Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 08 April 2025

Air PAM Penyelamat Lingkungan Jakarta

Warga Jakarta memakai air PAM dan air tanah. Akibat layanan belum mumpuni.

Pasokan air PAM Jakarta

MENJELANG tahun baru 2025, warga Jakarta mendapatkan kado pahit dari Pemerintah Jakarta berupa kenaikan tarif air PAM. Kado pahit itu tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 730 Tahun 2024 tentang Tarif Air Minum Perusahaan Daerah Air Minum Jaya.

Apakah kenaikan tarif itu sepadan? Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia melakukan survei untuk mengukur kemampuan bayar (ability to pay) dan kemauan membayar (willingness to pay) konsumen. Kendati survei “kecil-kecilan”, karena hanya 50 responden, di  lima wilayah di Jakarta, namun survei tersebut menggambarkan potret pelayanan PAM Jaya secara keseluruhan. 

Dari perspektif WTP, lebih dari 86% responden pernah mengeluhkan pelayanan PAM Jaya, mulai dari masalah air mengalir kecil, air tidak mengalir, air keruh dan berbau, plus terkait tagihan yang melonjak. Jadi terbukti survei kecil itu sejatinya secara sosiologis menjadi potret pelayanan PAM Jakarta kepada penggunanya secara keseluruhan. Bahkan ini keluhan klasikal, sekalipun kala itu air PAM Jaya dikelola oleh swasta asing, yakni Palyja dan Aetra.

Sedangkan dari sisi ATP, opini pelanggan PAM Jaya terhadap tarif PAM Jaya adalah 60% menganggap cukup, 26% menganggap mahal, dan sisanya 6-8% menganggap sangat mahal, murah, dan sangat murah.

Walau tarif air PAM Jaya sudah termasuk kategori full cost recovery, alias sudah cukup sehat, manajemen PAM Jaya berdalih bahwa kenaikan itu “terpaksa” dilakukan karena selama 17 tahun terakhir tarif air PAM Jaya belum pernah naik. Akibatnya, besaran dan struktur tarif PAM Jaya tertinggal dengan tarif air PAM di kota satelit, yakni Depok, Bekasi, dan Tangerang.

Ketertinggalan tarif ini punya dampak ikutan yang lumayan serius, yakni fenomena penyelundupan air PAM Jaya untuk dijual ke daerah di sekitarnya. Jika dilihat pada formulasi dan struktur tarif yang digagas PAM Jaya cukup menarik, karena ada keberpihakan terhadap pelanggan kecil.

Sebagai contoh, jika pelanggan menggunakan air PAM secara bijak (hemat), yakni 10 meter kubik per bulan, tidak ada kenaikan tarif. Angka 10 meter kubik per bulan ini sesuai standar yang ditetapkan Kementerian Dalam Negeri. Volume 10 meter kubik itu setara dengan 10 ribu liter.

Artinya, dengan mekanisme dan formulasi seperti ini, tujuannya bukan hanya untuk melindungi daya beli saja, juga ada upaya agar konsumen hemat menggunakan air. Sebaliknya, jika konsumen menggunakan air PAM lebih dari 10-20 meter kubik, akan dikenakan tarif progresif.

Analog dengan model penetapan tarif energi listrik di Afrika Selatan. Jika pemakaian konsumen rumah tangga miskin menggunakan listrik maksimum 30 kWh per bulan, mereka tak akan dipungut biaya. Tetapi jika lebih dari 30 kWh per bulan, akan dikenakan tarif keekonomian.

Dari sisi ATP, formulasinya cukup adil. Tersebab ada upaya atau instrumen agar formulasi kenaikan tersebut tidak menggerus daya beli (purchasing power) konsumen. Ini dengan asumsi penggunaan air dari konsumen tidak melebihi 10 meter kubik per bulan. Dan angka tersebut juga sudah memenuhi standar minimal sebagaimana standar yang ditetapkan oleh pemerintah. 

Kalaupun konsumen harus melewati standar tersebut, dan kemudian ada kenaikan tagihan (karena terkena tarif progresif), konsumen juga bisa mereposisi pengeluaran rumah tangganya. Misalnya, konsumen bisa melakukan migrasi dari pengeluaran untuk membeli rokok, dialihkan untuk menambal kenaikan tarif air PAM tersebut. Sebab, alokasi anggaran untuk beli rokok di rumah tangga, khususnya rumah tangga miskin kini justru sangat tinggi, kisarannya mencapai 10-11% dari total pengeluarannya.

Jika merujuk WTP, kenaikan tarif air PAM Jaya terasa tidak/kurang adil, sebagaimana merujuk survei YLKI pada konsumen PAM Jaya. Survei itu juga mencerminkan kondisi riil. Sebab dengan belum optimalnya pelayanan PAM Jaya, baik dari sisi volume pasokan dan atau kualitas air, konsumen harus merogoh kocek tambahan, baik untuk membeli air bersih, bahkan untuk membeli air minum kemasan ukuran galon.

Sebanyak 40 persen responden mengaku masih menggunakan air galon sebagai sumber air tambahan. Dengan kata lain, konsumen harus merogoh kocek untuk biaya tambahan yang signifikan bagi warga, selain untuk membayar tagihan air PAM.

Manajemen PAM Jaya berkomitmen sampai 2030 akan tersambung 1 juta pelanggan baru, dengan pembangunan pipa air minum sepanjang 7.000 kilometer. Dengan tambahan jaringan pipa sepanjang itu, seluruh warga Jakarta bisa mendapatkan layanan PAM Jaya, dengan kualitas yang baik dan andal. Peremajaan dan pembangunan pipa air minum memang sangat mendesak, tersebab saat ini mayoritas pipa air minum PAM Jaya sudah uzur karena peninggalan zaman Belanda.

Manajemen PAM Jaya mengklaim per 2024, cakupan layanan PAM Jaya mencapai 70,29%. Saat ini kontur tanah Kota Jakarta kian menurun, salah satu sebabnya karena penyedotan air tanah yang masif dan eksploitatif, baik untuk keperluan industri, sektor bisnis, dan tentunya keperluan rumah tangga.

Perilaku eksploitatif ini tidak bisa disalahkan, sebab tidak ada opsi, khususnya untuk kalangan rumah tangga. Bahkan banyak rumah tangga yang sumber air bersihnya ganda, dari PAM Jaya plus menyedot air tanah. Fenomena ini banyak terjadi sebab pasokan air dari PAM Jaya belum bisa diandalkan.

Eksploitasi  air tanah di Jakarta itu makin runyam karena makin minimnya ruang terbuka hijau (RTH). Sesuai mandat UU Lingkungan Hidup, RTH di Jakarta minimal 30% dari total luas wilayah. Praktiknya, rasio itu makin menyusut. Upaya PAM Jaya memasok 100%, bisa menjadi salah satu instrumen untuk menyelamatkan air tanah di Jakarta.

Namun janji PAM Jaya ini harus benar-benar diawasi, agar tidak menjadi pepesan kosong, seperti janji oleh Palyja dan Aetra yang menjanjikan air PAM Jaya bisa diminum dari air kran, seperti di Eropa. Faktanya boro-boro langsung diminum dari kran, yang terjadi malah air PAM Jaya masih keruh, berbau pula. 

Jika pun target itu tercapai, tetap harus ada prasyarat, yakni performa pasokan air PAM Jakarta benar-benar andal, baik dari sisi volume dan debit airnya, maupun dari aspek kualitasnya. Oleh karena itu, harus ada mitigasi berupa disinsentif bagi warga yang tetap nekat menggunakan air tanah. Disinsentif itu bisa berupa denda yang tinggi, atau pun dikenakan tarif progresif yang sangat mahal.

Pengguna air tanah bisa dikontrol dengan tarif progresif. Dengan asumsi pasokan air PAM Jaya sudah 100% area, pasokan dan kualitasnya pun andal. Plus tarifnya tetap terjangkau, khususnya bagi rumah tangga menengah bawah. Bahkan pada titik tertentu, penggunaan dan penyedotan air tanah di Kota Jakarta oleh siapa pun, bisa dinyatakan sebagai tindakan terlarang.

Ikuti percakapan air tanah dalam di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pegiat perlindungan konsumen dan lingkungan hidup, anggota Asosiasi Pengamat Energi Indonesia (APEI), pendiri dan pengurus Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, dan Ketua Pengurus Harian YLKI, 2015-2025

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain