Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 25 Juni 2020

Multiusaha: Jawaban Atas Pengelolaan Hutan Lestari

Ada 10 poin refleksi dan pemikiran rimbawan IPB dalam mengelola hutan secara lestari. Multiusaha adalah jawaban atas pengelolaan hutan lestari.

Penyadapan getah karet di hutan Gunung Walat (Foto: R. Eko Tjahjono)

MULTIUSAHA dalam pengelolaan hutan adalah isu yang tengah menghangat akhir-akhir ini. Bukan isu baru tapi kini relevan di tengah konflik lahan yang tak kunjung usai, di antara komoditas alam Indonesia yang menurun, dan tuntutan terhadap sumbangan ekonomi dari sektor kehutanan. Memandang kayu hanya sebagai komoditas hutan terbukti membuat degradasi dan deforestasi hutan Indonesia menjadi parah. 

Multisektor adalah salah satu poin penting hasil rembuk para rimbawan IPB yang diumumkan pada 6 Juli 2019 di IPB International Convention Center. Ketua Umum Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan IPB Bambang Supriyanto menyampaikan refleksi pemikiran untuk masa depan pengelolaan lingkungan dan kehutanan dalam lima tahun mendatang yang akan menjadi pekerjaan rumah Menteri Kehutanan periode 2019-2024.

Konstruksi Kayu

Ada 10 poin refleksi yang merupakan hasil diskusi kelompok terfokus para rimbawan selama dua kali dalam dua pekan sebelumnya. “Semoga menjadi bahan kajian dan kebijakan pemimpin kehutanan masa mendatang,” kata Bambang. “Insya Allah akan kami sampaikan langsung kepada Bapak Presiden.”

Para rimbawan IPB bekerja di pelbagai profesi: akademisi, pelaku industri kehutanan, aparatur sipil negara, konsultan bidang kehutanan, aktivis lembaga swadaya masyarakat bidang lingkungan dan kehutanan. Ada tiga topik yang menjadi isu utama bidang kehutanan yang mereka soroti: revitalisasi industri dan multiusaha kehutanan, kepemimpinan kehutanan, reforma agraria dan perhutanan sosial serta hutan adat.

Berikut ini hasilnya:

Potret Capaian

Kekuatan

  • Luas hutan di Indonesia (2017): 125,92 juta
    • Hutan produksi 68,83 juta hektare (HP, HPT, dan HPK),
    • Hutan konservasi 27,43 juta hektare
    • Hutan lindung 29,66 juta hektare
  • 74 tipe vegetasi
  • 54 taman nasional
  • Kesatuan Pengelolaan Hutan yang terbentuk 450 unit (2018), dan sebanyak 170 unit yang telah mengembangkan usaha produksi
  • Serapan karbon dari kawasan konservasi 625 Giga ton (2018)
  • Energi listrik yang dihasilkan dari kawasan konservasi 6.157 mega watt geotermal (2018)
  • Jasa lingkungan air dari kawasan konservasi 600 miliar m3 (2018)
  • Aparatur sipil negara 16.504 orang (85 unit kerja pusat, 190 UPT, di 34 Provinsi
  • Kawasan hutan sudah temu gelang 81% (2018)
  • Personil penegakan hukum: 2.143 polisi hutan (2018)
  • Personil penyuluh kehutanan: 8.211 orang (2018)

Kelemahan

  • Kewenangan pengurusan hutan di tingkat provinsi dan pusat, kecuali taman hutan raya
  • Indeks rasio Gini 0,394 (2016) – 0,391 (2017)
  • Terdapat usulan penetapan adat 9,3 juta hektare (2018): 22 ribu hektare telah ditetapkan (49 komunitas).
  • Konflik tenurial: 320 kasus (2015-2018), di mana 79 kasus dapat diselesaikan (2018)
  • Produk domestik bruto ktor Kehutanan dan turunannya menyumbang sebesar Rp 91,6 triliun, berkontribusi sekitar 1% terhadap PDB nasional;

Peluang

  • Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK)– Hutan Alam (16 juta hektare)
  • IUPHHK-Hutan Tanaman Industri (10 juta hektare)
  • IUPHH-Restorasi Ekosistem (553 ribu hektare)
  • Produksi hasil hutan bukan kayu 217,69 (2015) - 358,8 ribu ton (2018)
  • Produksi kayu bulat 38,31 juta meter kubik (2015) - 48,73 juta meter kubik (2018)
  • Ekspor kayu olahan US$ 9,84 miliar (2015) US$ 12,18 miliar (2018)
  • Penerimaan negara bukan pajak Rp 5,51 triliun (2015) Rp 6,34 triliun (2018)
  • Realisasi izin Perhutanan 3,13 juta hektare (akhir Juni 2019)
  • Realisasi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) 2,4 juta hektare (akhir Juni 2019)
  • Restorasi gambut 880 ribu hektare (2017)
  • Serapan tenaga kerja: (2016) sebanyak 493 ribu tenaga kerja - (2017) sebanyak 738 ribu tenaga kerja
  • Investasi: Rp 148,80 triliun (2017)
  • Kunjungan wisatawan mancanegara dan nusantara 8,1 juta orang (2016) – 4,8 juta orang (2018)

Ancaman

  • Kebakaran hutan 2,61 juta hektare (2015) – 194 ribu hektare (2018)
  • Lahan kritis 27,02 juta hektare (2014) - 14,01 juta hektare (2018)
  • Laju deforestasi 1,09 juta hektare (2015) - 0,5 juta hektare (2017)
  • Indeks Kualitas Tutupan Lahan (IKLH) 58,55 (2015) - 61,03 (2018)
  • Jumlah desa di sekitar kawasan hutan: 25.856 desa dengan 36,7% hidup di bawah garis kemiskinan.

Sumber: Laporan Kinerja KLHK 2017-2018

Pemikiran Masa Depan Indonesia

a. GAP Analisis

  • Ada lima prasyarat tercapainya hutan lestari yang adil: 1) kelestarian hasil fisik, 2) sistem insentif, 3) lingkungan sosial ekonomi, 4) ukuran kinerja pembangunan, 5) tata kelola yang baik. Pada saat ini syarat 2,3,4,5 belum terpenuhi.
  • Pemahaman yang terbatas tentang implementasi ilmu-ilmu ekonomi, sosial, institusi dan politik untuk pelaksanaan pembangunan kehutanan, sehingga pendekatan kehutanan ditingkat lanskap belum mendapatkan dukungan luas.
  • Pendekatan kolaboratif para pihak dengan model triple helix, quadruple helix atau penta helix dalam pembangunan kehutanan ke depan merupakan keharusan.

b. Strategi Reorientasi Masa Depan Kehutanan

  • Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, keberadaan sumber daya hutan bagi kehidupan belum mencapai kondisi lestari, baik secara ekologi, ekonomi maupun sosial. Untuk membangun sistem yang dapat menyelesaikan masalah kehutanan maka perlu:
  • Bagaimana norma, standar, kebijakan dan inovasi berjalan tanpa ada manipulasi dan korupsi kepentingan publik untuk keuntungan pribadi.
  • Bagaimana kelestarian hutan menjadi ukuran kinerja pengelola (operator) dan pemerintah/pemda (regulator) dan bukan hanya kinerja administrasi
  • Bagaimana lingkungan sosial, ekonomi, dan ekologi bersedia menerima dampak negatif yang diakibatkan usaha kehutanan.
  • Bagaimana pengelola hutan bersedia melakukan pelestarian hutan berdasarkan apa yang diterima dan apa yang dikorbankan.
  • Bagaimana hutan secara fisik ditata sehingga jumlah penebangan tidak menyebabkan kapasitas tumbuhnya berkurang

Berdasarkan kerangka di atas, permasalahan kehutanan berkaitan dengan permasalahan kawasan hutan yang belum mantap serta tingginya tingkat kerusakan hutan, usaha kehutanan yang belum menciptakan kondisi yang menguntungkan untuk berusaha dan rendahnya akses masyarakat dalam pemanfaatan hutan. Untuk menyelesaikan permasalahan kehutanan maka perlu didorong adanya inovasi kebijakan pengelolaan hutan sesuai dengan kerangka berpikir di bawah ini:.

Pembaruan kebijakan dapat dilakukan melalui penguatan modal sosial dengan narasi kebijakan, penguatan aktor-network dan pemahaman politik-kepentingan.  Modal sosial ini merupakan policy space untuk mengatasi hambatan yang terjadi karena kawasan yang legal tidak legitimate (LTL), sumber daya alam, program anggaran kementerian atau lembaga negara, dan adanya kepemimpinan

c. Critical issues/pengungkit keberhasilan kehutanan 5 tahun ke depan

  • Keberhasilan pengelolaan hutan di masa depan tidak terlepas dari kondisi kehutanan saat ini. Keberhasilan pengelolaan hutan ini berkorelasi dengan kondisi politik, kepastian kawasan hutan, kepastian usaha kehutanan dan partisipasi masyarakat. Pengelolaan sumber daya hutan diarahkan untuk menjaga keberlangsungan kelestarian hutan untuk kehidupan manusia. 
  • Pembangunan kehutanan tidak dapat dipisahkan dari aspek politik, sosial, ekonomi dan budaya, sehingga pendekatan pembangunan kehutanan di masa depan harus bersifat multiaspek dengan melibatkan multistakeholder. Upaya reorientasi pembangunan kehutanan ini menekankan pada perbaikan kebijakan yang belum sesuai serta memperkuat kebijakan yang sudah sesuai.
  • Beberapa faktor yang menjadi isu untuk mencapai keberhasilan pengelolaan hutan dimasa depan (2019 -2024) adalah :
  1. Politik Kehutanan

Hutan dan kehidupan wilayah sekitarnya merupakan satu kesatuan ekosistem yang memiliki fungsi untuk mendukung kehidupan.  Untuk mencapai kesatuan ekosistem tersebut, maka keberadaan sumber daya hutan dalam bentuk kesatuan kawasan hutan dan fungsi menjadi bagian yang harus dipertahankan. Kesatuan ekosistem kawasan hutan dapat dicapai melalui adanya proses perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan dalam satu kesatuan kelembagaan yang terintegrasi.  Oleh karena itu, upaya untuk memisahkan kegiatan perencanaan, pengelolaan termasuk di dalamnya adalah pemanfaatan serta kegiatan pengawasan harus dilakukan oleh satu kesatuan lembaga yang mengurusi hutan.

  1. Kewenangan pengurusan hutan

Kepastian kawasan hutan menjadi prasyarat utama dalam pengelolaan hutan.  Oleh karena itu, UU kehutanan yang bersifat khusus (lex specialist) perlu dilakukan penguatan sebagai dasar dalam menetapkan kawasan hutan yang mantap.  Pembagian UU sektoral yang bersifat khusus ini perlu saling dikuatkan dan diintegrasikan untuk menghindari adanya tumpang tindih kewenangan dalam pengaturannya.

  1. Pemantapan Kawasan Hutan
  • Okupasi dan kooptasi hutan untuk berbagai penggunaan dan latar belakang penggunaan menyebabkan tingginya degradasi dan deforestasi serta konflik kawasan hutan. Untuk mengurangi hak tersebut maka penetapan kawasan hutan perlu segera diselesaikan.
  • Kerusakan kawasan hutan pada beberapa wilayah menyebabkan adanya bencana hidrorologis berupa banjir, longsor serta angin puting beliung. Untuk mengurangi bencana yang diakibatkan oleh kerusakan hutan tersebut maka perlu dilakukan perbaikan melalui gerakan pemasyarakatan rehabilitasi dan peningkatan rehabilitasi hutan.
  • Potensi kawasan hutan selama beberapa dekade mengalami penurunan yang ditandai dengan menurunnya jumlah dan kapasitas industri kehutanan. Untuk meningkatkan potensi hutan, ke depannya diperlukan upaya perbaikan kualitasnya salah satunya melalui teknik silvikultur intensif.
  1. Kepastian Usaha

Kepastian usaha hutan dalam memanfaatkan hutan ini berkaitan dengan kejelasan kawasan hutan, iklim investasi yang kondusif dan adanya pemanfaatan hasil hutan multi benefit.  Keanekaragaman hasil hutan perlu dieksplorasi untuk meningkatkan manfaat dan multi usaha yang dapat dikembangkan dalam pemanfaatan hutan.

  1. Revitalisasi Industri kehutanan dan multi usaha kehutanan
  • Industri kehutanan yang tidak efisien menyebabkan adanya persaingan yang tidak sehat dalam usaha kehutanan yang menciptakan adanya monopoli dan monopsoni dalam industri kehutanan. Oleh karena itu perlu dilakukan inovasi kebijakan yang dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif dan kompetitif melalui kebijakan fiskal maupun moneter 
  • Salah satu aspek yang menyebabkan tidak berkembangnya industri kehutanan adalah ketersediaan bahan baku yang tidak stabil. Pada dekade tahun 2000-an, industri kehutanan mengalami kekurangan bahan baku. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam pengembangan industri kehutanan perlu perhatian pada aspek ketersediaan bahan baku. Hal ini dapat menyinkronkan kebijakan yang berhubungan dengan rehabilitasi untuk meningkatkan potensi hutan. Di samping itu, perlu dilakukan re-arragement hubungan antara pemerintah dan pemegang izin
  • Usaha kehutanan selama ini hanya menekankan pada usaha pemanfaatan hasil hutan kayu. Ke depannya, dengan tetap memperhatikan aspek ekosistem kawasan hutan, maka pendekatan yang dilakukan dalam pemanfaatan hutan adalah pemanfaatan multi guna dan multimanfaat dari hutan. Untuk itu, pemanfaatan yang bersifat multiaspek dari hutan ini perlu dituangkan dalam kebijakan pemanfaatan hutan.
  1. Partisipasi Masyarakat dan Kesejahteraan

Di masa depan, partisipasi masyarakat tidak hanya menjadi pelengkap dalam pengelolaan hutan, tetapi diarahkan untuk menjadi subyek dalam pengelolaan hutan.  Kebijakan pemberian hak kepada masyarakat untuk memanfaatkan hutan perlu dilanjutkan, baik hak akses maupun hak aset. Kebijakan ini diharapkan menjadi kebijakan prioritas dalam mengurangi tingkat kemiskinan masyarakat sekitar hutan.

  1. Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial
  • Kesenjangan dalam pemberian hak pemanfaatan hutan perlu dikoreksi dengan memperluas hak pemanfaatan kepada masyarakat melalui berbagai skema, dimana skema yang saat ini dikembangkan dan menjadi kebijakan strategis Kementerian LHK adalah Perhutanan Sosial.  Namun demikian masih terdapat berbagai kelemahan dalam implementasinya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pelaksanaan Perhutanan Sosial perlu terus dilaksanakan dengan memperbaiki sistem yang telah ada. 
  • Perbaikan sistem dalam implementasi Perhutanan Sosial diantaranya melalui sinkronisasi kebijakan Perhutanan Sosial dengan konsep reforma agraria dan penguatan kelembagaan proses pemberian ijin dan pasca ijin baik di tingkat  daerah maupun pusat. Koordinasi antara Kementerian/lembaga dan pemerintah daerah perlu digalakkan dan dituangkan dalam peraturan perundangan.
  • Pelaksanaan Perhutanan Sosial selama ini belum dilaksanakan secara komprehensif, baik dalam kebijakan maupun proses implementasinya.  Berkaitan dengan hal tersebut, implementasi Perhutanan Sosial perlu dibuat secara komprehensif dari hulu sampai sampai ke hilir dengan membuat atau menguatkan kelembagaan yang ada. Implementasi Perhutanan Sosial dapat dilakukan melalui penguatan KPH (legalitas dan legitimasi)
  • Proses implementasi Perhutanan Sosial selama ini juga belum melibatkan Pemda secara aktif, terutama UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Ke depannya, penguatan KPH yang sedang dilaksanakan saat ini diharapkan dapat memasukan Perhutanan Sosial sebagai bagian dari kewenangan KPH.
  • Perhutanan Sosial diintegrasikan ke dalam program Kesatuan Pengelolaan Hutan di provinsi sehingga proses identifikasi areal/kawasan, penerbitan SK sampai pengembangan pasca penerbitan ijin menjadi kewenangan KPH
  • Penetapan TORA selama ini masih terkendala rendahnya koordinasi antara Kementerian/Lembaga dengan pemerintah daerah. Akibatnya progres TORA yang bersifat distribusi aset tidak berjalan sesuai dengan yang ditargetkan. Ke depan, perlu penguatan koordinasi antar K/L maupun dengan pemerintah daerah dalam pencapaian target TORA
  1. Percepatan Penetapan Hutan Adat
  • Merujuk Putusan MK 35/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa UU khusus masyarakat hukum adat merupakan mandat konstitusi untuk itu diperlukan UU baru mengenai masyarakat hukum adat. UU baru diharapkan mengatasi peraturan sektoralisme yamng tumpang tindih, mengatasi masalah “pengakuan bersyarat” yang selama ini diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan menata ulang hubungan masyarakat hukum adat dengan negara.  
  • Harmonisasi peraturan dan kewenangan mengenai masyarakat hukum adat   dengan cara (1) merumuskan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) dalam bentuk peraturan bersama Menteri-Menteri untuk menjembatani kementerian dan lembaga yang masing-masing memiliki peraturan terkait masyarakat hukum adat; (2) memastikan kewenangan daerah dalam menetapkan masyarakat hukum adat dan memfasilitasi pasca penetapan hutan adat; (3) menyelesaikan tata batas kawasan hutan termasuk tata batas hutan adat; (4) memasukkan hutan adat dalam peta kawasan hutan; dan (5) pendaftaran hak komunal atas tanah di hutan adat. 
  • Salah satu kendala dalam mempercepat implementasi penetapan hutan adat adalah kendala dalam mempercepat peraturan daerah mengenai masyarakat hukum adat dan fasilitasi pasca penetapan hutan adat. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dilakukan percepatan penetapan hutan adat melalui pendampingan kepada pemerintah daerah dalam mempercepat pembuatan peraturan daerah tentang masyarakat hukum adat.
  1. Degradasi hutan

Mengakibatkan berkurangnya keanekaragaman hayati yang sangat penting untuk manusia, pengendalian hama dan penyakit serta perubahan iklim. Untuk itu diperlukan upaya mempertahan Kawasan konservasi dengan pengelolaan yang baik dan efektif, penelitian dan pengembangan untuk kemanfaatan jenis serta kerja sama internasional untuk memerangi kepunahan spesies dan perubahan iklim.

  1. Kepemimpinan Masa Depan Kehutanan
  • Permasalahan kehutanan di masa depan bukan lagi menjadi permasalahan orang kehutanan, tetapi telah bergeser menjadi permasalahan seluruh lapisan masyarakat. Pergeseran tersebut dapat dilihat dari tingkat kepedulian masyarakat terhadap hutan serta tinggi antusiasme masyarakat untuk menikmati alam/hutan. Berkaitan dengan hal tersebut maka kepemimpinan kehutanan di masa depan yang membutuhkan pemimpin yang dapat melakukan tindakan-tindakan yang bersifat lokal tetapi dalam kerangka berpikir makro dan dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan secara cepat serta tangap terhadap perubahan tersebut (pemimpin transglobal).
  • Pemimpin kehutanan baik ditingkat pusat, provinsi maupun tapak perlu memiliki kompetensi profesionalisme dan integritas yang tinggi agar pendekatan pembangunan kehutanan berdasarkan lanskap, multifungsi manfaat dan mengarusutamakan peran serta masyarakat dapat terlaksana dengan baik.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain