HIU dan pari telah eksis selama 420 juta tahun, jauh lebih tua dan bertahan lebih lama dibanding dinosaurus dan manusia. Mereka mampu bertahan dari lima kali kepunahan massal di bumi. Kali ini, mereka mungkin tak bisa mengelak dari kepunahan keenam. Penangkapan ikan berlebihan (overfishing) mengancam populasi laut.
Dalam laporan terbaru IUCN, yang disusun oleh lebih dari 350 ahli dari 100 negara, overfishing menjadi ancaman terbesar bagi 1.266 spesies hiu, pari, dan chimaera (spesies ikan laut dalam yang biasa dijuluki hiu hantu). Laporan ini menilai keberadaan populasi hiu, pari, dan chimaera dalam dua dekade terakhir di 158 negara yang memiliki garis pantai.
Indonesia, Spanyol, dan India menempati peringkat teratas negara penangkap hiu di dunia, diikuti Meksiko dan Amerika Serikat. Di Indonesia, pari lebih dari 60% sebagai tangkapan hiu dan pari. Lebih dari separuh tangkapan hiu di Indonesia diekspor ke Cina dan Taiwan. Sirip hiu masih jadi produk yang paling berharga dibanding tangkapan ikan yang lain.
Beberapa spesies, seperti pari badak (ordo Rhinopristiformes), pari cambuk (genus Himantura), hiu bidadari (genus Squatina), dan hiu lanjaman (Centrophorus granulosus) menurun populasinya secara besar-besaran dibanding spesies hiu pari lainnya. Ikan pari jawa (Urolophus javanicus) menjadi ikan laut pertama yang tercatat punah akibat ulah manusia.
Studi lain, yang dipublikasikan di Science, pada Desember 2024, juga menunjukkan bahwa dalam kurun 55 tahun, penangkapan ikan berlebihan telah mengurangi separuh populasi ikan hiu dan pari.
Hasil tangkapan hiu dan pari di seluruh dunia naik dua kali lipat dari 750.000 ton menjadi 1,5 juta ton antara 1950 dan 2000. Penangkapan ikan meningkat tiga kali lipat mengakibatkan lebih dari 100 spesies hiu turun lebih dari 80% antara 1975 dan 2009.
Saat ini, sepertiga spesies hiu dan pari masuk dalam klasifikasi daftar merah IUCN, antara vulnerable, endangered, hingga critically endangered. Hiu dan pari menjadi kelompok vertebrata paling terancam setelah amfibi.
Untuk mengukur risiko kepunahan spesies, para peneliti dalam studi tersebut menggunakan Red List Index (RLI). RLI menggunakan skala 0-1. Angka 1 yang paling aman (least concern) dan 0 paling buruk.
Para peneliti menganalisis RLI 1.199 spesies hiu pari dari 1970 hingga 2020. Mereka menemukan bahwa dalam 50 tahun terakhir, RLI hiu dan pari telah memburuk sebesar 0,19. Sejalan dengan laporan IUCN, penangkapan hiu dan pari makin masif dalam setengah tahun terakhir.
Menurunnya populasi hiu dan pari akan menurunkan keanekaragaman fungsional hiu dan pari sebesar 22%. Di ekosistem, hiu dan pari berperan sebagai predator dan mangsa, memainkan peran penting dalam rantai makanan laut. Pergerakan mereka di laut membantu mengedarkan nutrisi di lautan, bertindak sebagai penyerap karbon, dan sumber mata pencaharian bagi masyarakat pesisir.
Menurunnya populasi hiu dan pari telah menjadi isu dan fokus berbagai negara di dunia sejak lama. Pada 2000-an, lebih dari 140 spesies hiu dan pari telah terdaftar dalam CITES, sebagai satwa yang dilarang diperdagangkan.
Masuknya hiu dan pari ke dalam daftar CITES memang membantu dalam regulasi perdagangan hiu dan pari. Namun, hal itu tak memberi dampak signifikan terhadap tingkat kematian hiu dan pari.
Perdagangan daging hiu justru melonjak, naik dua kali lipat dari US$ 157 juta di awal tahun 2000 menjadi US$ 283 juta pada 2016. Kini, perdagangan daging hiu dan pari bernilai 1,7 kali lipat dari perdagangan sirip global. Sepertiga hiu laut dalam yang terancam punah masih menjadi target untuk diambil daging dan minyaknya.
Selain daging, dewasa ini kulit pari tampak jadi bagian yang eksotis. Kulit pari yang indah dan tahan air digunakan sebagai kulit mewah, mirip seperti kulit ular dan buaya, meski 70% dari 29 spesies pari yang ditangkap terancam punah, hanya sedikit pari yang terdaftar di daftar CITES.
Para ahli menghimbau perlu upaya konservasi mendesak untuk menyelamatkan hiu dan pari. Terutama di perairan Jepang, Taiwan, Indonesia, Papua Nugini, Teluk Benggala, dan Samudra Hindia Barat. Titik-titik gelap perlu diidentifikasi agar manajemen perairan dan perdagangan hiu pari bisa ditingkatkan.
Ikuti percakapan tentang kepunahan keenam di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :