Kabar Baru| 18 Februari 2020
Bercinta Lebih Ramah Lingkungan Ketimbang Online
PAMELA Anderson mengatakan kita bisa menyelamatkan dunia dengan empat hal: seks, cinta, empati, romansa. Dalam wawancara khususnya dengan Financial Times edisi 10 Mei 2019, aktor yang terkenal karena membintangi Baywatch ini meminta kita setop nonton film porno atau main PlayStation. Pendek kata, setop memakai yang digital. Sebab empat hal yang disebut “revolusi sensual” itu memerlukan rendez-vous, tak tergantikan oleh online.
Pertanyaannya, benarkah yang bukan digital bisa mengubah dunia di tengah arus deras digitalisasi dalam segala hal? Kita harus menengok data The Shift Project, sebuah lembaga riset di Paris, yang mencatat produksi dan menonton video streaming menghasilkan 300 juta ton karbon dioksida sepanjang 2018. Jumlah ini sama dengan emisi karbon yang dihasilkan Spanyol selama setahun.
Sumbernya berasal dari energi listrik yang terpakai untuk mengirimkan berbita-bita data melalui jaringan Internet. Energi listrik digital menjadi tak ramah lingkungan karena 80 persen energi dunia masih diproduksi dari sumber energi fosil yang tak terbarukan.
Menurut The Shift Project, teknologi informasi lebih banyak menyedot energi ketimbang sektor lain. Sebanyak 55 persen energi di sektor IT terpakai untuk pemakaian. Hanya 45 persen untuk produksi di pabrik—untuk semua komponen: ponsel, komputer, infrastruktur jaringan Internet.
Pengiriman email, menonton video di YouTube, menonton siaran film di Netflix, mengunduh dan mengunggah sebuah video atau gambar ke Instagram, atau sekadar chit-chat video melalui WhatsApp adalah konsumsi energi yang besar jika menjumlahkannya dengan 7 miliar manusia yang nongkrong di planet ini.
The Shift menghitung konsumsi energi untuk transfer data itu menyumbang 4 persen emisi karbon per tahun. Bandingkan dengan konsumsi energi penerbangan di seluruh dunia yang hanya menyumbang emisi 2,5 persen.
Agaknya, jumlah emisi akibat energi yang dihabiskan untuk online dan aktivitas daring itu akan terus bertambah. Studi Cisco memprediksi pada 2022 sebanyak 60 persen populasi dunia akan terhubung dengan Internet, dengan 80 persen memakai video untuk saling bertukar data dan informasi.
Orang Amerika rata-rata memakai 150 gigabita data tiap bulan melalui 10 perangkat elektronik yang tersambung ke Internet. Jauh melampui negara mana pun. Orang India baru 5 gigabita per bulan dengan 3 perangkat, lebih tinggi dibanding Indonesia yang menghabiskan 2 gigabita kuota Internet sebulan. Di dua negara ini paket pemakaian kuota terus meningkat seiring kian masifnya infrastruktur Internet.
Semua itu memerlukan energi listrik untuk menghidupkan sinyal atau menggerakkan dokumen dari satu tempat ke tempat lain yang menguap menjadi panas ke atmosfer bumi. Karbon dioksida itu terperangkap di sana dan menghalangi ozon menyerap panas yang dikeluarkan bumi dan aktivitas manusia plus cahaya matahari. The Shift Project menghitung tiap US$ 1 investasi menaikkan 37 persen konsumsi energi.
Energi listrik kian meningkat jika transfer sinyal itu memakai aliran kawat tembaga. Transmisi sinyal dalam Internet paling efektif memakai kabel serat optik karena mengirim sinyal lewat cahaya. Tapi energinya kian besar jika kita lebih banyak memakai streaming video atau siaran langsung. Apalagi jika sumber datanya berada jauh secara geografi.
Jadi bagaimana baiknya? Menonton televisi analog juga membutuhkan energi, bukan? Buku kertas juga menghabiskan pohon dan dibuat memakai mesin, bukan? Benar, tapi konsumsi dan karbon yang dihasilkannya lebih sedikit ketimbang online secara streaming atau membaca berkas melalui kindle dan pdf yang membutuhkan listrik untuk menghidupkannya.
Cara terbaik adalah mengubah energi sejak mula menjadi energi bersih dan terbarukan, yang tak membuat atmosfer menderita karena karbon terperangkap di sana dalam bentuk efek rumah kaca. Efek rumah kaca telah membuat suhu bumi naik 1 derajat dalam 100 tahun terakhir atau setelah Revolusi Industri sehingga es di kutub mencair menaikkan permukaan laut 3 milimeter per tahun dan mematikan hampir 1 juta spesies.
Barangkali Pamela Anderson benar: dunia lebih selamat jika kita lebih banyak bercinta ketimbang berselancar di Internet. Make love more, stop online!
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :