DALAM laporan Global Risk 2024, hilangnya keanekaragaman hayati merupakan satu dari lima risiko terbesar yang dihadapi dunia dalam 10 tahun ke depan. Dengan berbagai kerusakan alam, dari hutan hingga laut, serta perubahan iklim, manusia telah menempatkan berbagai spesies ke dalam ancaman kepunahan.
Misalnya dodo, burung yang tak bisa terbang yang punah di tahun 1600-an dan menjadi simbol kepunahan spesies. Harimau tasmania dan harimau jawa yang punah di era 1900-an akibat tergusur oleh manusia dan perburuan. Pari jawa yang punah akibat kerusakan habitat dan ditetapkan sebagai ikan laut pertama yang punah akibat manusia.
Meski jumlah spesies terancam punah semakin meningkat, muncul secercah harapan, yakni beberapa spesies menunjukkan peningkatan dan kembali dari ambang kepunahan.
Tikus mondok emas (Cryptochloris wintoni) salah satunya. Satwa satu ini telah lama dianggap punah karena telah absen terlihat sejak tahun 1937. Setelah dua tahun mencari, dibantu oleh anjing terlatih, para konservasionis berhasil menemukannya setelah 86 tahun hilang. Penemuan ini tentu jadi kabar gembira bagi dunia konservasi.
Tikus mondok emas memiliki penglihatan yang buruk dan mengandalkan pendengaran yang sensitif untuk bergerak. Nama emas yang disandangnya berasal dari sekresi minyak berwarna keemasan yang melumasi bulunya. Sekresi tersebut dibutuhkan agar ia bisa ‘berenang’ melintasi bukit berpasir di habitatnya.
Kadal tanah sombrero (Pholidoscelis corvinus). Berhabitat di Karibia, populasinya kurang dari 100 ekor di tahun 2018 akibat kerusakan habitat dan hama invasif. Sempat hampir punah, tapi beruntungnya pemulihan dilakukan segera.
Selama enam tahun terakhir, konservasionis melakukan pemulihan habitat dengan menanam spesies asli dan membasmi hama invasif. Alhasil, dalam 6 tahun, populasinya melonjak menjadi 1.600 ekor.
Di Sahara, oriks simitar (Oryx dammah) memiliki cerita pemulihan yang mengesankan. Di era sebelum 1980-an, hewan yang mirip kambing dan antelop ini pernah tersebar luas di seluruh Afrika Utara. Namun setelahnya, ia diburu untuk diambil tanduk dan dagingnya menyebabkan populasinya turun drastis dan ditetapkan punah di alam liar (extinct in the wild) di tahun 2000.
Hari ini, berkat kemitraan konservasi yang dipimpin oleh Environment Agency of Abu Dhabi (EAD), nasibnya telah berbalik. Program pemulihannya telah menghasilkan lebih dari 500 anak oriks simitar di luar penangkaran. Menjadikannya satu dari sedikit spesies yang berhasil pulih dari extinct in the wild.
Di Indonesia, ekidna moncong panjang (Zaglossus attenboroughi) terlihat kembali setelah lebih dari 62 tahun nihil hasil. Sosoknya tertangkap kamera jebak di Pegunungan Cycloop, Papua. Penemuan ini jadi cerita bahagia karena spesies asli yang dikhawatirkan punah ternyata masih eksis. Demi keselamatannya, lokasi detail penemuannya tak dipublikasikan.
Lynx Iberia, yang sempat hanya tersisa 62 ekor di tahun 2002, kini telah meningkat menjadi 2.000 ekor setelah 20 tahun upaya konservasi dilakukan.
Penyu lekang yang sering diburu telurnya, kini mengalami peningkatan bertelur sebesar 53% di lima tempat penetasan telur penyu.
Paus sikat atlantik utara mengalami peningkatan sebanyak 5 ekor. Terdengar kecil, tapi bagi mamalia laut yang berkembang biak lambat, 5 ekor adalah berita baik dan lompatan besar. Kini populasinya diperkirakan menjadi 372 ekor.
Kembalinya mereka dari jurang kepunahan menjadi bukti bahwa harapan. Masih ada 44.000 spesies yang terancam punah, yang menunggu untuk diselamatkan.
Ikuti percakapan tentang keanekaragaman hayati di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :