
BAGAIMANA deforestasi menyebabkan pemanasan global? Bayangkan bahwa deforestasi adalah penggundulan hutan. Pohon-pohon roboh, satwa dan tumbuhan lain di bawahnya tak lagi punya peneduh atau sarang. Keanekaragaman hayati menghilang. Ruang hutan juga terbuka, langit jadi terlihat, karena itu ketika hujan air akan langsung mengenai kepala Anda.
Apalagi pohon yang roboh itu banyak, hutan yang terbuka makin luas. Bersama tumbangnya pohon-pohon itu, menguap pula simpanan karbon dalam daun, dahan, ranting, hingga akar dan tumbuhan bawah di sekitarnya. Karbon itu menguap membumbung ke angkasa lalu sampai ke atmosfer. Makin banyak karbon di sana, atmosfer makin menebal.
Karbon yang tadinya menjadi siklus bermanfaat bagi bumi, kini membuat atmosfer kehilangan fungsi menyerapnya dan menjadi gas rumah kaca. Ketika pohon roboh makin banyak, karbon di atmosfer juga makin banyak. Maka ketika ada karbon lain yang menguap, atmosfer kita tak sanggup lagi menampungnya. Ia akan mengembalikan karbon itu ke bumi, menaikkan suhu secara pelan-pelan.
Ketika hutan menjadi terbuka itu, air hujan yang turun itu akan menggerus tanah yang sebelumnya tertahan oleh akar. Jadilah longsor. Kita menyebutnya bencana hidrometeorologi.
Bayangkan jika pohon roboh itu terjadi secara simultan di seluruh dunia. Juga produksi gas rumah kaca dari sektor lain yang berlomba mengotori atmosfer yang membuat lapisan bumi itu kotor, menebal oleh gas, dan kehilangan kemampuannya menjadi selubung bagi bumi kita dari cahaya matahari langsung yang mengandung ultraviolet.
FAO dan Bank Dunia mencatat laju deforestasi sebesar 300 ribu hektare/tahun pada 1970-an, lalu naik menjadi 600 ribu hektare/tahun pada 1981, dan 1 juta hektare/tahun pada 1990.
Pemerintah Indonesia memahami bahwa deforestasi mempunyai dampak negatif baik terhadap sumber daya hutan dan juga kehidupan manusia (Sunderlin dan Resosudarmo, 1996). Persoalan deforestasi terjadi juga pada saat awal pelaksanaan era otonomi daerah dengan laju deforestasinya 1996-2000 mencapai 3,51 juta hektare per tahun (FWI, 2020).
Polemik deforestasi jadi berkepanjangan ketika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan bahwa deforestasi menurun sampai ke angka 115 ribu hektare pada 2020. Analisis Forest Watch Indonesia (FWI), yang memadukan data tutupan hutan tahun 2017 dengan data forest lost University of Maryland tahun 2018, 2019, dan 2020, memperlihatkan ada sekitar 680 ribu hektare hutan yang hilang dengan laju rata-rata sebesar 227 ribu ha/tahun.
Tututpan lahan dan hutan Indonesia bersifat dinamis, seiring dengan kebutuhan lahan untuk pembangunan dan kegiatan lainnya. Perubahan tutupan hutan terjadi dari waktu ke waktu, di antaranya karena konversi hutan untuk pembangunan sektor non kehutanan, perambahan dan kebakaran hutan maupun kegiatan rehabilitasi hutan.

Penambahan hutan dan deforestasi di Asia Tenggara
Untuk mengetahui keberadaan dan luas tutupan lahan baik berhutan maupun tidak berhutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melakukan pemantauan hutan dan deforestasi setiap tahun. Pemantauan hutan dan deforestasi ini dilakukan pada seluruh daratan Indonesia seluas 187 juta hektare, baik di dalam kawasan hutan maupun diluar kawasan hutan, dan berdasarkan pada peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) dalam program Kebijakan Satu Peta (KSP).
Pemantauan ini dilakukan menggunakan data utama citra satelit landsat yang disediakan Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa (OR-PA) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan di identifikasi secara visual oleh tenaga teknis penafsir KLHK yang tersebar di seluruh Indonesia.
Hasil pemantauan hutan Indonesia Tahun 2022 menunjukkan bahwa luas lahan berhutan seluruh daratan Indonesia adalah 96,0 juta hektare atau 51,2% dari total daratan, di mana 92,0% dari total luas berhutan atau 88,3 juta hektare berada di dalam kawasan hutan.
Deforestasi adalah perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan. Deforestasi gross adalah perubahan secara permanen tutupan hutan alam tanpa memperhitungkan pertumbuhan kembali (regrowth) dan atau pembuatan hutan tanaman. Deforestasi nett adalah perubahan secara permanen tutupan hutan, dengan memperhitungkan pertumbuhan kembali (regrowth) dan/atau pembuatan hutan tanaman. Sementara degradasi hutan adalah penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon selama periode tertentu.
Menurut FWI (2020) deforestasi secara harfiah diartikan sebagai kehilangan hutan dan menjadi sangat penting untuk mendudukkan kembali definisi hutan sebagai dasar dalam memahami deforestasi. Istilah deforestasi mulai populer ketika muncul program reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation-REDD+) yang dimunculkan dalam COP 13 di Bali sebagai upaya untuk melaksanakan mitigasi dan adaptasi atas dampak perubahan iklim.
Seringkali istilah deforestasi secara keliru digunakan sebagai sebuah kerusakan atau penggundulan hutan belaka. Menurut Susetyo (2021) pengertian deforestasi yang berbeda-beda antar lembaga negara berdampak pada besaran angka deforestasi yang selalu tidak sama. Sementara itu, KLHK masih belum secara terbuka merilis angka deforestasi secara kumulatif dari tahun ke tahun.
Subarudi (2018) telah berhasil mengidentifikasi 10 (sepuluh) definisi deforestasi dari berbagai sumber pustaka baik secara institusi maupun secara personal atau individual.
Secara internasional, deforestasi dimaknai sebagai kehilangan Kawasan hutan yang berubah menjadi Kawasan non hutan. Pemaknaan ini diperkuat oleh definisi deforestasi yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.30/Menhut II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) yang dengan tegas menyebutkan bahwa deforestasi adalah perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia.

Deforestasi dua tahun terakhir. Siapa paling rendah?
KLHK mengelompokkan deforestasi ke dalam beberapa definisi, yaitu deforestasi terencana (planned deforestation), deforestasi tidak terrencana (unplanned deforestion), deforestasi bruto (gross deforestation) dan deforestasi netto (netto deforestation). Deforestasi terencana adalah pembabatan hutan melalui izin konsesi hutan alam, hutan tanaman industri, atau konversi hutan untuk tujuan lain, seperti perkebunan, pertambangan, infrastruktur, lumbung pangan.
Sementara deforestasi tak terencana berasal dari penggundulan hutan seperti pembalakan liar atau kebakaran hutan dan lahan. Contoh deforestasi terencana adalah pemerintah Indonesia merencanakan deforestasi atau penggundulan hutan seluas 325.000 hektare per tahun hingga 2030. Angka ini terdapat dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) pemerintah yang dikirimkan ke PBB pada akhir Juli 2021.
Dampak Negatif Deforestasi
Penting untuk mengenali bahwa dampak deforestasi terhadap keanekaragaman hayati tidak hanya bersifat lokal, juga efek jangka panjang yang meluas ke seluruh planet. Penebangan pohon yang berlebihan merusak habitat alami bagi berbagai spesies tumbuhan dan hewan, yang mengandalkan hutan sebagai tempat tinggal dan sumber makanan (Semper-Pascual dkk. (2019),.
Menurut penelitian Semper-Pascual et.al (2019), banyak spesies endemik yang hanya ditemukan di ekosistem hutan tertentu terancam punah akibat hilangnya habitat akibat deforestasi. Bukan hanya flora dan fauna yang terdampak oleh deforestasi, tetapi juga layanan ekosistem yang sangat berharga bagi manusia.
Studi Brown et al. (2019) menunjukkan bahwa hutan-hutan yang utuh berperan penting dalam mengatur siklus air, mengurangi risiko banjir, dan menjaga kestabilan tanah. Ketika hutan-hutan ini dihilangkan, risiko bencana alam seperti tanah longsor dan banjir cenderung meningkat, mengancam kehidupan manusia dan infrastruktur. Dalam konteks perubahan iklim global, dampak deforestasi menjadi lebih kompleks.
Berikut adalah uraian mengenai dampak deforestasi terhadap ekosistem (Jainuddin, 2023):
Kehilangan Keanekaragaman Hayati. Kehilangan keanekaragaman hayati sebagai dampak deforestasi adalah peristiwa yang signifikan dalam ekologi. Hutan adalah rumah bagi banyak spesies, dan deforestasi mengancam eksistensi mereka. Salah satu dampak penting dari kehilangan habitat adalah hilangnya spesies-spesies yang belum ditemukan dan dipelajari oleh ilmu pengetahuan manusia. Deforestasi merusak kesatuan ekosistem dan berdampak pada interaksi kompleks antara organisme yang hidup di dalamnya.
Menurut Gibson et.al. (2001) kehilangan habitat alami di hutan akibat deforestasi adalah salah satu ancaman paling besar bagi keanekaragaman hayati. Spesies-spesies yang langka, endemik, dan bahkan yang belum ditemukan mungkin punah sebelum kita bahkan mengenalnya. Hilangnya habitat mengganggu rantai makanan dan interaksi ekologis yang penting bagi keseimbangan ekosistem.
Dampak ini mencakup kerugian dari aspek biologis dan ekologis, karena penurunan populasi spesies-spesies ini dapat mengganggu keseimbangan rantai makanan, mengurangi kemampuan ekosistem dalam menahan tekanan eksternal, dan berpotensi merusak layanan ekosistem yang bermanfaat bagi manusia
Gangguan Siklus Nutrisi. Gangguan pada siklus nutrisi merupakan salah satu dampak serius dari deforestasi terhadap ekosistem hutan. Siklus nutrisi yang rumit dalam hutan melibatkan sirkulasi unsur hara antara tanah, tumbuhan, dan hewan.
Deforestasi merusak siklus ini karena pohon-pohon yang biasanya menyerap dan mengumpulkan unsur hara dari tanah dihilangkan, mengakibatkan gangguan pada rantai makanan dan produktivitas ekosistem. Kehilangan nutrisi tanah ini juga berdampak pada hewan dan mikroorganisme yang ada dalam tanah, karena interaksi kompleks antara organisme ini sangat bergantung pada sirkulasi unsur hara yang seimbang. Dengan deforestasi, interaksi ini menjadi terganggu dan dapat merusak keseimbangan ekosistem yang ada (Purbopuspito, J., dkk: 2009).
Perubahan Iklim. Perubahan iklim adalah salah satu dampak besar dari deforestasi, yang berdampak pada skala global. Hutan memiliki peran penting sebagai penyerap karbon alami, membantu menjaga keseimbangan karbon di atmosfer.
Namun, deforestasi merusak fungsi ini karena pohon-pohon yang sebelumnya menyerap karbon dari atmosfer dihilangkan. Hal ini menyebabkan pelepasan karbon ke atmosfer ketika pohon-pohon tersebut terdekomposisi atau dibakar, berkontribusi pada peningkatan konsentrasi gas rumah kaca dan perubahan iklim global.
Deforestasi mengubah hutan yang sebelumnya bertindak sebagai penyerap karbon menjadi sumber emisi karbon yang signifikan. Pelepasan karbon ini berkontribusi pada peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, yang pada gilirannya berdampak pada perubahan iklim global dan pemanasan global. (Davidson et al., 2012).
Pelepasan karbon dari deforestasi dapat mengganggu keseimbangan antara karbon yang disimpan di hutan dan karbon yang ada di atmosfer, berpotensi mempercepat efek pemanasan global. Oleh karena itu, upaya untuk mengurangi deforestasi dan meningkatkan konservasi hutan sangat penting dalam rangka mitigasi perubahan iklim.
Siklus Air Terganggu. Terganggunya siklus air merupakan salah satu dampak serius dari deforestasi yang memiliki implikasi besar terhadap iklim dan lingkungan. Hutan memiliki peran penting dalam mengatur siklus air melalui proses transpirasi dan penguapan, yang menghasilkan uap air yang kemudian membentuk awan dan berkontribusi pada pembentukan curah hujan. Proses ini membantu menjaga keseimbangan dalam siklus air regional dan global.
Namun, deforestasi merusak proses ini. Dengan berkurangnya hutan, jumlah tanaman dan pohon yang dapat bertranspirasi juga menurun. Ini dapat mengakibatkan berkurangnya produksi uap air yang diperlukan untuk pembentukan awan dan hujan. Sebagai hasilnya, pola curah hujan dapat terganggu, mengakibatkan variasi dalam pola cuaca, termasuk risiko kekeringan atau banjir yang lebih tinggi.
Selain itu, hilangnya hutan dapat mengurangi kemampuan tanah untuk menahan air. Akibatnya, air hujan tidak terserap dengan baik oleh tanah dan lebih cenderung mengalirpermukaan, meningkatkan risiko banjir. Di sisi lain, tanpa hutan yang dapat mengeluarkan uap air melalui proses transpirasi, tanah dapat mengering lebih cepat dan meningkatkan risiko kekeringan.
Dampak ini memiliki implikasi yang signifikan terhadap sumber daya air, pertanian, dan kehidupan manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, pelestarian dan restorasi hutan menjadi penting dalam menjaga siklus air yang seimbang dan mencegah risiko ekstrem cuaca. Jadi, melalui proses transpirasi dan penguapan, hutan memainkan peran kunci dalam menjaga siklus air yang seimbang.
Deforestasi mengganggu keseimbangan ini dan dapat mengakibatkan perubahan ekstrem dalam pola cuaca, dengan konsekuensi serius bagi lingkungan dan kehidupan manusia.
Erosi Tanah dan Banjir Lumpur. Erosi tanah dan banjir lumpur adalah dampak nyata dari deforestasi terhadap ekosistem hutan. Pohon-pohon hutan memiliki akar yang menjaga struktur tanah dan mengurangi erosi dengan mengikat tanah secara efektif.
Selain itu, tumbuhan dan vegetasi hutan juga membantu menahan air hujan, mencegah aliran permukaan yang berlebihan. Oleh karena itu, ekosistem hutan memiliki peran penting dalam menjaga kestabilan tanah dan mengurangi risiko erosi. Namun, ketika hutan ditebang atau terbakar dalam proses deforestasi, akar-akar pohon yang sebelumnya menahan tanah hilang. Tanah yang terlalu terbuka dan terpapar langsung pada hujan akan lebih rentan terhadap erosi oleh air dan angin.
Hasilnya, tanah yang longsor dapat terbawa hujan menuju sungai dan saluran air, mengakibatkan pengendapan lumpur di aliran air. Ketika hujan deras terjadi, tanah yang tererosi dapat membentuk banjir lumpur yang merusak lingkungan sekitarnya. Banjir lumpur, atau yang dikenal juga sebagai "lahar", dapat sangat merusak lingkungan alami, pertanian, dan infrastruktur manusia.
Lumpur yang terbawa oleh banjir dapat mengubur tanaman, hewan, dan habitat alami. Selain itu, banjir lumpur dapat merusak jalan, jembatan, dan bangunan lainnya, berpotensi mengakibatkan kerugian ekonomi dan kerugian nyawa. Pentingnya hutan dalam mengurangi erosi dan mencegah banjir lumpur menekankan perlunya konservasi dan rehabilitasi hutan.
Upaya untuk menjaga vegetasi hutan, baik melalui pelestarian atau penanaman kembali, dapat membantu melindungi tanah dan mencegah dampak negatif dari erosi dan banjir lumpur. Dengan demikian, dampak erosi tanah dan banjir lumpur sebagai akibat dari deforestasi memberikan gambaran nyata tentang pentingnya menjaga ekosistem hutan dalam menjaga stabilitas lingkungan dan keberlanjutan masyarakat.
Hilangnya Biotop. Hutan adalah lingkungan yang kaya akan berbagai tipe biotop, seperti sungai, rawa, dan danau, yang menjadi rumah bagi berbagai spesies unik dan beragam. Biotop-biotop ini memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem air dan menyediakan habitat bagi spesiesspesies yang sangat tergantung pada lingkungan tersebut.
Namun, deforestasi memiliki dampak negatif terhadap keberadaan biotop ini. Kegiatan penebangan hutan dan konversi lahan untuk penggunaan manusia dapat mengubah aliran air, merubah pola drainase, dan mengganggu kualitas air. Hal ini berdampak pada biotop-biotop seperti sungai, rawa, dan danau yang menjadi terancam atau bahkan hilang karena perubahan lingkungan.
Gangguan Keseimbangan Predator-Mangsa. Gangguan pada keseimbangan predator-mangsa adalah salah satu dampak deforestasi yang serius terhadap ekosistem. Hutan memiliki hierarki ekologi yang rumit, di mana predator (karnivora) berperan dalam mengendalikan populasi hewan herbivora atau mangsa.
Populasi predator yang sehat membantu mengontrol populasi mangsa, mencegah peningkatan yang tidak terkendali dan mengganggu ekosistem. Namun, ketika habitat hutan berkurang karena deforestasi, populasi predator seperti harimau, serigala, atau karnivora lainnya juga terancam dan mengalami penurunan. Ini dapat mengakibatkan peningkatan populasi mangsa yang sebelumnya diatur oleh predator tersebut.
Populasi hewan herbivora yang tidak terkendali ini dapat berakibat pada perusakan vegetasi dan tanaman, karena kelebihan makanan yang diakibatkan oleh jumlah yang berlebihan. Penurunan jumlah predator juga dapat menyebabkan perubahan perilaku mangsa. Tanpa ancaman predator yang signifikan, mangsa mungkin menjadi lebih berani dan berpindah ke wilayah yang lebih dekat manusia, memicu konflik antara manusia dan hewan liar.
Dampak ini tidak hanya merugikan ekosistem secara keseluruhan, tetapi juga memiliki dampak ekonomi dan sosial. Gangguan pada tanaman dan vegetasi dapat mengurangi sumber daya makanan bagi hewan dan manusia. Selain itu, konflik antara manusia dan hewan liar yang mencari makanan dapat mengancam keselamatan dan mata pencaharian penduduk setempat.
Perubahan Lanskap. Perubahan lanskap akibat deforestasi adalah dampak yang mencakup transformasi signifikan dari lingkungan alami menjadi bentuk penggunaan lahan yang lebih intensif manusia, seperti lahan terbuka, perkebunan, atau kawasan urban.
Dampak ini memiliki implikasi yang kompleks terhadap ekologi dan lingkungan sekitarnya. Deforestasi dapat mengubah ekosistem yang semula tertutup dan lebat menjadi lahan terbuka, yang memiliki cakupan vegetasi yang jauh lebih rendah. Perubahan ini mengakibatkan perubahan mikroklimat di area tersebut.
Tanah yang sebelumnya dilindungi oleh kanopi hutan menjadi terpapar langsung pada sinar matahari, menyebabkan pemanasan yang lebih intensif dan lebih cepat. Hal ini dapat mempengaruhi suhu udara, kelembaban, dan pola aliran angin, yang pada gilirannya mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Selain itu, perubahan lanskap juga dapat mengganggu struktur ekosistem yang ada.
Organisme-organisme yang sebelumnya hidup dalam hutan dapat mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang drastis. Spesies-spesies yang khususnya tergantung pada habitat hutan mungkin mengalami penurunan populasi atau bahkan kepunahan akibat kehilangan habitat.
Adaptasi spesies terhadap perubahan juga dapat terganggu. Organisme-organisme mungkin kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah dengan cepat. Beberapa spesies mungkin mampu berpindah atau beradaptasi, sementara yang lain mungkin tidak mampu bertahan dalam lingkungan baru
Efek dari perubahan lanskap ini juga dapat melampaui batas geografis. Perubahan iklim mikro di satu area dapat memengaruhi interaksi antara ekosistem di daerah sekitarnya, berpotensi menciptakan efek berantai yang lebih luas.
Ikuti percakapan tentang deforestasi di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.

Guru Besar Perlindungan Hutan Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB University
Topik :