Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 17 April 2025

Ketika Deforestasi Naik, Saatnya Revisi UU Kehutanan

Di tengah deforestasi, UU Kehutanan perlu direvisi. Kembalikan batas 30% hutan di satu DAS atau pulau.

Deforestasi di ekosistem Leuser (foto: RAN)

DI tengah hiruk-pikuk pembangunan dan ambisi ekonomi, Indonesia berada di persimpangan krisis. Di satu sisi, ada tanggung jawab untuk menjaga hutan sebagai benteng terakhir kehidupan, di sisi lain ada tekanan besar mengorbankannya demi investasi dan pembangunan infrastruktur.

Revisi Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 telah menjadi ajang pertarungan mempertahankan kelestarian alam dan permainan kekuasaan serta ekonomi. Lebih dari sekadar melindungi pohon, prinsip kelestarian adalah menyelamatkan masa depan dari ancaman deforestasi yang semakin tak terkendali. 

Data Kementerian Kehutanan, tren deforestasi 2024 naik, dengan angka deforestasi bruto mencapai 216,2 ribu hektare, mayoritas di hutan sekunder, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Menurut Auriga Nusantara, LSM, peningkatan deforestasi ini merupakan yang tertinggi sejak 2021. Kali ini akibat pertambangan nikel.

Di saat bersamaan, revisi Undang-Undang TNI membuka pintu bagi militer terlibat dalam penjagaan hutan dan perlindungan sumber daya alam sebagai bagian dari strategi ketahanan nasional. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menawarkan kemudahan bagi investasi dan eksploitasi kawasan hutan. Meski mendorong pertumbuhan ekonomi, kebijakan ini berisiko mempercepat kerusakan alam.

Data Forest Watch Indonesia (FWI) dan Kementerian Kehutanan pun menunjukkan adanya peningkatan jumlah izin pelepasan hutan untuk perkebunan dan pertambangan setelah UU Cipta Kerja berlaku. Di antaranya, legalisasi 1,7 juta hektare perkebunan sawit ilegal melalui Pasal 110a dan 110b UU Cipta Kerja, tanpa transparansi dan pengawasan yang memadai. Hingga November 2023, sekitar 20% pelepasan kawasan hutan dialokasikan untuk kegiatan perkebunan, mencakup area seluas 482.359 hektare.

Laporan Environmental Investigation Agency (EIA) dan Mighty Earth mengungkapkan bahwa antara 2020 hingga 2022, terjadi peningkatan signifikan pembukaan lahan hutan di Papua dan Kalimantan untuk pertambangan dan perkebunan sawit setelah berlakunya UU Cipta Kerja. Semakin jelas kebijakan yang seharusnya menjaga keseimbangan alam justru mempercepat degradasi lingkungan.

Kedua regulasi ini, UU TNI dan UU Cipta Kerja, bertabrakan dalam arena besar. Di satu sisi, TNI dipanggil untuk melindungi kekayaan alam negeri ini, di sisi lain pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan ekonomi bisa menghancurkan apa yang seharusnya mereka jaga.

Jelas bahwa revisi UU Kehutanan menjadi mendesak. Ini bukan lagi soal menjaga hutan, melainkan menyelamatkan warisan kehidupan bagi generasi mendatang di tengah konflik kepentingan yang kian tajam dan sulit dihindari. Program legislasi nasional 2025 untuk revisi UU Kehutanan harus segera direalisasikan dan dikebut seperti UU TNI.

Berikut ini adalah lima catatan krusial dalam revisi Undang-Undang Kehutanan:

Pertama, perlu segera dikembalikan kewajiban mempertahankan minimal 30% hutan di setiap daerah aliran sungai dan pulau yang dihapus UU Cipta Kerja. Angk 30% adalah batas minimal yang disepakati secara internasional (Food and Agriculture Organization, FAO) untuk menjaga kesehatan ekosistem yang menopang kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Mempertahankan angka ini adalah cara memastikan keberlanjutan lingkungan yang jelas dan pasti secara hukum.

Kedua, kawasan hutan lindung dan konservasi tidak boleh lagi digadaikan atas nama pembangunan. Pada 2021, sebagian kawasan Hutan Lindung Bukit Tiga Puluh di Sumatera dialihfungsikan untuk tambang batu bara.

Data Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan pada 2022, sekitar 80.000 hektare hutan konservasi di Kalimantan Timur jug dilepaskan untuk pembangunan jalan tol dan proyek energi, seperti tambang batu bara dan PLTU. Selain itu, laporan Environmental Investigation Agency (EIA) dan Greenpeace mencatat bahwa antara 2019 hingga 2022, sekitar 100.000 hektare hutan di Papua diubah menjadi perkebunan sawit, termasuk area yang seharusnya merupakan hutan konservasi.

Oleh karena itu, perlu aturan hukum yang jelas dan tegas yang melarang alih fungsi di kawasan hutan lindung dan konservasi, serta memperkuat kebijakan moratorium izin baru di kawasan hutan primer dan lahan gambut. Hutan-hutan ini tak hanya menyimpan keanekaragaman hayati tak ternilai, juga menjadi tempat tinggal dan sumber penghidupan bagi masyarakat adat.

Ketiga, masyarakat adat dan lokal harus menjadi bagian dari solusi, bukan korban. Kasus Hutan Adat Kinipan di Kalimantan Tengah adalah contoh bagaimana masyarakat yang hidup selaras dengan alam terpinggirkan oleh perusahaan besar. Mereka perlu didengar, dilibatkan, dan diberdayakan dalam menjaga hutan yang telah mereka rawat selama berabad-abad.

Pengelolaan hutan berbasis masyarakat harus mendapatkan prioritas dalam skema perizinan dan pemanfaatan hutan, serta dilengkapi dengan dukungan teknis dan finansial yang lebih besar dari pemerintah. Hak-hak mereka atas hutan harus diakui dan diprioritaskan dalam setiap kebijakan pengelolaan hutan. Sehingga perlu percepatan pengakuan hutan adat, termasuk implementasi yang lebih jelas dan tegas mengenai Persetujuan Bebas, Didahulukan, dan Diinformasikan (FPIC).

Keempat, penyelarasan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan adalah kunci. Tidak bisa lagi kita mengorbankan hutan untuk pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Proyek-proyek pembangunan harus melalui kajian yang lebih ketat, dengan analisis dampak lingkungan yang komprehensif. 

Sebagai pengingat, menurut laporan Greenpeace, antara 2001 hingga 2019, Indonesia kehilangan sekitar 24,8 juta hektare hutan primer, yang sebagian besar digunakan untuk industri kelapa sawit dan pertambangan. Banyaknya proyek pembangunan besar, seperti pembangunan tambang, PLTU batu bara, dan infrastruktur, tanpa memperhatikan dampak lingkungan. Oleh karena itu, penyelarasan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan mendesak perlu ditambahkan dalam revisi Undang-Undang Kehutanan.

Kelima, penegakan hukum. Tidak bisa ada lagi pembalakan liar yang luput dari pengawasan, atau perusahaan-perusahaan besar yang merusak hutan tanpa konsekuensi serius. Menurut laporan EIA, lebih dari 80% aktivitas pembalakan liar di Papua dilakukan oleh perusahaan besar. Contoh lainnya yaitu kasus korupsi Gubernur Riau, Annas Maamun, yang ditangkap oleh KPK pada 2014 terkait suap dalam pemberian izin lahan untuk perkebunan sawit di kawasan hutan.

Teknologi modern seperti remote sensing bisa dimanfaatkan untuk memantau tutupan hutan secara real-time dan pelanggaran berat harus dihukum dengan sanksi pidana yang setimpal, bukan hanya denda administratif.

Pada akhirnya, revisi UU Kehutanan bukan hanya tentang perubahan aturan, tetapi tentang memilih jalan masa depan kita—apakah kita akan membiarkan hutan-hutan terakhir Indonesia direnggut oleh kerakusan ekonomi, atau kita akan berdiri untuk melindunginya.

Ikuti percakapan tentang hutan di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Dosen kehutanan UGM. Sedang tugas belajar di University of Florida

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain