KONSORSIUM Pembaruan Agraria dan Pengurus Pusat Muhammadiyah menggelar diskusi publik membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan di Jakarta pada 3 September 2019. Saya hadir sebagai salah satu narasumber.
Dari pembahasan dalam diskusi itu terlihat bahwa poin-poin dalam RUU ini sangat dinamis, karena itu sulit dipegang sebagai acuan. Ada kesan bahwa dinamikanya kian liar karena DPR akan mengesahkannya pada September nanti.
Kelompok-kelompok masyarakat sipil dan akademikus umumnya masih membahas RUU ini versi Agustus 2019. Padahal, sudah beredar draf RUU versi 1 September 2019, walaupun isi RUU versi 1 September ini pun masih belum beranjak sesuai harapan banyak pihak yang mengemuka dalam diskusi-diskusi publik di luar arena penetapan RUU di gedung parlemen.
Beberapa kelemahan draf RUU dalam versi yang baru:
- Batas maksimal penguasaan tanah masih didasarkan pada skala ekonomi dan pajak progresif (Pasal 12). Ini menunjukkan keadilan sosial melalui akses pertanahan masih tidak jelas atau diskriminatif terhadap masyarakat kebanyakan.
- Kelebihan penguasaan fisik lahan dari konsesinya oleh pemegang hak guna usaha yang langsung dieksekusi oleh negara seperti tertuang dalam Pasal 25 ayat 8 menunjukkan kelonggaran yang bisa memicu korupsi oleh negara (state capture corruption). Pasal pemutihan ini dipertahankan dari sejak draf awal RUU tanggal 22 Juni 2019.
- Pemegang hak pengelolaan tanah masih menentukan tarif. “Dalam keadaan tertentu” Menteri dapat mengubah kebijakan terkait hak pengelolaan. Tanpa ada penjelasan "..." (Pasal 41). Multi interpretasi dan peluang diskresi dalam RUU ini juga tampak menjadi indikasi wujud korupsi oleh negara (state capture corruption).
- Dalam pelaksanaan Sistem Informasi Pertanahan, jika ada ketidaksesuaian atau tumpang tindih antara data/peta tanah, kawasan, dan wilayah, yang menyelesaikannya adalah Menteri Agraria dan Tata Ruang. Ada konotasi hanya data tanah yang dianggap benar seperti tersirat pada Pasal 60 (3). Ini tidak sejalan dengan temuan Tim Percepatan Kebijakan Satu Peta sesuai Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016, bahwa banyaknya tumpang tindih lahan memerlukan keterlibatan aktif menteri terkait penguasaan lahan itu.
- Istilah “Lembaga Pengelola Tanah" sebagai ganti istilah "Bank Tanah", ternyata masih berfungsi sebagai bank tanah karena mewajibkan modal disetor, pinjaman, dan sumber lain yang sah (Pasal 71). Lembaga Pengelolaan Tanah merupakan badan khusus yang mengelola tanah dan memiliki kekayaan yang dipisahkan dari keuangan Negara. Ia akan melakukan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan dan pendistribusian tanah.
- Tidak ada terobosan dalam penyelesaian konflik dan sengketa tanah, kecuali disebutkan melalui musyawarah mufakat atau pengadilan (Pasal 77). Walau isi undang-undang seperti ini tidak keliru, tetapi kemungkinan tidak akan beroperasi karena fakta lapangan sangat memerlukan inovasi penyelesaian masalahnya.
Diskusi koalisi masyarakat sipil ini mengemukakan kecemasan bahwa isi RUU Pertanahan terlalu dibebani banyak agenda untuk kepentingan kelompok tertentu. Padahal tanah dan pertanahan menjadi jantung keadilan sosial maupun fondasi bagi pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Dalam RUU versi terbaru yang dapat dibaca hari ini jelas-jelas tanah diperlakukan sebagai komoditas ekonomi. Masyarakat luas perlu mengetahui situasi ini.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :