Kabar Baru| 12 Februari 2020
Taman Kota Menurunkan Tingkat Kejahatan
SUDAH lama para ahli menelisik hubungan alam yang hijau dengan tingkat kejahatan. Jika shinrin-yoku atau secara natural alam memberikan ketenangan dan mereduksi stres, seharusnya ia berpengaruh pada tingkat kejahatan—jika kejahatan dianggap berhubungan dengan cara manusia bertahan hidup yang menyebabkan kegelisahan dan tekanan mental.
Studi terbaru yang dipublikasikan di jurnal PNAS menyebutkan ada korelasi positif antara kota yang hijau, jumlah taman, dengan tingkat kejahatan. Kota yang hijau dengan banyak taman yang asri telah menurunkan tingkat kejahatan sebanyak 10 persen, menurunkan kekerasan dengan senjata api hingga 17 persen, dan sebanyak 75 persen masyarakatnya merasa aman bepergian ke luar rumah.
Karena itu penelitian ini juga menelisik hubungan jumlah lahan kosong dengan kejahatan dan tingkat stres. Selain taman yang punya korelasi positif, banyaknya lahan kosong dan telantar di perkotaan juga mendorong kejahatan meningkat dan rasa tak aman bagi penduduknya. Ada persepsi semakin banyak lahan kosong yang tak terurus, masyarakat merasa kian tak aman.
Masyarakat yang tinggal di kota-kota dengan jumlah taman publik yang luas dan banyak, juga punya tingkat stres yang sedikit. Hijau daun, udara yang bersih, berpengaruh secara langsung pada tingkat stres dan kegelisahan. Dengan begitu, tingkat kejahatan akibat persaingan dan gerak gegas perkotaan menjadi berkurang.
Studi ini memang meneliti kota-kota di Amerika terhadap jumlah kejahatan antara tahun 1990-2007. Tapi, agaknya, bisa berlaku di kota mana pun. Sebab di Inggris, peneliti London School of Economic juga menemukan cerita serupa: kejahatan kecil terjadi ketika udara kotor di kota besar maupun kecil. Kota yang tak punya banyak taman publik cenderung meningkatkan stres dan mendorong penduduknya berbuat jahat dan menumbuhkan persepsi tidak aman bagi penghuninya. Survei Indonesia Research Center ini menunjukkan perbandingan ruang terbuka hijau dan persepsi keamanan berbanding lurus.
Udara Jakarta akhir-akhir ini mencatat rekor terburuk dengan kategori sangat tidak sehat. Dengan membandingkan grafik kualitas udara Jakarta dan tingkat kejahatan pada semester pertama 2019 ternyata berbanding lurus. Semakin buruk udara Jakarta, kejahatan perkotaan juga meningkat. Menurut polisi, di Jakarta kejahatan terjadi tiap 16 menit 27 detik dan ada 9 kejadian pencurian setiap hari.
Pada 2019, kejahatan naik cukup signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Ironisnya, di Jakarta Barat, para pelaku lebih banyak anak-anak dan memakai narkotika. Sayangnya, belum ada penelitian untuk menelisik korelasi antara keberingasan anak-anak perkotaan dengan polusi udara yang mereka hirup sehari-hari.
Dengan jumlah itu pun, Jakarta bukan provinsi dengan jumlah kejahatan terbanyak. Ia hanya menempati urutan kedua. Nomor satu adalah Sumatera Utara. Menurut Badan Pusat Statistik (2018), jumlah kejahatan di provinsi ini hampir 40.000 per tahun atau 109 kejahatan tiap hari. Meski pun tidak ada pembanding antara tingkat kejahatan dan jumlah taman kota secara spesifik, agaknya taman turut berpengaruh terhadap tingkat keamanan.
Sebab taman kota berperan menyerap polusi udara. Tingkat polusi yang tinggi di Jakarta akibat tak kunjung bertambahnya taman-taman kota membuat kualitas udara memburuk dengan kategori sangat tidak sehat. Ruang terbuka hijau di Ibu Kota masih 14,9 persen sejak beberapa tahun terakhir—atau separuh syarat ruang terbuka hijau dibanding luas Jakarta yang menapai 66 ribu hektare. Itu pun hampir separuh disumbang oleh swasta. Kurangnya ruang terbuka hijau, sementara pembangunan digenjot membuat udara Jakarta berada dalam kategori sangat tidak sehat bagi penduduknya.
Data dari Kepolisian Metro Jakarta menunjukkan jumlah pencurian dengan pemberatan pada periode 1-15 Mei 2019 sebanyak 226 kejadian, naik 26 kasus dibanding periode bulan sebelumnya. Pencurian dengan kekerasan pada periode yang sama sebanyak 44 kasus, naik tujuh kasus dibanding periode bulan sebelumnya.
Adapun indeks kualitas udara Jakarta turun setiap hari. Secara tahunan kualitas udara Jakarta memburuk dibanding 2018. Pada 2019, konsentrasi partikel PM 2,5 atau lebih kecil dari 2,5 mikrometer sebesar 57,88 mikrogram per meter kubik, lebih tinggi dibanding 2018 sebesar 42,42 mikrogram. Saking halus, partikel ini sanggup menembus masker dan sulit disaring oleh bulu hidung, sehingga besar kemungkinan menyusup sampai paru-paru dalam jumlah besar.
Udara Jakarta bahkan memburuk saat Lebaran 2019. Padahal “Jakarta sunyi sekali di malam hari” saat Hari Raya Idul Fitri karena kendaraan sebagai salah satu sumber polusi berkurang akibat mudik. Buruknya udara ketika tak ada kendaraan dan aktivitas manusia, menunjukkan konsentrat dan partikel bebas yang dibuang selama sebelum Lebaran turun ke permukaan tanah ketika udara membaik.
Selain mengurangi energi fosil, kota seperti Jakarta perlu segera mengganti teknologi lebih ramah lingkungan, terutama polusi transportasi seraya menambah luas ruang terbuka hijau sebagai penyerap polusi paling efektif. Trembesi adalah pohon yang harus diperbanyak di tiap sudut kota karena kemampuannya menyerap emisi karbon paling banyak dibanding pohon lain.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :