Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 10 Maret 2025

Mudik Lebaran yang Ramah Lingkungan

Dua isu penting mudik Lebaran: keselamatan dan lingkungan. Keduanya terabaikan.

Jakarta didapuk sebagai kota dengan polusi udara terburuk di dunia (foto: IQAir)

LEBARAN masih 20 hari lagi. Perayaan Idul Fitri, secara sosial dan kultural, berkelindan dengan fenomena mudik. Spiritualitas puasa Ramadan pun kadang antiklimaks, tergerus oleh dominannya fenomena ekonomi dan kultural itu. Pada 2024 lalu, perputaran uang di masa mudik mencapai Rp 200 triliun, Rp 71,8 triliun mengalir ke berbagai daerah, khususnya Jawa Tengah, Jawa Barat, Yogyakarta, dan Jawa Timur.

Kementerian Perhubungan memperkirakan mudik Lebaran 2025 terdapat 300 juta pergerakan. Tentu ini sebuah fenomena yang besar, baik dari sisi sosial dan ekonomi. Wajar jika Kamar Dagang Indonesia memrediksi mudik Lebaran 2025 jumlah fulus yang akan mengalir ke daerah sebesar Rp 157 triliun.

Konstruksi Kayu

Dalam mudik Lebaran, isu krusialnya adalah sektor transportasi, baik darat, udara, plus laut dan penyeberangan. Pemerintah tampak gegap gempita memberikan diskon tarif transportasi, khususnya pesawat (13-15%), bahkan tarif tol didiskon sebesar 20%, untuk ruas tertentu.

Jalan tol akan mendapatkan perhatian utama, baik oleh pemerintah, dan masyarakat pemudik tersebab menjadi favorit pemudik, apalagi setelah tol Trans Jawa (1.832 kilometer) dan tol Trans Sumatera terintegrasi (959,9 kilometer). Diperkirakan 40% lebih pemudik akan melewati jalan tol. Walau bersungut-sungut karena tarifnya kian mahal, konsumen akan tetap mengaspal di jalan tol karena jalan tol secara empirik lebih aman, dibanding jalan nontol.

Aspek keselamatan menjadi concern. Terkait hal ini, sektor udara jauh lebih terkontrol dan terkendali. Juga di sektor perkeretapian.

Di sisi lain sektor penyeberangan khususnya di area perintis Indonesia bagian timur, harus mendapatkan perhatian yang lebih seksama, baik pada sisi kapasitas angkut, dan atau kelaikan berlayar. Apalagi di musim cuaca ekstrem seperti saat ini.

Data PT Jasa Raharja pada 2024 terdapat lebih dari 26 ribu nyawa orang Indonesia yang melayang di jalan raya karena kecelakaan lalu lintas. Lebih dari 77% melibatkan pengguna sepeda motor dan lebih dari 7.500 korban meninggal melibatkan truk, khususnya truk ODOL (Over Load Over Dimention).

Bagaimana dengan korban kecelakan di jalan tol? Walau angkanya lebih kecil, tingkat fatalitas di jalan tol di Indonesia masih mengkhawatirkan, tersebab pada 2023 lalu korban meninggal di jalan tol mencapai 366 orang.

Menurut data Korps Lalu Lintas Mabes Polri, secara umum kecelakan pada 2024 turun, baik aspek fatalitas dan atau kecelakaan secara keseluruhan. Secara keseluruhan angka kecelakaannya turun 15%, dari tahun sebelumnya sebanyak 2.159 kecelakaan, turun menjadi 1.835 kecelakaan.

Sepeda motor berkontribusi dominan sebesar 73%, kendaraan angkut orang (bus) sebesar 12%, dan kendaraan angkutan barang sebesar 10%, dan kendaraan mobil pribadi sebesar 2%.

Kendati turun, angka fatalitasnya tinggi. Jumlah korban meninggal selama mudik Lebaran 2024 mencapai 281 orang. Angka ini turun 3%, dari tahun sebelumnya.

Oleh karena itu, jika merujuk pada konfigurasi fatalitas di jalan raya, baik saat momen reguler dan atau musim mudik Lebaran, apa pun alasannya sepeda motor seharusnya menjadi moda transportasi yang dilarang untuk mudik. Dari sisi teknis sepeda motor bukan jenis kendaraan yang layak untuk melakukan perjalanan jarak jauh hingga ratusan kilo meter, tersebab tingkat keselamatannya sangat rendah.

Kepolisian dan Kementerian Perhubungan seharusnya tidak berkompromi untuk hal ini. Aspek keselamatan dalam bertransportasi tak bisa digadaikan. Merujuk data PT Jasa Raharja (2024), secara dominan yang menjadi korban fatalitas itu adalah usia 6-25 tahun (pelajar dan mahasiswa) sebanyak 39,48%; dan usia 26-55 tahun, yakni usia produktif sebanyak 39,26%.

Isu krusial mudik Lebaran sejatinya bukan hanya aspek keamanan, kenyamanan, dan keselamatan belaka. Seiring dengan fenomena krisis iklim, mudik Lebaran patut didekati dengan “pisau analisis” isu lingkungan. Sayangnya untuk hal ini belum ada pihak yang melakukan kajian, bagaimana plus minus prosesi mudik Lebaran dari sisi ekologis. Pemerintah dan masyarakat maksimal hanya terfokus pada sisi manfaat ekonomi dan sosial dari mudik Lebaran.

Dari perspektif ekologis, secara keseluruhan mudik Lebaran bisa dimaknai dalam dua hal, sisi positif dan sisi negatif.

Bagi kota Jakarta dan kota besar lainnya, mudik Lebaran berdampak positif, tersebab kota Jakarta bisa “beristirahat” dari eksploitasi, misalnya, eksploitasi air tanah. Sebab warga Jakarta masih lebih dominan menggunakan air tanah untuk keperluan sehari-hari.

Mudik Lebaran juga positif untuk mengurangi polusi yang masif di Kota Jakarta. Selain itu juga mengurangi polusi suara, bahkan polusi cahaya lampu. Mudik Lebaran bisa menjadi instrumen sesaat bagi kota Jakarta dan kota besar lainnya, untuk “beristirahat” dari eksploitasi warganya.

Namun, eksploitasi air tanah dan polusi udara akan bermigrasi ke daerah. Bahkan kemacetan pun berpindah ke daerah, khususnya daerah wisata ternama. Kota Yogyakarta, saat mudik Lebaran pun bertiwikrama menjadi “neraka kemacetan” yang luar biasa.

Namun polusi dan penggunaan air tanah di daerah tujuan mudik Lebaran, secara alami masih bisa “terkendali”; tersebab masih banyak area tangkapan (resapan) air dan atau masih banyak pepohonan, yang efektif menghasilkan oksigen dan menyerap karbon monoksida.

Guna mewujudkan mudik Lebaran yang ramah lingkungan, kita perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, mudik lebaran memakai angkutan umum, seperti menggunakan kereta api, bus umum, kapal laut dan penyeberangan, dan pesawat terbang. Dengan angkutan umum, manfaat utamanya adalah mengurangi jejak karbon, setidaknya dari sisi penggunaan bahan bakar (BBM).

Bahkan, mengarusutamakan mudik Lebaran dengan angkutan umum bisa menekan tingginya potensi kecelakaan lalu lintas, khususnya yang melibatkan sepeda motor. Maka, mudik gratis bagi pemudik sepeda motor adalah hal yang positif. Sayangnya, tarif angkutan masal kereta api cenderung mahal, apalagi untuk kelas eksekutif.

Kedua, bagi pengguna kendaraan pribadi, idealnya menggunakan jenis bahan bakar yang lebih baik kualitasnya, minimal berstandard Euro 2 bahkan Euro 4. Walau akhir-akhir ini, konsumen dibuat masygul, oleh adanya dugaan BBM berstandar Euro 2 (Pertamaks), tetapi hasil oplosan BBM jenis Pertalite.

Menggunakan kendaraan prihadi untuk mudik Lebaran juga menjadi pilihan yang tak terelakkan, tersebab kapasitas angkutan umum, seperti kereta api, bus umum masih terbatas, belum mampu memenuhi kapasitas pemudik.

Apalagi, di daerah eksistensi angkutan umum makin tergerus. Jadi pemudik mau tidak mau menggunakan kendaraan pribadi Oleh sebab itu, sebisa mungkin pengguna kendaraan pribadi saat mudik Lebaran menggunakan jenis bahan bakar yang lebih tinggi oktan number (RON)-nya.

Sebab dengan menggunakan standar BBM yang tinggi standar Euro-nya, akan menghasilkan emisi karbon yang lebih minimalis. Dan sebaliknya, semakin rendah standar Euro-nya, akan semakin tinggi menghasilkan emisi karbon.

Ketiga, menerapkan perilaku mengemudi yang eco-driving. Perilaku dan gaya mengemudi ternyata sangat berpengaruh dalam menghasilkan emisi karbon. Gaya mengemudi yang over speed maupun under speed, berpotensi menggerus konsumsi BBM (boros BBM). Maka di jalan tol, dengan rentang kecepatan antara 60-80 kilometer/jam, sejatinya sebuah cara untuk menghemat BBM.

Selain itu tentu untuk memitigasi potensi kecelakaan. Perilaku eco driving yang lain, adalah tidak merokok selama mengemudi. Merokok sambil mengemudi akan menghasilkan emisi karbon, baik dari asap rokok, bungkus rokok, dan puntung rokoknya, apalagi jika puntung rokoknya (yang masih menyala) dibuang sembarangan, bisa memicu kebakaran.

Bahkan dari sisi regulasi, yakni UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pengendara yang merokok sambil mengemudi bisa dijerat sanksi sesuai Pasal 283 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang menyebutkan, sanksinya bisa dipidana dengan kurungan paling lama tiga bulan atau denda hingga Rp 750 ribu.

Keempat, menghemat penggunaan air minum dalam kemasan (AMDK), dan Minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Memang bisa dimengerti jika dalam sebuah perjalanan (traveling) menggunakan AMDK. Namun sebaiknya, pemudik juga memitigasi untuk mengurangi potensi nyampah dari kemasan bekas AMDK/MBDK.

Oleh karena itu, pemudik sebaiknya menyiapkan tumbler/termos selama perjalanan mudik. Atau setidaknya pemudik bisa membeli AMDK dengan kemasan yang lebih besar, misalnya ukuran 3-5 liter. Bukan malah membeli AMDK dengan kemasan kecil, seperti kemasan ukuran gelas, 300 ml, atau juga 600 ml. Bahkan menurut “carbon calculator” ala IESR (Institut Essensial Services Reform), satu botol bekas kemasan AMDK/MBDK, menghasilkan jejak karbon yang lebih tinggi daripada kita menggunakan 1 liter BBM untuk kendaraan pribadi kita.

Klimaks dari mudik Lebaran setidaknya secara krusial adalah mengarusutamakan dua isu, yakni keselamatan dan keberlanjutan. Dua hal ini sejatinya tak bisa dipisahkan, saling berkelindan.

Isu keselamatan bermula dari perilaku pemudik itu sendiri, tersebab jika dilihat musabab kecelakaan lalu lintas, khususnya yang memicu fatalitas, adalah adanya faktor manusia (human factor), seperti mengantuk, kecapekan, kurang antisipasi, dan utamanya melanggar peraturan. Kemudian, tingginya kecelakaan dan memicu fatalitas adalah faktor kendaraan, dan dalam hal ini 77 persen kontribusinya dari sepeda motor, dan kedua adalah kendaraan truk.

Sedangkan faktor lingkungan dan jalan, khususnya di jalan tol, kontribusinya sangat kecil, yakni 0,03 persen. Jadi, tak bisa dielakkan bahwa mudik Lebaran berkontribusi signifikan terhadap produksi emisi karbon, sejak dari keberangkatan, selama perjalanan, hingga sesampainya di tempat tujuan.

Ikuti percakapan tentang ramah lingkungan di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pegiat perlindungan konsumen dan lingkungan hidup, anggota Asosiasi Pengamat Energi Indonesia (APEI), pendiri dan pengurus Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, dan Ketua Pengurus Harian YLKI, 2015-2025

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain