dan fungsi hutan. Hal ini menjadi lebih penting bagi Indonesia yang memiliki struktur wilayah berupa kepulauan. Sifat ekologis sebuah pulau sangat berbeda dengan sifat ekologis benua.
Selain wujud dan fungsinya, ekologi pulau di daerah tropis lebih kompleks dibandingkan dengan pulau di daerah temperate. Misalnya, curah hujan yang tinggi di sebuah pulau di wilayah tropika akan memerlukan penerapan konservasi tanah dan air yang lebih tinggi dibandingkan pulau dengan wujud dan ukuran yang sama yang berada di daerah temperate.
Artinya, kawasan budi daya atau kawasan dengan tingkat intensitas pemanfaatan yang tinggi menjadi berkurang dan kawasan untuk digunakan sebagai hutan (lindung) menjadi meningkat.
Sekarang, demi kehidupan masa depan yang lebih berkualitas, masyarakat dunia memerlukan areal hutan yang lebih banyak. Konsep land rent yang pada masa kini didominasi oleh warna pemikiran ekonomi regional, perlu bergeser ke konsep environmental rent atau nilai ekonomi lingkungan yang lebih mendominasi pengambilan kebijakan publik terkait tata guna lahan sebuah pulau.
Konsep ini meletakkan hutan dalam sentral pemikiran menggantikan posisi kota yang selama ini digambarkan sebagai “hutan beton”. Dengan pemikiran ini, hutan dipandang sebagai wujud ekosistem kehidupan yang ideal. Dalam pandangan ini hutan tidak dilihat lagi sebagai penghasil kayu tetapi sebagai sumbu dan penentu kehidupan masa depan. Gambaran hutan seperti ini tampaknya makin berkembang di kehidupan negara-negara maju.
Simon Kuznets mewariskan teori yang dikenal dengan Kurva Kuznets (KK), yaitu pola pergerakan kehidupan menyerupai huruf U terbalik. Model Kuznets ini menerangkan bahwa pada tahap awal kemajuan ekonomi akibat pembangunan akan memanfaatkan hutan melampaui kapasitasnya sehingga banyak hutan yang rusak. Setelah melewati proses pertumbuhan kemakmuran dengan mengorbankan hutan, proses membangun kembali hutan berkembang. Teori Kuznet ini sering dipakai alasan untuk membenarkan berkembangnya deforestasi sebagai bentuk riil biaya sebagai konsekuensi dari pembangunan.
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan institusi memberikan kemungkinan proses Kuznet tidak berlanjut. Argumen utamanya adalah knowledge atau ilmu pengetahuan akan menyubstitusi sumber daya alam dan lingkungan. Dengan demikian intensitas pemanfaatan sumber daya alam untuk menghasilkan output yang sama akan jauh berkurang dibanding kondisi sebelumnya. Artinya, kebutuhan untuk mengeksploitasi hutan menjadi berkurang pula. Hal ini pula menjadi makna perlu ditempuhnya industrialisasi yang ramah lingkungan.
Malangnya, negara-negara berkembang termasuk Indonesia, sebagian besar penduduknya masih tergantung pada sumber daya alam yang sifat penggunaannya masih eksploitatif. Dalam urusan pemenuhan pangan misalnya, ketergantungan akan satu atau dua jenis spesies saja akan meningkatkan kebutuhan lahan hutan untuk dikonversi menjadi lahan pertanian.
Akan tetapi, apabila budaya konsumsi pangan berubah ke arah budaya yang sifatnya adaptif terhadap lingkungan sumber daya yang tersedia atau sekaligus pula penghutanan kembali lahan-lahan gundul oleh tanaman-tanaman berupa pohon penghasil pangan seperti sukun dan sejenisnya. Maka selain fungsi konservasi tanah dan air, konservasi keanekaragaman hayati dan konservasi ekosistem pada umumnya, produksi pangan juga akan meningkat.
Aktualisasi model pengembangan “eco-win-win” seperti ini akan membuka lahir dan berkembangnya pengganti pemahaman klasik Kuznet yaitu pembangunan ekonomi dan pembangunan lingkungan harus dirancang agar terwujud secara komplementer dan serasi.
Ikuti percakapan tentang nilai hutan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan IPB 1978, Deputi Menteri BUMN Bidang Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan dan Penerbitan (2005-2010). Sekarang Rektor Universitas Institut Koperasi Indonesia Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat
Topik :