
INDUSTRI kakao bernilai US$ 100 miliar per tahun secara global dan menjadi tonggak hidup bagi lebih dari 5 juta petani kecil di daerah tropis. Namun, nilai itu diperkirakan akan turun mengingat produksi kakao menurun.
Sebuah studi yang dipublikasikan di Communications Earth & Nature menemukan bahwa penurunan produksi kakao dibatasi oleh dua hal, yakni suhu dan penyerbukan. Perubahan iklim membuat suhu Bumi lebih hangat, sehingga penyerbukan menurun, dan produksi buah kakao tidak optimal.
Tanaman kakao secara alami diserbuki oleh serangga, kadang oleh angin atau air. Untuk melihat seberapa efektif penyerbukan alami dan penyerbukan manual dalam produksi kakao, para peneliti melakukan serangkaian percobaan pada perkebunan kakao yang ada di Brazil, Ghana, dan Indonesia.
Studi tersebut menemukan bahwa secara rata-rata hanya 17% bunga kakao yang mengalami penyerbukan alami. Di Ghana jumlah penyerbukan alami lebih banyak, yakni 27%. Sementara di Brazil hanya 12% penyerbukan alami yang efektif dan Indonesia hanya 11%.
Penyerbukan manual dengan bantuan manusia adalah proses yang lebih efektif. Walau lebih banyak tenaga yang dikeluarkan, penyerbukan manual menunjukkan peningkatan produktivitas kakao hingga 20%.
Kakao yang tumbuh di lokasi yang lebih dingin 7o Celcius juga menunjukkan hasil panen yang lebih banyak, hingga 31% dibanding lokasi yang lebih hangat. Penggunaan pohon naungan merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengurangi suhu lingkungan sekitar. Keberadaan pohon naungan berdampak positif pada hasil panen sebesar 3-9%.
Selama musim 2023-2024, produksi kakao turun 14,2%. Akibatnya, harga kakao melejit menjadi hampir US$ 12.000 per ton. Harga tersebut menjadi yang tertinggi dalam 50 tahun terakhir.
Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga di dunia, dengan produksi mencapai 728.046 ton pada 2021. Namun, jumlah tersebut masih lebih rendah dibanding tahun 2010, yang mencapai 844.626 ton. Semenjak itu, produksi kakao terus menurun.
Wanatani atau tumpang sari antara budidaya kakao dengan hutan menjadi salah satu solusi mencegah turunnya produksi kakao akibat krisis iklim. Hal tersebut dapat menciptakan iklim mikro yang lebih sejuk dan menyediakan habitat bagi serangga penyerbuk kakao.
Di luar itu, pengembangan pengetahuan dan keterampilan dalam budidaya dan manajemen produksi, serta akses ke benih berkualitas juga menjadi poin vital. Mengingat kebanyakan produksi kakao berasal dari petani kecil. Dengan begitu, produktivitas dapat dimaksimalkan, kualitas terjaga, sehingga petani dapat menjual biji kakao mereka dengan harga tinggi. Yang mana itu menjadi motivasi dan insentif mereka dalam budidaya kakao.
Ikuti percakapan tentang krisis iklim di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.

Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :