
RAWA gambut hanya menyelimuti 3% daratan dunia. Namun, ia menyimpan 600 miliar ton karbon di dalam tanah alias sepertiga cadangan karbon di dalam tanah di seluruh dunia. Masalahnya, hanya sedikit rawa gambut yang berstatus dilindungi.
Berdasarkan studi terbaru yang diterbitkan di Conservation Letters, secara global hanya 17% lahan gambut yang dilindungi. Luas ini jauh lebih sedikit dibanding ekosistem vital lainnya. Secara rinci, hanya 11% lahan gambut boreal dan 27% lahan gambut tropis yang dilindungi. Itu artinya, potensi eksploitasi lahan gambut masih begitu terbuka lebar.
Untuk mendapatkan data tersebut, para peneliti menggunakan sebuah peta yang dikembangkan menggunakan machine learning bernama Peat-ML. Kemudian mereka mencocokkannya dengan beberapa peta yang memetakan kawasan lindung, tanah adat, dan potensi tekanan dari aktivitas manusia.
Dengan melihat kepadatan penduduk dan faktor lainnya, para peneliti menemukan bahwa hampir separuh lahan gambut di iklim tropis dan iklim sedang menghadapi tekanan manusia dalam skala sedang atau tinggi. Hal ini menunjukkan tingkat kemungkinan degradasi lahan gambut yang lebih besar.
Hasil studi ini juga menunjukkan lebih dari 25% lahan gambut ada di wilayah masyarakat adat, dengan luas sekitar 1,1 juta kilometer persegi. Mengingat terbatasnya peta dan informasi mengenai lahan masyarakat adat, para peneliti menduga masih banyak rawa gambut di sekitar ruang hidup masyarakat adat. Sayangnya, tim peneliti menemukan bahwa 85% lahan gambut di tanah adat tidak memiliki status perlindungan.
Tanpa status perlindungan, lahan gambut rentan dieksploitasi. Bahkan, studi ini menunjukkan sebagian besar lahan gambut yang bahkan dilindungi tidak memiliki sumber daya manusia dan pendanaan yang memadai. Sehingga ancaman kerusakan gambut sangat terbuka lebar.
Salah satu ancaman yang paling melekat adalah pengeringan gambut untuk memproduksi suatu komoditas. Sebagai contoh, di Indonesia, pengeringan gambut sering dilakukan untuk produksi kelapa sawit.
Ekspansi perkebunan kelapa sawit telah menjadi pendorong utama deforestasi di Indonesia selama dua dekade terakhir. Kelapa sawit telah berkontribusi terhadap sepertiga dari hilangnya hutan tua di Indonesia. Dimana sebagiannya adalah lahan gambut.
Memang, hanya 14% perkebunan kelapa sawit, sekitar 2,2 juta hektar, yang ada di lahan gambut. Namun, kebakaran lahan gambut untuk pengeringan dan perkebunan telah bertanggung jawab atas hampir 92% dari emisi gas rumah kaca tahunan rata-rata perkebunan kelapa sawit antara 2015-2022.
Kebakaran lahan gambut melepaskan begitu banyak emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Sekitar 15% lahan gambut di dunia telah dikeringkan untuk pertanian dan sekitar 10% telah terdegradasi. Pengeringan tersebut menyumbang sekitar 15% emisi karbon akibat perubahan penggunaan lahan.
Padahal, untuk membentuk sepuluh sentimeter lapisan gambut yang kaya karbon, butuh waktu 100 tahun! Namun, lapisan tersebut dapat dengan mudah terbakar habis hanya dalam waktu satu hari.
Ekspansi pertanian yang tak mengindahkan keberadaan lahan gambut juga telah mengancam lahan gambut di lembah Amazon dan lembah Kongo. Selain itu, lahan gambut Cuvette Centrale di cekungan Kongo, yang telah berumur 10.000 tahun juga menghadapi potensi kerusakan karena di bawahnya terhadap lapisan minyak bumi.
Dalam sebuah studi ditemukan bahwa Asia Tenggara, yang memiliki sekitar 40% lahan gambut tropis di dunia, dapat mengurangi setengah emisi karbonnya lewat perlindungan lahan gambut dan hutan bakau di Asia Tenggara.
Selain itu, perlindungan gambut juga akan mengurangi risiko penularan penyakit dari hewan ke manusia dan risiko penyakit pernapasan akibat kebakaran gambut. Dimana dalam satu studi, kebakaran gambut di Indonesia telah menyebabkan 635.000 anak menderita asma parah dan ribuan orang harus dirawat di rumah sakit.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.

Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :