Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 11 Februari 2025

Ekowisata Berkelanjutan Sebagai Keunggulan Komparatif Indonesia

Jumlah wisatawan asing ke Indonesia hanya 1,5 juta. Sementara wisatawan Indonesia ke Singapura 2,2 juta.

Pariwisata Gunung Bromo yang sepi semasa awal pandemi virus corona covid-19.

BERJULUK mutu manikam zamrud khatulistiwa, Indonesia menjadi negara tropis dengan kekayaan alam tak tepermanai. Kita menjadi negara kepulauan terbesar di dunia, setelah Swedia (267.570 pulau), Norwegia (239.057 pulau), Finlandia (178, 947 pulau), Kanada (52.455 pulau) dan Amerika Serikat, 18.617 pulau. Maka, Indonesia jadi incaran para wisatawan.

Hingga pertengahan Juli 2024, turis asing yang singgah ke Indonesia 1,31 juta orang, dengan nilai devisa sebesar Rp 113 triliun. Angka ini sudah naik 16,91 persen. Sebaliknya, turis Indonesia yang pelesir ke Singapura sebanyak 2,2 juta jiwa.

Konstruksi Kayu

Bandingkan dengan negeri jiran Malaysia, yang disinggahi 20 juta turis asing, atau Thailand lebih fantastis lagi, disinggahi oleh 35,32 juta turis asing. Tidak heran jika pada 2025 Thailand menargetkan kunjungan wisatawan mancanegara mencapai 40 juta orang dengan target devisa sebesar US$ 94,16 miliar atau setara dengan Rp 1.519 triliun.

Beberapa catatan mengapa pariwisata Indonesia tak memiliki keunggulan komparatif dibanding negara lain?

Aspek ketidakandalan dalam pelayanan, khususnya kenyamanan, menjadi belum mampu menciptakan suasana at home. Suasana ini baru muncul di Bali dan Yogyakarta. Sehingga turis berulang kali datang ke sini. Sedangkan loka wisata daerah lain, seperti Danau Toba, Raja Empat, Bunaken; wisatawan cukup sekali saja datang ke sana.

Aura dan fenomena seperti Bali dan Yogya nyaris tidak ada, kecuali Lombok, yang sudah lumayan muncul gejalanya. Masyarakat di sekitar wisata belum mampu menciptakan suasana bahkan kultur agar wisatawan betah tinggal lebih lama atau datang lagi.

Aspek kenyamanan dan keramahtamahan bukan hanya banyak senyum pada wisatawan, juga bisa diwujudkan dengan cara lain, misalnya menjadikan loka wisata yang bebas asap rokok. Merujuk UU Kesehatan, loka wisata sebagai tempat umum, termasuk kategori area kawasan tanpa rokok.

Keandalan infrastruktur menuju lokasi wisata juga indikator penting, baik itu infrastruktur transportasi, maupun infrastruktur di area loka wisata. Untuk menuju Kepulauan Seribu, di area Jakarta, jauh dari memadai. Hanya tersedia kapal fiber (kapal kecil) milik Dinas Perhubungan. Selain ukurannya kecil, jadwal operasinya tidak pasti. Kapal sewa nelayan belum memiliki standar keselamatan.

Dari sisi infrastruktur darat, pembangunan jalan tol sejatinya memudahkan akses dan mempercepat mobilitas. Apalagi jalan tol saat ini sudah terintegrasi, baik jalan tol Trans Jawa dengan panjang 1.830 kilometer dan jalan tol Trans Sumatera 959,9 kilometer. Akses jalan tol memudahkan masyarakat untuk mengunjungi loka wisata di daerah lain, sekalipun hanya wisata kuliner.

Sejatinya, upaya mendorong masyarakat gemar berwisata sudah dilakukan pemerintah. Misalnya membuat hari libur panjang. Pada 2025, terdapat 27 hari libur nasional dan cuti bersama. Dari 27 hari itu, terdapat libur panjang akhir pekan sembilan kali.

Kendati ekonomi sedang lesu, masyarakat pun tampak antusias memanfaatkan libur panjang. Survei Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan menemukan tiga tujuan utama masyarakat melakukan perjalanan saat long weekend, yaitu memanfaatkan waktu libur, mengunjungi kerabat dan famili khususnya di kampung halaman, dan melakukan perjalanan wisata (45,3 persen), dan untuk pulang kampung sebesar 30,2 persen. 

Persoalan wisata bukan hanya aspek keandalan dan kenyamanan saja. Terdapat aspek lain yang tak boleh diabaikan, yakni bagaimana mewujudkan wisata yang keberlanjutan dan ramah lingkungan (ecotourism). Fenomena ini yang masih minim sentuhan dan perhatian, baik oleh pemerintah, pengelola pariwisata, atau bahkan masyarakat itu sendiri.

Pariwisata yang keberlanjutan adalah pariwisata yang memerhatikan dampak jangka panjang kegiatan pariwisata terhadap lingkungan, masyarakat sekitar, sosial dan ekonomi. Artinya, konsep pariwisata keberlanjutan mesti memerhatikan aspek keseimbangan antara kepentingan ekonomi, dengan kelestarian alam dan budaya lokal. 

Spirit pariwisata keberlanjutan dan ramah lingkungan itu sejalan upaya memerangi fenomena perubahan iklim global, bahkan sudah menjurus pada krisis iklim. Bagaimanapun sektor pariwisata berkontribusi signifikan untuk menghasilkan jejak karbon, baik dari sisi hulu maupun hilir.

Wisata keberlanjutan dan ramah lingkugan, bukan hanya menjadikan destinasi wisata yang ijo royo royo, banyak tanaman dan pepohonan. Misalnya, bagaimana pihak pengelola loka wisata memitigasi adanya produksi sampah yang dihasilkan, khususnya sampah unorganik, seperti kemasan makanan dan minuman, yang nyaris semuanya berbahan plastik.

Contoh sampah bekas kemasan air minum dalam kemasan (AMDK) dan Minuman Manis Dalam Kemasan (MBDK), sampah kemasan mi instan, atau bahkan sampah bungkus dan puntung rokok. Padahal puntung rokok itu limbah B3, yang sangat berbahaya bagi lingkungan. Seharusnya puntung rokok perlu penanganan khusus, bukan asal  lempar, buka asal buang, lalu sampah puntung rokoknya mauk ke sungai, selat, danau dan laut.

Penggunaan air dan energi yang keberlanjutan di loka wisata juga sangat penting. Berkurangnya tagihan listrik bukan hanya karena adanya kebijakan diskon dari pemerintah sebesar 50 persen, tetapi karena menggunakan energi yang ramah lingkungan. Akses energi matahari yang melimpah ruah, bisa dimanfaatkan dengan cara memasang atau menginstalasi  panel surya (PLTS) di loka wisata, menjadi solusi yang paling realistik. 

Masyarakat sebagai pengguna jasa wisata juga harus berkontribusi untuk mewujudkan ecotourism tersebut, yakni dengan pola konsumsi yang berkelanjutan selama melakukan perjalanan wisata. Misalnya membawa termos untuk air minum, sebagai upaya mengurangi konsumsi AMDK. Jangan sampai kita berwisata di loka wisata yang sejuk dan segar, tetapi perilaku kita dalam berkonsumsi selama berpariwisata justru menjadi perilaku polutan bahkan destruktif bagi loka wisata dan lingkungan sekitarnya. Termasuk tidak merokok secara serampangan dan sembarangan di loka wisata, adalah perilaku untuk mereduksi material polutan di loka wisata.

Ikuti percakapan tentang ekowisata di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pegiat perlindungan konsumen dan lingkungan hidup, anggota Asosiasi Pengamat Energi Indonesia (APEI), pendiri dan pengurus Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, dan Ketua Pengurus Harian YLKI, 2015-2025

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain