SECARA hukum, kawasan hutan diatur Undang-Undang Nomor 41/1999 tentang kehutanan. Sementara bukan kawasan hutan mengacu pada UU 5/1960 tentang ketentuan pokok agraria dan menjadi domain Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Bentuknya berupa status lahan hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak milik.
Ada juga areal kawasan hutan namun kegiatan di atasnya di luar urusan kehutanan. Pasal 38 ayat (1) menyebut penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya bisa dilakukan di dalam hutan produksi dan hutan lindung. Selain pembangunan jalan, kegiatan di luar kehutanan untuk tujuan strategis yang tidak bisa dielakkan, seperti pertambangan, pembangunan jaringan listrik, telepon, dan instalasi air, kepentingan religi, serta kepentingan pertahanan keamanan.
Belakangan definisi kawasan hutan digugat dan dipertanyakan banyak kalangan terkait kebutuhan lahan. Apa itu kawasan hutan dan definisinya?
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Gulat Manurung menerbitkan disertasi di Universitas Riau pada 2021 berjudul “Model Resolusi Konflik Lahan Perkebunan Sawit Rakyat dalam Kawasan Hutan di Provinsi Riau”. Gulat mengusulkan tipologi kelima dari empat tipologi penyelesaian sawit dalam kawasan hutan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24/2021 tentang tata cara pengenaan sanksi administratif dan tata cara penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari denda administratif bidang kehutanan.
Tipologi kelima khusus untuk resolusi konflik sawit petani dalam kawasan hutan produksi. Kata kunci tipologi kelima ini adalah tidak memiliki surat tanda daftar budidaya (STDB) namun punya keabsahan surat kepemilikan tanah; pemiliknya tidak tinggal di kebun; status kawasan hutan belum sampai penetapan; sawit tertanam sebelum UU Cipta Kerja terbit; tidak tumpang tindih dengan izin; dan luasnya tidak lebih dari 25 hektare.
Perkebunan sawit yang memenuhi kriteria tipologi kelima ini, Gulat mengusulkan agar kebun tersebut dikeluarkan dari kawasan hutan. Alasannya, kebun sawit yang telah terbangun menghasilkan manfaat ekonomi untuk memajukan kesejahteraan pekebun dalam arti sempit dan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas.
Gulat, menafsirkan status area hutan belum menjadi kawasan hutan karena belum ada penetapan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pengertian penetapan menurut Gulat adalah kawasan hutan yang telah dilakukan tata batas, pemetaan, dan penetapan oleh menteri.
Gugatan selanjutnya dari Sudarsono Sudomo, guru besar manajemen hutan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University. Dalam kasus PT Duta Palma Group yang menyeret pemiliknya, Surya Darmadi, sebagai saksi ahli yang meringankan, Sudarsono menyebut bahwa kasus Duta Palma bermula dari penggunaan lahan yang memiliki Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang termasuk kawasan hutan. Padahal, peta TGHK belum melalui proses tata batas yang merupakan syarat pembentukan suatu kawasan hutan.
Peta TGHK umumnya jadi lampiran surat keputusan penunjukan kawasan hutan. Sebelum 1999, syarat pembentukan kawasan hutan dapat dilihat pada UU 5 tahun 1967 dan PP 33 tahun 1970.
Setelah 1999, syarat tersebut dinyatakan secara eksplisit di Pasal 15 UU 41 tahun 1999 dan PP 44 tahun 2004 yang dicabut dengan PP 23 tahun 2021. Bukti kepemilikan tanah pribadi itu sertifikat. Nah, bukti kawasan hutan itu adalah peta tata batas yang disertai dengan Berita Acara Tata Batas. Kalau tidak mampu menunjukkan bukti tersebut, maka itu klaim bodong.
UU 5/1967 jelas menyebut kawasan hutan adalah wilayah-wilayah tertentu yang oleh Menteri ditetapkan untuk dipertahankan sebagai hutan tetap. Hutan tetap adalah hutan baik yang sudah ada maupun yang akan ditanam atau tumbuh secara alami di dalam kawasan hutan. Penetapan kawasan hutan dilakukan Menteri cukup didasarkan pada suatu rencana umum pengukuhan hutan yang memuat tujuan, perincian dan urgensi pengukuhan kawasan hutan itu untuk selanjutnya digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menetapkan: hutan lindung, hutan produksi, hutan suaka alam, dan/atau hutan wisata.
Jadi setelah UU 5/1967 hingga UU 41/1999, kawasan hutan ditetapkan oleh Menteri Pertanian berdasarkan peta yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Kehutanan (termasuk peta TGHK yang terbit sejak tahun 1982) dan diikat oleh titik koordinat tetap lintang utara dan lintang selatan. dari peta topografi.
Jadi secara langsung maupun tidak langsung gugatan Gulat Manurung dengan tipologi kelima terbantahkan. Tipologi kawasan hutan versi Gulat menihilkan pengertian tentang kawasan hutan itu sendiri. Seolah-olah lahan yang ditanami sawit tersebut bukan merupakan kawasan hutan dan lahan tak bertuan.
Dalam UU 41/1999 jelas disebutkan bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Sedangkan penetapan kawasan hutan adalah suatu penegasan tentang kepastian hukum mengenai status, batas dan luas suatu kawasan hutan menjadi kawasan hutan tetap.
Sementara gugatan Sudarsono Sudomo juga tidak berdasar dengan mempermasalahkan TGHK. Sebab, penunjukan kawasan hutan telah dilakukan oleh pemerintah secara nasional sejak 1982 yang dituangkan dalam peta TGHK yang telah mengatur kawasan hutan berdasarkan fungsinya setiap provinsi/kabupaten/kota.
Fungsi kawasan hutan adalah hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi (hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas, hutan produksi yang dapat dikonversi). Kasus PT Duta Palma terjadi saat euforia otonomi daerah yang ditafsirkan salah oleh Bupati Indragiri Hulu periode 1999-2008, Raja Thamsir Rahman.
Hanya berbekal izin prinsip, Bupati berani menerbitkan izin lokasi dan izin usaha perkebunan di kawasan hutan Indragiri Hulu seluas 37.095 hektare. Padahal izin usaha pekebunan di kawasan hutan harus dilengkapi dengan izin pelepasan kawasan hutan yang diterbitkan Menteri Kehutanan dan Izin hak guna usaha (HGU) yang diterbitkan Menteri Agraria/Tata Ruang. Tanpa pelepasan kawasan dan HGU, izin usaha perkebunan di kawasan hutan adalah ilegal.
Meskipun pemerintah menetapkan luas kawasan hutan 120,5 juta hektare, pada dasarnya luas kawasan hutan bersifat dinamis dan selalu berubah. Secara faktual luas hutan Indonesia yang masih benar-benar mempunyai tutupan hutan 86,9 juta hektare.
Ikuti percakapan tentang kawasan hutan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :