
PEMANFAATAN energi biomassa terus meningkat. Menurut laporan dari Environmental Paper Network, pada 2030, pasokan biomassa hutan untuk energi diproyeksikan naik tiga kali lipat dibanding tahun 2021. Pada dekade sebelumnya, peningkatannya hanya 50% antara 2010 dan 2021.
Kebutuhan energi biomassa pada 2030 mendorong perluasan hutan monokultur setidaknya 13 kali lipat dari tahun 2021. Akibatnya, konversi hutan alam terhadap hutan tanaman industri akan meningkat.
Setiap tahun, ada lebih dari 46 juta ton pelet kayu dan 1,9 miliar m3 bahan kayu diproduksi di seluruh dunia. Adopsi sumber energi biomassa hutan telah berkembang pesat secara global. Antara 2000 dan 2022, jumlah listrik yang dihasilkan energi biomassa naik lima kali lipat.
Selama ini, biomassa dianggap sebagai sumber yang ramah lingkungan dibanding energi fosil. Dalam perhitungan UNFCCC, emisi karbon pembakaran biomassa tak dimasukkan dalam neraca perhitungan emisi karena perhitungannya mengacu pada perubahan penggunaan lahan dan kehutanan (LULUCF). Biomassa juga sering dianggap sebagai netral karbon, karena selama masa hidup pohon, mereka menyerap karbon.
Konsep tersebut sarat dengan kritik. Penebangan hutan untuk biomassa menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan dan sosial. Label energi terbarukan terhadap biomassa telah mengekspansi dampak buruk tersebut menjadi lebih parah.
Komisi Uni Eropa telah membuat laporan yang menyediakan informasi tentang emisi dari pembakaran biomassa di negara-negara Uni Eropa. Nyatanya, emisi pembakaran biomassa telah meningkat tiga kali lipat sejak 1990 dengan emisi mencapai hampir 600 juta ton setara CO2 pada 2021. Sebagai pembanding, sektor transportasi Uni Eropa menghasilkan emisi sebesar 782 juta ton CO2.

Dalam sebuah studi, pembakaran biomassa hutan melepas lebih banyak karbon dioksida per unit energi dibanding batu bara dan gas. Berdasarkan uji emisi cerobong asap juga menunjukkan bahwa pembakaran biomassa menghasilkan emisi karbon 2,5 lebih tinggi daripada gas alam dan 30% lebih tinggi dari batu bara.
Di Finlandia, lebih dari dua pertiga energi terbarukan mereka berasal dari pembakaran biomassa. Pada 2023, mereka membakar 10,5 juta m3 atau 87% lebih banyak biomassa kayu dibanding tahun 2000. Saat bersamaan, antara tahun 2000 hingga 2021, penyerapan karbon di hutan Finlandia turun lebih dari 60%.
Di Jerman, lebih dari setengah dari semua pohon di negara tersebut ditebang untuk bahan bakar energi. Tingkat penebangan telah meningkat sebesar 20% sejak 2016. Sejak 2017, sekitar 600.000 hektar hutan konifer telah mati. Hilangnya hutan di Jerman telah menjadi sumber utama emisi karbon negara tersebut.
Di Indonesia, pemerintah berencana menerapkan co-firing di 52 lokasi pembangkit listrik tenaga batu bara. Jika terealisasi, diperkirakan Indonesia butuh 10 juta ton pelet kayu per tahun. Dimana permintaan biomassa ini berpotensi meningkatkan laju deforestasi hingga 2,1 juta hektare per tahun. Dengan potensi hilangnya hutan mencapai 10 juta hektare dan emisi dari deforestasi mencapai 108,2 juta ton setara CO2.
Selain itu, walau co-firing dibuat untuk mengurangi penggunaan batu bara, namun cara ini kurang tepat. Kebijakan co-firing hanya menjadi penyelamat batu bara karena memperpanjang umur pembangkit listrik tenaga batu bara.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.

Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :