Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 29 Januari 2025

Ilmuwan Temukan Spesies Tenggiling Baru

Tenggiling Indo-Burma terpisah dari trenggiling Cina sekitar 3,4 juta tahun lalu.

Spesies trenggiling (foto: ZSL)

DALAM penelitian terbaru yang dipublikasikan jurnal Mammalian Biology, para ilmuwan Zoological Survey of India (ZSI) menemukan potensi spesies baru tenggiling. Mereka konfirmasinya setelah analisis DNA mitokondria (mtDNA). Hasilnya menunjukkan perbedaan genetik yang cukup besar dengan spesies tenggiling lain. Spesies tersebut mereka namai Manis indoburmanica atau tenggiling Indo-Burma.

Spesies baru ini belum resmi diterima oleh komunitas ilmu pengetahuan dan konservasi. Jika diterima, maka ini akan jadi spesies tenggiling kesembilan. Bersamaan dengan empat spesies Asia (tenggiling Cina, tenggiling India, tenggiling Sunda, dan Filipina) dan empat spesies dari Afrika (tenggiling perut hitam, tenggiling perut putih, tenggiling temminck, dan tenggiling raksasa).

Konstruksi Kayu

Kehadiran M. indoburmanica juga akan mengungkap evolusi tersembunyi di 3,4 juta tahun lalu, yakni kisah evolusi tenggiling Cina (Manis pentadactyla), yang merupakan kerabat terdekatnya. Selama ini, ilmuwan menganggap M. indoburmanica dan M. pentadactyla adalah spesies yang sama.

Wilayah jelajah tenggiling Indo-Burma memang bersinggungan dengan tenggiling Cina dan India. Hal ini membuat ia sering diasumsikan sebagai tenggiling Cina atau tenggiling India. Tenggiling Indo-Burma mendiami habitat pegunungan dan subtropis, mulai dari Nepal bagian Timur, India bagian timur laut, dan Myanmar bagian barat laut. 

Selain itu, terbatasnya studi genetik dan ciri-ciri fisik yang samar antar trenggiling membuat keberadaan tenggiling Indo-Burma tak teridentifikasi. Alhasil selama ini mereka dianggap sebagai spesies yang sama dengan tenggiling Cina.

Secara morfologi, tenggiling Indo-Burma memiliki kesamaan dengan trenggiling Asia lainnya. Seperti keberadaan bulu di antara sisiknya. Namun pengamatan awal menunjukkan adanya variasi dalam struktur sisik ukuran tubuh, dan bentuk tengkorak dibanding tenggiling Asia lainnya.

Secara analisis genetik, trenggiling Indo-Burma menunjukkan perbedaan genetik yang cukup berbeda dengan tenggiling Cina. Namun, hal tersebut tak cukup membuatnya diakui sebagai spesies tenggiling baru. Perbedaan secara morfologi harus dikaji dan diikutsertakan agar spesies ini dapat divalidasi sebagai spesies baru.

Perbedaan morfologi adalah hal yang krusial dalam pemisahan spesies. Sebab, saat di lapangan, peneliti memerlukan pembeda morfologi untuk identifikasi awal dan cepat. Penyediaan pembeda morfologi, genetika, dan literatur taksonomi spesies trenggiling lainnya akan memperkuat validasi di kalangan ilmuwan bahwa tenggiling Indo-Burma adalah spesies baru.

Sebelumnya, sekelompok peneliti juga pernah mengidentifikasi spesies tenggiling baru lain, yakni Manis mysteria. Tenggiling ini diperkirakan telah terpisah dari tenggiling Filipina dan Sunda sekitar 5,05 juta tahun lalu dan dideskripsikan sebagai spesies tenggiling lain pada 2023. Namun spesies ini belum diakui karena membutuhkan lebih banyak bukti dan validasi.

Terlepas dari spesies baru atau bukan, penemuan ini mengungkap kompleksitas dan teka-teki evolusi tenggiling yang masih jadi misteri. Dengan penemuan ini, kita bisa mempelajari lebih banyak soal teka-teki evolusi tenggiling dan bisa menjadi landasan dalam penentuan konservasi tenggiling. Apalagi, saat ini tenggiling adalah mamalia yang paling sering diperdagangkan di dunia.

Indonesia sendiri menjadi salah satu penyedia perdagangan ilegal tenggiling. Informasi terbaru aparat hukum membongkar perdagangan ilegal sisik tenggiling di Sumatera Utara. Dalam operasi tersebut, petugas mengamankan 987,2 kilogram sisik tenggiling yang disimpan dalam 18 karung. Dihitung sejak 2022, ini merupakan kasus ke-12 di Sumatera Utara saja. Dengan total barang bukti mencapai 1.180 kilogram atau setara dengan 12.571 individu trenggiling.

Perdagangan ilegal tenggiling sendiri melanggar Pasal 40 Ayat 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Ancaman hukumannya lima tahun penjara dan denda hingga Rp 100 juta. Namun, dengan perburuan tenggiling yang masih terus berjalan, rasanya hukuman tersebut tak cukup membuat jera pelakunya.

Ikuti percakapan tentang tenggiling di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain