DI tengah kritik tajam, program makan bergizi gratis akhirnya diluncurkan dan dimulai juga pada 5 Januari 2025. Anggarannya cukup fantastis, mencapai Rp 70 triliun, untuk enam bulan saja.
Pada hari pertama program makan bergizi gratis, muncul beberapa persoalan dan keluhan, baik dari siswa maupun tim guru sebagai pengampu. Kualitas menu terlalu sederhana. Tidak ada komponen protein hewani. Sayur dibuat sekadarnya. Bahkan Kepala Badan POM Ikrar Taruna menemukan sayur yang sudah basi. Beberapa siswa mengatakan makanan MBG rasanya tak enak sehingga mereka tak menghabiskannya.
Akibatnya, program makan siang gratis memicu masalah baru, yakni sampah makanan atau food waste. Di sebuah sekolah di Palembang, banyak siswa tidak menghabiskan/bahkan tidak memakan makanan MBG karena mengaku lebih cocok/lebih enak bekal ibu.
Menurut data Indonesia Gastronomy Community (IGC), Indonesia menjadi negara penghasil sampah makanan terbesar kedua di dunia, yakni 20,93 juta ton per tahun. Dan kerugian negara akibat sampah makanan tersebut mencapai Rp 219 triliun. Angka ini menjadi ironi karena stunting masih 21%.
Panitia juga tampaknya kurang sigap memitigasi sampah makanan makan siang gratis. Misalnya, pemanfaatan sampah makanan untuk kompos atau makanan ternak. Jika tak dikelola secara serius, sampah makanan akan menjadi problem baru bagi lingkungan, sebab sampah makanan menghasilkan jejak karbon (carbon foot print) yang signifikan.
Lebih mengkhawatirkan lagi jika dalam proses produksi dan distribusi untuk mewujudkan program MBG ini menghasilkan sampah kemasan unorganik, seperti plastik, kertas, dan kemasan lain yang tidak bisa diurai secara cepat oleh lingkungan.
Hal terpenting yang tak boleh dilupakan program MBG sebagai wahana untuk edukasi/kampanye dan pemberdayaan kesehatan pada siswa terkait upaya mewujudkan pengendalian konsumsi garam, gula, dan lemak (GGL). Sekalipun anak-anak masih dalam masa pertumbuhan, hal ini perlu dikenalkan sejak awal terkait pengendalian konsumsi GGL, apalagi fenomena kegemukan dan obesitas pada anak prevalensinya sangat tinggi.
Menurut Survei Kesehatan Indonesia (2023), obesitas anak usia 5-12 tahun mencapai 19,7%, sedangkan pada anak usia 13-15 tahun mencapai 16%. Ini menandakan fenomena kegemukan dan obesitas pada anak Indonesia sudah mengkhawatirkan.
Data menunjukkan tingkat prevalensi penyakit diabetes melitus pada anak, menurut data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), penderita diabet pada anak meningkat empat kali lipat. Relevan dengan itu, juga menurut hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, pasien jantung koroner usianya juga semakin muda, yakni 43 tahun.
Ini semua tidak terlepas dari perilaku pola konsumsi (pola makan) sejak usia dini, yang tinggi gula, garam, dan lemak. Hal ini salah satunya dipicu oleh menu makanan yang disantap anak, khususnya yang dijual di pasaran, adalah menu makanan/minuman yang tinggi GGL.
Oleh sebab itu, menu makanan yang disajikan dalam program MBG semestinya bisa diukur kandungan GGL, sesuai standar maksimal yang ditentukan Kemenkes dan WHO. Susu penting dalam program MBG, tapi jika susu jenis ultra malah akan memicu diabetes karena kandungan gula mencapai 20%.
Jika jenis susu seperti ini yang disertakan, sama saja program MBG menjadi media (promosi terselubung) untuk mengenalkan/mempromosikan jenis minuman manis dalam kemasan (MBDK).
Dengan begitu, program makan siang gratis akan memicu problem baru, alih-alih bisa mencegah tengkes yang menjadi tujuan utamanya. Transformasi perilaku dan pola konsumsi di rumah tangga miskin perlu menjadi muatan utama. Misalnya, mengubah konsumsi rokok ke dalam lauk-pauk dan makanan bergizi. Jika bisa dilakukan, ini bisa menjadi anak tangga untuk mencapai bonus demografi dan mewujudkan generasi emas.
Ikuti percakapan tentang sampah makanan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Pegiat perlindungan konsumen dan lingkungan hidup, anggota Asosiasi Pengamat Energi Indonesia (APEI), pendiri dan pengurus Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, dan Ketua Pengurus Harian YLKI, 2015-2025
Topik :