KOMISI Pemberantasan Korupsi telah terbukti menjadi pelopor anti-korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam—korupsi utama Indonesia hari ini—yang menjadi buhul pertalian para oligarki dan persekutuan pemburu rente ekonomi yang menunggangi sistem politik. Korupsi ini menjadi penyebab utama pengelolaan sumber daya alam menjadi tidak adil dan tidak lestari.
Kini upaya itu sedang dilemahkan oleh DPR melalui pengajuan perubahan Undang-Undang KPK memakai hak inisiatif. Masyarakat luas perlu mengetahui agenda ini dan bersama-sama menolaknya, dengan melihat Tujuh Poin Krusial Draf RUU Perubahan KPK:
Pegawai KPK tidak lagi independen
Draft mengatur bahwa seluruh pegawai KPK menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara yang terdiri dari Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) dan Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Merujuk pada UU ASN dan draft UU Perubahan KPK, Pegawai Tetap KPK non PNS akan masuk dalam kategori dari Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Sedangkan Pegawai Negeri Yang Diperkerjakan (PNYD) akan berstatus ASN yang Pegawai Negeri Sipil.
Perubahan status ini akan menghilangkan indepedensi pegawai KPK dalam menangani perkara karena kenaikan pangkat dan pengawasan sampai mutasi akan dikoordinasikan dan—dalam beberapa hal—dilakukan oleh Kementerian terkait. Hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip indepedensi KPK yang dibangun setelah reformasi dan tujuan didirikannya lembaga ini sebagai penyelidik perkara korupsi menggantikan polisi dan jaksa.
Konsekuensi lain, PPPK tidak mempunyai hak promosi dan jaminan yang sama sebagaimana Pegawai Negeri Sipil.
Wadah pegawai akan digantikan oleh KOPRI karena seluruh aparatur sipil negara harus tergabung dalam dadah tunggal ini sehingga tidak akan ada lembaga yang mewakili kepentingan pegawai KPK.
Pasal yang mengatur soal pegawai KPK tercantum dalam Pasal 1 angka 7, Pasal 24 ayat 2 dan 3.
Penyadapan dan Penyitaan harus seizin dewan pengawas
Pimpinan dan anggota Dewan Pengawas dipilih dan dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) atas usulan Presiden.
Proses penyadapan yang selama ini dilakukan KPK didasarkan pada standar lawful interception sesuai standar Eropa serta dipertanggungjawabkan melalui audit oleh pihak ketiga akan tergantikan dengan adanya permohonan izin kepada Dewan Pengawas. Dewan Pengawas yang dibentuk oleh DPR dari usulan Presiden berpotensi memiliki konflik kepentingan dalam melakukan kontrol sehingga berpotensi bocor. Padahal penyadapan mempunyai fungsi penting dalam melakukan operasi tangkap tangan serta fungsi penegakan hukum lainnya.
Proses penggeledahan yang selama ini dilakukan melalui mekanisme izin pengadilan tergantikan oleh Dewan Pengawas.
Proses penyitaan yang telah diberikan kewenangan secara istimewa dengan tidak izin pengadilan dalam Undang-Undang KPK diubah menjadi harus melalui izin Dewan Pengawas.
Artinya, penyelidik dan penyidik melakukan fungsinya sangat bergantung dari Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR RI dan Presiden RI. Terlebih pada saat awal terdapat ketentuan 3 dari 5 dewan pengawas harus atas usulan DPR RI.
Pasal yang terkait soal penyadapan ada di Pasal 12 B, Pasal 12 C, Pasal 37 B, Pasal 37 E
Penyelidik hanya dari polisi
Draf mengatur bahwa untuk penyelidik harus dan hanya boleh dari Kepolisian. Padahal, pnyelidik mempunyai fungsi penting dalam melakukan penyelidikan dalam rangka menemukan kasus sebelum penetapan seseorang menjadi tersangka.
Selama ini penyelidikan KPK terjadi secara independen karena penyelidik KPK merupakan pegawai-pegawai yang direkrut secara independen sebagai Pegawai tetap dari berbagai keahlian. Selain membuat penyelidik tidak mempunyai kapasitas beragam dengan kerumitan kasus yang ada dengan hanya merekrut dari Kepolisian, tidak akan adanya penyelidik independen.
Pasal yang terakit soal ini: Pasal 43, Pasal 43A
Tidak ada penyidik independen
Draf mensyaratkan penyidik harus berasal hanya dari penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), Kepolisian dan Kejaksaan sehingga tidak mungkin dari di luar ketiga institusi tersebut. Artinya dihapuskan keberadaan penyidik independen. Padahal penyidik independen ada selaras dengan tujuan hadirnya KPK untuk membenahi serta mendorong institusi lain agar lebih optimal sehingga dibutuhkan penyidik yang tidak memiliki konflik kepentingan.
Pasal terkait dalam RUU ada di Pasal 45, Pasal 45 A
Penuntutan KPK tak lagi independen
Karena harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan Kejaksaan Agung sehingga KPK tidak independen lagi dalam menjalankan fungsinya.
Pasal terkait soal ini: Pasal 12A
Tak ada lagi kriteria penanganan kasus yang meresahkan publik
Draf membatasi kewenangan KPK dalam menangani kasus yang meresahkan publik dengan hanya membatasi kerugian negara sebatas Rp 1 miliar. Padahal dalam penanganan kasus kerugian negara hanya terbatas pada Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi. Artinya untuk penanganan suap akan sulit ditangani KPK.
Pasal RUU terkait: Pasal 12
Penghentian penyidikan dan penuntutan
KPK menetapkan suatu kasus penyidikan melalui proses yang sangat hati-hati karena tidak adanya penghentian penyidikan dan penuntutan. Dengan ketentuan menghentikan penyidikan dan penuntutan akan menurunkan standar KPK dalam penanganan kasus. Juga, KPK akan sama dengan jaksa dan polisi dengan kewenangan itu.
Penghentian penyidikan dan penuntutan yang belum selesai selama satu tahun akan membuat potensi intervensi kasus menjadi rawan. Terlebih pada kasus yang besar serta menyangkut internasional proses penanganan akan sangat sulit menyelesaikan selama satu tahun. Selain itu, berpotensi juga penghambatan kasus secara administrasi yang membuat penanganan kasus korupsi lebih dari satu tahun.
Pasal terkait: Pasal 40
Foto: Tempo
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :