PRESIDEN Prabowo Subianto diingatkan berhati-hati dalam mengembangkan program food estate demi mencapai swasembada pangan. Kesalahan masa lalu dalam pembukaan di lahan basah telah menyebabkan kerusakan ekologis luas dan gagal meningkatkan ketahanan pangan.
Dalam diskusi “Memperingati Hari Lahan Basah Internasional” pada 2 Februari yang diadakan oleh Lapor Iklim dan Pantau Gambut, Prof. Dr. Ir. Azwar Maas dari Universitas Gadjah Mada menegaskan bahwa lahan gambut yang masih utuh, terutama yang berbentuk kubah, sebaiknya tidak diganggu. Kubah gambut berfungsi sebagai penyimpan air alami yang penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem, terutama saat musim kemarau.
Lahan basah terjadi dimana air bertemu dengan tanah. Contoh dari lahan basah antara lain bakau, lahan gambut, rawa-rawa, sungai, danau, delta, daerah dataran banjir, sawah, dan terumbu karang. Lahan basah ada di setiap negara dan di setiap zona iklim, dari daerah kutub sampai daerah tropis, dan dari dataran tinggi sampai daerah kering.
Koordinator Nasional Pantau Gambut Iola Abas mengingatkan bahwa pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian hanya dapat dilakukan pada lahan dangkal (<1 meter) yang telah dibudidayakan sebelumnya atau lahan terlantar. Itu pun harus dengan metode yang tepat agar tidak merusak ekosistem gambut yang rapuh.
Studi Pantau Gambut dari 2020-2023 di Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa dari total 243.216 hektar lahan eks-Proyek Lahan Gambut (PLG), hanya 1% yang cocok untuk pertanian. Sebagian besar lahan yang sudah dibuka justru terbengkalai atau diubah menjadi perkebunan kelapa sawit milik swasta.
Lahan basah, termasuk gambut, memiliki peran ekologis penting sebagai penyerap karbon, penyaring air, dan habitat bagi keanekaragaman hayati. Lahan ini juga melindungi daerah sekitar dari banjir dan kekeringan dengan menyimpan cadangan air.
Jika lahan gambut dibuka tanpa perencanaan matang, struktur tanahnya bisa berubah menjadi hidro-fobik atau takut air, sehingga menjadi lebih mudah terbakar. Proyek food estate yang tidak melibatkan ahli lingkungan dan hanya fokus pada aspek teknis berisiko besar gagal.
Gambut di Merauke, Papua, misalnya, memiliki karakteristik unik karena berasal dari rawa yang mengalami pengangkatan. Pemanfaatannya harus mempertimbangkan faktor lingkungan dan sosial agar tidak menimbulkan masalah di masa depan.
Prof. Azwar menekankan pentingnya menjaga tinggi permukaan air gambut serta menanam tumbuhan penutup (cover crops) untuk mencegah pengeringan dan kebakaran. Ia juga mengingatkan bahwa penggunaan kapur untuk meningkatkan pH tanah gambut justru bisa merusak keseimbangan alaminya.
Sebagai langkah ke depan, pemerintah perlu menata ulang regulasi tentang pengelolaan lahan gambut agar memastikan keberlanjutan ekosistemnya. Food estate harus dirancang berdasarkan pendekatan berbasis ilmu pengetahuan dan melibatkan masyarakat lokal sebagai pengelola utama.
Perlindungan lahan basah harus menjadi prioritas, bukan hanya demi lingkungan, tetapi juga untuk keberlanjutan pertanian dan kesejahteraan masyarakat. Memaksakan budidaya yang tidak sesuai hanya akan mengulang kesalahan lama dan merusak sumber daya alam yang tak tergantikan.
Ikuti percakapan tentang lahan basah di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Penggerak @Sustainableathome
Topik :