Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 14 September 2019

Tuna Logika Polemik KPAI vs Djarum

Tuna logika klaim keduanya: antara eksploitasi anak oleh KPAI dan Djarum yang menghentikan sementara audisi badminton.

Peserta audisi badminton Djarum

JAGAD Twitter menunjukkan gejala unik sepanjang 9 September 2019. Bukannya khusyuk dengan puasa tasu'a (9 Muharram untuk membedakan Muslim dari umat Yahudi yang sama-sama berpuasa pada 10 Muharram), warganet justru sibuk dengan tagar #BubarkanKPAI dan #KamiBersamaKPAI yang memuncaki trending topic di Indonesia pada hari itu.

Opini warganet yang menyertai kedua tagar yang diametral itu menunjukkan defisitnya logika dalam argumen di kedua kubu. Sesungguhnya, ini bukan fenomena baru di Indonesia. Logika absen dari mata pelajaran di sekolah sementara ia juga bukan mata kuliah dasar umum di bangku perguruan tinggi. Namun, defisit logika dalam polemik ini menyita perhatian karena organisasi sekelas Komisi Perlindungan Anak Indonesia (lembaga negara yang acap teetukar dengan Komisi Nasional Perlindungan Anak) dan perusahaan sebesar Djarum berikut yayasannya seharusnya memiliki tim public relation (atau sejenisnya) yang mahir dalam "bisnis" argumentasi. Rupanya tidak juga. KPAI melenggang dengan klaim yang rapuh sementara Djarum mundur teratur dengan gestur khas korporasi Indonesia: menghindari konflik dengan institusi di lingkungan pemerintahan.

Konstruksi Kayu

Isunya berkutat seputar apakah PB Djarum memiliki justifikasi etis untuk terus melanjutkan program pembinaan yang sudah berlangsung sekitar 50 tahun dengan tetap mencantumkan logo perusahaan rokok?

Argumen etis seharusnya juga logis. Namun, baik KPAI maupun Djarum tampaknya menghindari adu logika di media massa. Padahal, silat lidah di antara keduanya dalam batas tertentu merupakan bagian dari ikhtiar mencerdaskan kehidupan bangsa.

Di satu sisi, argumentasi kubu KPAI berproses sebagai berikut:

  • Terdapat eksploitasi anak dalam program audisi badminton oleh Persatuan Bulutangkis Djarum
  • Setiap anak yang mengikuti seleksi wajib memakai seragam dengan logo yang dianggap identik dengan merek rokok yaitu Djarum Badminton Club.

Tampaknya, KPAI berupaya menggunakan validitas deduktif dalam dua premis di atas. Klaim umum seputar eksploitasi diikuti dengan fenomena khusus tentang seragam, yang berimbas pada advertorial dengan alasan tipografi Djarum sama dengan font pada merek rokok.

Sesungguhnya, premis pertama dan kedua KPAI lemah. Seorang anak tidak bisa mengambil keputusan secara mandiri. Wali dan orang tua atau pendampingnyalah yang mengambil keputusan atas nama anak. Bahkan, klaim eksploitasi tidak lagi relevan apabila anak berikut orang tua atau wali sudah memberikan informed consent secara tertulis yang kemudian mengikat secara legal. Informed consent berarti pihak Djarum memiliki kewajiban untuk menjelaskan secara menyeluruh berbagai konsekuensi dari mengikuti seleksi kepada anak dan orang tua atau wali.

Akibatnya, kewajiban mengenakan seragam dengan logo rokok tidak lagi bisa dianggap sebagai eksploitasi karena anak dan orang tua atau wali sudah memberikan persetujuan tertulis dengan basis informasi yang memadai. Djarum tidak mematahkan klaim tentang eksploitasi anak tersebut menggunakan informed consent ini. Mereka justru menggunakan validitas induktif dengan berargumen seperti di bawah ini:

  • Program audisi murni untuk seleksi atlet bulu tangkis, dan bukan kegiatan pemasaran produk rokok.
  • Djarum menghapus logo sponsor di baju peserta, dan mengubah nama audisi menjadi "Audisi Umum" pada sesi audisi di Purwokerto pada 8-10 September.
  • Djarum menghentikan sementara program audisi pada tahun 2020.
  • Pemandu bakat akan menjaring atlet muda guna menggantikan program audisi umum ini

Sebagai catatan, validitas induktif tidak sekuat validitas deduktif karena konklusi atau kesimpulannya tidak bersifat konklusif. Maksudnya, ada hal-hal khusus yang boleh jadi luput dari proses penalaran di atas sehingga kesimpulannya bersifat parsial.

Lalu, premis kedua Djarum justru aneh. Djarum tidak perlu melakukan hal itu apabila mengumpulkan informed consent dengan argumen mereka tidak memanfaatkan anak untuk promosi rokok. Kalaupun memanfaatkan anak untuk promosi rokok, Djarum masih dapat berdalih dengan payung konseptual berupa ethical CSR yang pada intinya menyeimbangkan antara kepentingan pemegang saham untuk meningkatkan keuntungan dengan kepentingan para pemangku kepentingan yang beragam. Sepanjang anak tidak merokok atau tidak menjadi perokok pasif dalam kegiatan pembinaan, Djarum memiliki justifikasi untuk tetap menyelenggarakan ethical CSR. Jika diperlukan, buka besaran revenue yang berhasil Djarum kumpulkan dari pembinaan atlet.

Menggunakan validitas induktif untuk merespons validitas deduktif mirip dengan mengedepankan hal khusus untuk menjawab hal umum. Artinya, terjadi diskoneksi antara klaim KPAI dengan dalih Djarum.

Pun Djarum tetap dapat mempertahankan kontradiksi antara menjual rokok yang berpotensi merusak kesehatan masyarakat dengan membina bibit atlet badminton Indonesia sejak usia dini. Dalam logika modern, sebagian kontradiksi bersifat benar atau dapat diterima (dialethea). Dialethea juga berlaku pada konflik kepentingan antara dokter membantu orang untuk kembali sehat tetapi dokter tidak dapat bekerja tanpa orang sakit. Tentu saja dialethea tidak eksis dalam literatur logika tradisional (yang juga tidak hadir di bangku sekolah dan kuliah).

Sebaliknya, jika KPAI menyeriusi isu eksploitasi anak, maka isu yang lebih strategis ialah gap atau jurang antara usia menikah (lelaki 19 tahun, perempuan 16 tahun, dan 21 tahun apabila pernikahan berlangsung tanpa izin orang tua) dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan usia kerja yang beragam menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan seperti berikut ini:

  • Larangan mempekerjakan anak (di bawah 18 tahun) seperti dalam pasal 68 dan pasal 1 ayat 26
  • Pengecualian berlaku pada anak usia 13-15 tahun yang mengerjakan pekerjaan ringan yang tidak mengganggu kesehatan mental, fisik, sosial dengan beberapa syarat yang mengikutinya termasuk izin dari orang tua atau wali (pasal 69 ayat 1 dan 2)

Di sini, KPAI dapat melancarkan "serangan" pada semua korporasi di Indonesia yang mempekerjakan orang dewasa dalam tolok ukur UU Ketenagakerjaan tetapi bukan orang dewasa dengan parameter UU Perkawinan. Sayangnya, KPAI memilih untuk membidik satu raksasa ketimbang semua raksasa dan smurfs.

Djarum memiliki justifikasi etis untuk terus menggunakan logo perusahaan rokoknya dalam aktivitas PB Djarum sepanjang tetap mengumpulkan informed consent dari para orang tua atau wali anak. Pun Djarum tetap dapat mengklaim kegiatan ini sebagai bagian dari tanggung jawab perusahaan yang tetap mencantumkan logo masing-masing perusahaan. Ketika Djarum mengalah dengan menghapus logo dalam aktivitas di Purwokerto, hal ini menjadi semacam pengakuan bahwa mereka salah.

Polemik ini mengajarkan bahwa corporate and organisational values seharusnya tidak membuat organisasi maupun perusahaan mengalami defisit logika (tradisional maupun modern).

Di luar isu logika, polemik KPAI versus Djarum juga mewakili konflik antara negara versus korporasi. Di tengahnya, publik menyaksikan keterlibatan sebagian organisasi non-pemerintah yang berdiri di sisi KPAI. Logika bisnis memang bersifat egoistik karena berporos pada analisis untung-rugi sementara logika etis condong pada kebajikan dan kewajiban meski ada juga filsuf yang berupaya menginkorporasikan antara logika bisnis dengan etis seperti yang tampak dalam pemikiran Henry Sidgwick, seorang filosof dari University of Cambridge.

Ada beberapa hal yang luput dari beberapa argumentasi yang beredar di beberapa media.

Pertama, KPAI (dan publik secara umum) gagal mengikuti diskursus tanggung jawab sosial yang mengizinkan perusahaan untuk mencari untung dari sebuah aktivitas sosialnya. Dalam literatur etika bisnis, hal ini disebut sebagai ethical CSR yang sudah disinggung di atas. Bahkan ISO 26000 mengenai social responsibilities pun tidak melarang hal ini.

Kedua, sangat naif untuk mengharapkan ketulusan Djarum dalam menyelenggarakan pembinaan bulu tangkis tanpa membawa logo perusahaan. Hal ini sama saja dengan meminta sebuah korporasi untuk melawan kodratnya sendiri. Kodrat sebuah korporasi ialah mencari untung, dan berbeda dari koperasi yang tujuan pertama dan utamanya ialah menyejahterakan para anggota sehingga misalnya tidak ragu untuk menjual barang dan jasa di bawah standar harga pasar. Korporasi juga berbeda dari negara maupun lembaga swadaya masyarakat yang kewajiban pertamanya bukan mencari untung.

Ketiga, Djarum memang keliru untuk "mutung" dengan cara menghentikan sementara pembinaan mulai tahun 2020 tetapi mereka juga tidak sepenuhnya salah. Adalah konyol bagi satu perusahaan untuk menyeponsori satu kegiatan tetapi tidak memasukkan brand di dalamnya. Di sisi lain, tidak ada satu hal pun yang mewajibkan Djarum secara moral maupun legal untuk melanjutkan program pembinaan. Justru KPAI yang kini memikul beban moral dan historis seandainya terjadi degradasi prestasi atlet badminton Indonesia di kemudian hari. Pun KPAI juga rentan pada tudingan menjegal salah satu kanal kaderisasi badminton Indonesia.

Keempat, peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia menunjukkan bahwa aktivitas tanggung jawab sosial hanya berlaku pada perusahaan yang bergerak di bidang eksploitasi sumber daya alam sesuai dengan pasal 3 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Jika yang dimaksud dengan eksploitasi sumber daya alam ialah bahan tambang dan mineral, Djarum secara hukum positif tidak memiliki kewajiban legal untuk menyelenggarakan tanggung jawab sosial termasuk pembinaan bulu tangkis yang tidak memberikan potongan pajak (tax cuts) seperti di Amerika Serikat .

Kelima, akan lebih elegan bagi KPAI untuk mendorong peraturan perundang-undangan yang melarang perusahaan rokok (maupun yayasannya) untuk mendukung secara finansial kegiatan olahraga ketimbang menyasar isu eksploitasi anak. Hal ini sama dengan larangan bahwa perusahaan rokok tidak boleh menyeponsori kegiatan musik di lingkungan sekolah.

Sebagai disclaimer, saya bukan orang yang mendapatkan keuntungan finansial dari Djarum atas uraian di atas tapi saya berusaha adil dalam melihat satu isu nasional yang digoreng secara ciamik selama hampir 24 jam pada 9 September 2019 di Twitter.

Argumen artikel ini mendapat tanggapan. Sila baca di sini.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus the University of Melbourne, Australia

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain