SEKTOR kehutanan harus terintegrasi dengan sektor nonkehutanan serta masyarakat untuk menjamin masa depannya. Menurut Profesor Dudung Darusman, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, kolaborasi ini tak lagi bisa ditawar karena perkembangan zaman menuntutnya demikian. Dudung menyampaikan pandangannya dalam acara “Refleksi dan Pemikiran Masa Depan Kehutanan Indonesia” yang dihela Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan IPB di IPB International Convention Center, 6 Juli 2019.
Sebelum sampai pada kesimpulan itu, Dudung bercerita tentang sejarah sektor kehutanan yang adikuasa di masa lalu, masa Orde Baru, era setelah revolusi kemerdekaan. “Sejarah sektor kehutanan di negeri kita ini dinamis dan turun-naik, serta hubungan dan posisinya dengan sektor lain,” katanya.
Para rimbawan pendahulu, kata Dudung, selalu melihat kepentingan politik dalam membangun kehutanan. Sementara sektor nonkehutanan punya dinamika sendiri, yang seharusnya diperhitungkan oleh para pengelola hutan karena ilmu kehutanan pada akhirnya punya tujuan menciptakan pengelolaan yang lestari.
Pada 1960-1980, kata Dudung, sektor kehutanan punya posisi sangat kuat secara politik. Sebaliknya, sektor nonkehutanan dan masyarakat punya posisi lemah. Hutan menjadi andalan pendapatan negara, menjadi sumber membiayai pembangunan. Dalam keadaan seperti ini sektor nonkehutanan sangat butuh hutan, dan dengan begitu sektor kehutanan bersikap adikuasa.
Tahun 1989 sampai 2000, terutama setelah Reformasi 1998, situasinya terbalik: sektor nonkehutanan semakin kuat, paling tidak secara politik. Menurut Dudung, pada era ini sektor kehutanan sudah tidak adikuasa lagi. Sektor kehutanan tak lagi menjadi prioritas seiring sektor lain yang mulai menjadi andalan.
Tahun 2000-2010 kehutanan semakin melemah sedangkan nonkehutanan cenderung kuat. “Sekarang kita masuk masa-masa atau fase terakhir, yaitu 2010-2011,” katanya. “Saya melihat kehutanan sudah tidak dibutuhkan. Dengan kondisi seperti itu, sikap para pelaku sektor kehutanan adalah membuka diri untuk melakukan kerjasama partnership plus compliance.”
Meskipun hubungan-hubungan logis seperti itu, menurut Dudung, sikap para rimbawan terlihat masih menganggap diri adikuasa. “Kita masih ingin terus mengatakan ‘Inilah kehutanan dan saya punya kewenangan kepada hutan’,” katanya.
Akibatnya, kini, kata Dudung, mulai terasa sektor kehutanan menjadi terpinggirkan. Ada dua hal yang menjadi cirinya, pertama, tentang pertanahan kehutanan yang berada di luar sistem pertanahan nasional dan kedua, keuangan, khususnya pada reboisasi yang pada waktu itu cukup besar dan berada di luar sistem keuangan nasional. Kini dua hal itu mengempis.
Maka ketika kini sektor kehutanan melemah, para rimbawan punya padangan bahwa sektor ini mengisolasi mereka. Sikap defensif ini, kata Dudung, telah menyebabkan tidak adanya para pelaku sektor non kehutanan yang merasa senasib dan seperjuangan dengan para pelaku sektor kehutanan.
Apa yang kemudian terjadi? Kekalahan demi kekalahan. “APBN menjadi sulit dan kecil,” katanya. “Para rimbawan menjadi pelaku pinggiran bahkan dipinggirkan. Satu ciri paling menyakitkan adalah Menteri Kehutanan bukan dari kehutanan.”
Jika para rimbawan meneruskan business as usual dengan sikap-sikap yang terus ingin menjadi adikuasa, kata Dudung, yang terjadi semacam bola salju kehancuran hutan Indonesia. Apabila hutan Indonesia hancur, kata dia, bangsa Indonesia akan hancur. “Saya yakin negara adikuasa abad 21 adalah negara yang hutan alamnya masih utuh bukan negara yang senjata nuklirnya paling kuat,” kata Dudung.
Maka Dudung bersaran saatnya kehutanan dan sektor nonkehutanan berintegrasi. Dampaknya memang akan terasa dalam jangka pendek dengan terjadi kegaduhan. Namun demikian, kata Dudung, dalam jangka panjang para rimbawan akan mendapat ketenangan karena pembangunan kehutanan dipikirkan bersama. “Pertaruhannya adalah apakah kita akan menunda integrasi ini atau berani melakukannya sejak sekarang?” kata dia.
Keyakinan Dudung itu ditopang oleh fakta bawah sejak dulu, bukan hanya orang kehutanan, para rimbawan saja, yang ingin hutan tetap lestari. Dudung mengkritik cara pandang para rimbawan yang bersikap eksklusif mengelola sektor ini sehingga “calon teman” itu menjauh dan bekerja sendiri-sendiri menjaga hutan.
Tahun 1990-an, kata Dudung, banyak lembaga swadaya masyarakat seperti Greenpeace dan Walhi, menyorongkan diri menjadi teman. Namun, Kementerian Kehutanan, kata dia, tidak mengapresiasinya, malah cenderung berteman dengan pengusaha. “Seandainya waktu itu Kementerian memainkan kekuatan mereka, sektor kehutanan kita akan jauh lebih maju,” kata Dudung.
Kini LSM semakin banyak. Dunia internasional mendukung dan berpihak kepada hutan dan lingkungan. Dudung meminta para rimbawan menerima uluran tangan mereka karena situasi politik sekarang juga kembali berpihak kepada sektor kehutanan. “Kesempatan ini sebaiknya tak lagi disia-siakan: misi kita adalah berkolaborasi dengan sektor nonkehutanan sebab kita semua pada akhirnya ingin hutan Indonesia lestari,” katanya.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan IPB, kontributor lepas, dan wirausahawan produk ramah lingkungan.
Topik :