SALAH satu bentuk transformasi politik pengelolaan hutan di Pulau Jawa adalah sistem perizinan—yang lahir dan disebut sebagai—izin pemanfaatan hutan perhutanan sosial (IPHPS). Kelahirannya pada 9 Juni 2017 tampak sebagai bentuk paksaan sekaligus inovasi, yang keduanya didorong oleh politik Nawacita Presiden Joko Widodo.
Kebijakan itu lahir sebagai bentuk intervensi pengelolaan hutan di Jawa setelah banyak bukti empiris menunjukkan kondisi hutan yang tidak lagi berhutan selama 5 hingga 15 tahun terakhir, kemiskinan penduduk di dalam dan di sekitarnya, serta berbagai penyebab masalah struktural dan tata kelola di baliknya
Para peneliti ilmu-ilmu sosial politik menyebut pengelolaan hutan di Pulau Jawa sebagai “hutan politik klasik”. Sebutan itu, secara implisit, merujuk dan menunjukkan sebuah bentuk kolonialisasi terhadap sektor kehutanan. Hutan itu sendiri memang produk politik, seperti didefinisikan oleh Undang-Undang Kehutanan. Maka, perubahan-perubahan kebijakan maupun fisik hutan di lapangan, oleh para peneliti itu, dilihat sebagai transformasi kesempatan untuk mendapatkan manfaat. Mereka pun menjadikan siapa untung siapa rugi sebagai kajian yang tak putus-putus.
Proses sosial-politik yang terjadi di desa-desa sekitar hutan kawasan Perhutani telah memicu transformasi pendekatan pengelolaan hutan di Pulau Jawa yang pada awalnya diterapkan sebagai warisan instansi kehutanan kolonial maupun pasca-kolonial untuk ekstraksi sumber daya maupun penindasan masyarakat sipil.
Tulisan Martin C. Lukas dan Nancy Lee Peluso (2019) "Transforming the Classic Political Forest: Contentious Territories in Java", Antipode, dalam A Radical Journal of Geography menjelaskan proses transformasi itu. Mereka menunjukkan bagaimana penduduk desa hutan dan otoritas pemerintahan mengubah penggunaan lahan, akses maupun kontrol melalui cara-cara cukup kontroversial berikut ini:
Pertama, secara fisik mengubah jenis pohon dominan dan kerapatan pohon utama seperti jati atau pinus.
Kedua, mengubah jangkauan spasial dan temporal, distribusi, maupun jenis tanaman di ruang tumbuhan bawah bagi penduduk lokal.
Ketiga, mengubah rezim tenaga kerja dan investasi baru dengan, misalnya, memakai sapi yang tergantung pada pakan ternak.
Keempat, mengalokasikan bagian pendapatan dari hasil utama, kayu atau hasil hutan lainnya, oleh penduduk desa.
Sebagai imbalan atas pembagian pendapatan maupun akses yang lebih besar ke ruang-ruang produktif bawah tegakan, lembaga hutan desa yang dikenal sebagai LMDH, dituntut untuk melakukan perlindungan hutan, patroli, maupun pemenuhan kuota di daerah-daerah penghasil hasil hutan. Meskipun demikian, bentuk devolusi praktik kehutanan seperti itu belum merata di semua desa hutan.
Faktanya, banyak penduduk desa meningkatkan manfaat dari lahan hutan dan kendali mereka terhadap tumbuhan bawah tegakan dengan menggarap lahan secara spontan. Hanya sedikit yang memakai LMDH sebagai pintu masuk mengakses kawasan hutan. Sebab, pembentukan LMDH yang dikombinasikan dengan IPHPS dianggap sebagai strategi Perhutani (state forest corporation) mendapatkan kembali kendali dengan memformalkan beberapa penggunaan lahan hutan penduduk desa yang telah hidup sebelumnya.
Dalam perkembangan transformasi itu, kontrol teritorial tidak terlalu koersif seperti sebelumnya, melainkan lebih halus, terkait dengan insentif yang tertanam di dalam hubungan desa dan Perhutani. Penolakan kekerasan dan negosiasi tanpa akhir antara penduduk desa dan Perhutani sejak akhir 1990-an tidak terlihat seperti sebelumnya, karena proses transformasi itu telah menghasilkan hubungan kekuasaan baru yang lebih beragam.
Penduduk desa memiliki ruang cukup untuk memperjuangkan akses mereka, penggunaan maupun kontrol terhadap hutan, baik dari dalam maupun dari luar program PHBM Perhutani. Momen baru dalam sejarah politik kehutanan di Pulau Jawa itu bisa dilihat secara fisik pada perubahan komposisi dan kepadatan tegakan, variasi penggunaan dan akses lahan hutan, serta akses dan kontrol lahan desa. Lebih longgarnya kendali Perhutani di satu sisi dan meningkatnya peran penduduk desa di sisi lain, telah menaikkan peran ruang lantai hutan yang sebelumnya kurang dimanfaatkan, menjadi fitur penting dari politik baru ini.
Perubahan-perubahan itu, baik melalui LMDH atau tidak, bukan tanpa ketegangan di antara masyarakat sendiri. Jika tumbuhan bawah hutan mewakili batas baru kendali lahan sebagai bentuk rezim properti informal di suatu tempat, tidak selalu berarti di masa depan ada kebebasan bagi penduduk desa dalam menentukan pilihan. LMDH adalah situs peraturan dan wewenang baru yang mengaturnya. Pada umumnya, otoritas desa cukup sadar atas pergeseran lokus kekuasaan pengelolaan hutan di wilayah mereka.
Kacamata Sosial Politik
Izin pemanfaatan hutan melalui perhutanan sosial yang ditetapkan dalam bentuk Peraturan Menteri itu pernah diuji substansinya di Mahkamah Agung oleh beberapa tokoh, namun tidak berhasil. Para tokoh ini tidak setuju kawasan hutan di Perhutani didistribusikan manfaatnya kepada masyarakat. Pro-kontra sempat mencuat, dengan argumen lebih pada pertentangan mengenai soal-soal teknis yang terkait dengan keutuhan fungsi hutan.
Dari kacamata sosial-politik, argumen teknis seperti kemiskinan berkepanjangan maupun kawasan hutan yang tidak lagi berhutan, hanya menjadi titik masuk bagaimana keputusan itu dibuat. Ada dua argumen untuk menopangnya:
Pertama, Perhutani semestinya bisa memperbaiki manajemen pengelolaan hutan, sehingga persoalan kemiskinan dan lahan-lahan tidak produktif bisa diatasi. Pilihan pertama ini tidak diambil, terutama akibat rendahnya kapasitas Perhutani memecahkan masalah internalnya pada saat itu. Artikel saya “Power Perbaikan untuk Perhutani, Pelajaran dari Pendampingan Tim KPK” di Agro Indonesia (12/9/2017) menguraikan persoalan Perhutani saat itu.
Kedua, dengan kenyataan seperti itu, intervensi pemerintah harus dilakukan karena sejalan dengan politik Nawacita Presiden. Akhirnya, karena pilihan pertama lebih ruwet, pilihan kedua ini yang dijalankan.
Apa pun alasannya, teknis ataupun politis, transformasi kehutanan akan terus terjadi karena kebutuhan masyarakat maupun pembangunan akan terus berkembang. Fungsi sosial, ekonomi maupun lingkungan dari hutan semakin signifikan untuk mengisi kebutuhan itu. Kepentingan sosial-politik pun bisa menjadi penentu pelbagai kebijakan. Dan seharusnya tidak mengabaikan kondisi hutan di lapangan sebagai dasar argumentasinya.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :