ADA banyak penelitian yang membuktikan bahwa perusahaan-perusahaan yang berada di industri-industri yang kontroversial atau penuh dosa (controversial or sinful industries) cenderung lebih banyak menggelontorkan sumber daya untuk memoles citra mereka. Industri-industri itu—energi fosil, judi, minuman keras, pornografi, dan rokok, untuk menyebut yang paling kerap dijadikan contoh di buku-buku teks tentang tanggung jawab sosial perusahaan—memang kesulitan menangani dampak negatif bisnis inti mereka, sehingga kemudian melakukan banyak kegiatan untuk menutupi dampak negatifnya.
Tanggung jawab perusahaan terhadap dampak yang diakibatkan oleh keputusan dan tindakan perusahaan adalah pengertian yang sebenarnya dari tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility, biasa disingkat dengan CSR. Namun, pengertian itu kerap diselewengkan, agar perusahaan tidak benar-benar menegakkannya. Dan upaya penyelewengan tersebut—dikenal sebagai CSR-washing, istilah yang diperkenalkan oleh Coombs dan Holladay dalam Managing Corporate Social Responsibility: A Communication Approach (2011)—itu banyak yang berhasil lantaran masyarakat banyak yang belum paham atas makna CSR yang sebenarnya.
Makna tanggung jawab sosial yang sebenarnya bisa dirujuk dalam ISO 26000 Guidance on Social Responsibility (2010), yaitu “…responsibility of an organization for the impacts of its decisions and activities on society and the environment, through transparent and ethical behaviour that contributes to sustainable development, including health and the welfare of society; takes into account the expectations of stakeholders; is in compliance with applicable law and consistent with international norms of behaviour; and is integrated throughout the organization and practised in its relationships.”
Dari definisi di atas, perusahaan yang melakukan CSR bertujuan untuk berkontribusi terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan; sementara pelaku CSR-washing biasanya melakukan hal tersebut lantaran bisnisnya secara diametral bertentangan dengan tujuan tersebut.
Tujuan dari CSR-washing adalah menampilkan citra yang baik, tanpa harus benar-benar bertanggung jawab atas dampaknya. Tentu, hal ini membutuhkan upaya komunikasi yang jauh lebih masif dibandingkan dengan apabila perusahaan benar-benar bertanggung jawab atas dampak bisnisnya. Jadi, bila ada perusahaan yang berada pada industri yang kontroversial atau penuh dosa, melakukan kegiatan sosial yang tak mengurusi dampak negatif bisnis inti mereka, dengan komunikasi yang masif, maka kita sudah bisa menduga bahwa mereka sedang melakukan CSR-washing. Audisi badminton yang diselenggarakan PB Djarum bisa ditafsirkan sebagai salah satu contoh CSR-washing ini.
Rokok adalah produk yang membuat konsumennya sakit dan bahkan mati karena sebab-sebab yang secara ilmu pengetahuan telah diketahui dengan pasti terkait dengan konsumsinya. Jumlah orang yang sakit dan meninggal lebih cepat dari cohort-nya lantaran rokok juga sudah diketahui secara ilmiah sejak lama. Di seluruh dunia, industri ini juga bertanggung jawab atas pemiskinan masyarakat, lantaran konsumennya banyak yang datang dari kalangan miskin. Bayangkan, mereka yang miskin kemudian sakit dan meninggal, tentu akan meninggalkan beban yang berat untuk keluarganya. Bukan itu saja, secara lingkungan produksi dan konsumsi rokok juga sudah diketahui membawa dampak buruk sepanjang daur.
Oleh karena itu, sudah banyak analisis yang menyatakan bahwa industri rokok sesungguhnya tidak kompatibel dengan pembangunan berkelanjutan. Tobacco: Antisocial, Unfair, Harmful to the Environment: Tobacco Production and Consumption as an Example of the Complexity of Sustainable Development Goals (SDGs) yang ditulis von Eichborn dan Abshagen di tahun 2015 adalah salah satu studi awal yang menjelaskan bahwa bila tak dikendalikan dengan ketat, produksi dan konsumsi rokok bakal menggagalkan pencapaian SDGs. Padahal, SDGs adalah formalisasi dari pembangunan berkelanjutan, yang merupakan tujuan dari CSR.
Di Indonesia, setiap 3 hingga 5 tahun sekali Riset Kesehatan Dasar menunjukkan dampak kesehatan dari rokok; dan setiap kuartal BPS mengingatkan kaitan antara rokok dengan kemiskinan. Besaran kerugian produktivitas dan kesehatan akibat konsumsi rokok sendiri telah dihitung mencapai hampir Rp 600 miliar per tahun di tahun 2015, sementara cukai yang ditarik cuma sekitar seperempatnya (Kosen, 2018). Kalau kerugian ekonomi, sosial, dan lingkungan lainnya dihitung, dipastikan jumlahnya akan lebih besar lagi. Lantaran seluruh ukuran bisnis rokok jauh lebih kecil daripada full cost accounting atas dampak negatifnya, memang mustahil rokok bertanggung jawab atas dampaknya. Sebagaimana yang tertulis di buku-buku teks CSR mana pun, industri rokok adalah contoh paling popular dari corporate social irresponsibility.
Kalau CSR menekankan perusahaan untuk bertanggung jawab atas seluruh dampaknya, CSR-washing malah “memberi ide” untuk mengelak dari tanggung jawab itu. Maka, ada banyak contoh bahwa perusahaan melakukan hal-hal yang ironis. Perusahaan yang banyak emisinya, menanam pohon dalam jumlah pohon yang kalau dihitung maka sangat sedikit menyerap karbon dibandingkan dengan jumlah emisinya. Perusahaan yang bisnisnya memiskinkan banyak orang, memberikan dana yang jumlahnya sangat kecil dibandingkan dengan nilai pemiskinan yang terjadi. Dan, perusahaan yang menyebabkan sakit banyak orang, tampil dengan proyek olahraga yang membuat dirinya seakan pro-kesehatan, sebagaimana yang dilakukan oleh PB Djarum dengan audisi badmintonnya.
Dari sudut pandang CSR, pembacaan atas apa yang dilakukan PB Djarum tak bisa dilepaskan dari dampak beragam dampak yang ditimbulkan oleh sponsornya, PT Djarum. Para pemangku kepentingan tak boleh lengah atas dampak kesehatan yang timbul akibat konsumsi rokok, juga tak boleh lupa atas dampak kesehatan yang terjadi di perkebunan-perkebunan tembakau, yaitu green tobacco sickness. Kalau kita periksa ISO 26000, yang menjadi standar CSR di level global, jelas sekali tertera bahwa unsur karsinogenik bahkan tak boleh dipakai di dalam proses produksi; sementara dalam kasus rokok, unsur karsinogenik malahan ada dalam produk yang dikonsumsi.
ISO 26000 juga menegaskan bahwa pemasaran haruslah etis, tidak mengandung tipuan maupun paksaan. Mungkin Djarum bisa berdalih dengan menyatakan bahwa apa yang mereka lakukan ini bukanlah pemasaran rokok. Tetapi, siapa pun tahu, termasuk anak-anak, bahwa Djarum itu pertama-tama adalah merek rokok. Ketika spanduk banyak dikibarkan di kota-kota tempat audisi dilaksanakan, tak ada yang bisa menyangkal bahwa itu adalah bentuk komunikasi produk rokok. Ukuran tulisan Djarum yang jauh lebih besar dibandingkan dengan tulisan badminton club di kaos yang dikenakan anak-anak punya konsekuensi di benak siapa pun yang membacanya: ini adalah soal Djarum, dan Djarum adalah juga, dan terutama, merek rokok.
Perilaku etis, menurut ISO 26000 adalah “behaviour that is in accordance with accepted principles of right or good conduct in the context of a particular situation and is consistent with international norms of behaviour.” Mungkin banyak orang yang mau mendebat bahwa dalam situasi partikular di Indonesia, apa yang dilakukan Djarum itu sudah masuk ke dalam kategori etis, tidak menipu, dan tidak memaksa. Sepanjang sudah mendapatkan izin dari orang tuanya, sudahlah cukup, demikian kata sebagian orang, misalnya, argumen di artikel ini.
BACA: Tuna Logika Polemik KPAI vs Djarum
Masalahnya, penting diingat bahwa bagian akhir definisi ISO 26000 itu menyatakan keharusan konsisten dengan norma perilaku internasional, yang definisinya adalah “expectations of socially responsible organizational behaviour derived from customary international law, generally accepted principles of international law, or intergovernmental agreements that are universally or nearly universally recognized.” Intergovernmental agreements itu adalah treaties dan conventions.
Lalu, apa norma internasional yang mengatur perilaku industri rokok? UN Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Kalaupun Indonesia adalah satu-satunya negara besar, dan satu-satunya negara di Asia Pasifik, yang tidak menandatangani, mengaksesi, atau bahkan meratifikasinya, tetap saja FCTC merupakan norma perilaku internasional yang harus dipatuhi oleh industri rokok. Di dalamnya mencakup pembatasan iklan, promosi dan sponsorship—tiga jenis komunikasi pemasaran—oleh industri rokok.
Anak-anak adalah target pemasaran yang sudah dipersoalkan oleh para pakar CSR sejak lama. Mereka rapuh, belum cukup dewasa untuk menimbang. Jadi, mereka tak boleh dijadikan target pemasaran, termasuk kalau produk itu sebetulnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sementara, rokok jelas bukanlah produk yang diperkenankan untuk mereka. Tetapi, mereka bukan saja terpapar atas merek rokok sepanjang acara berlangsung, bahkan di luar gedung acara, di seluruh sudut kota. Kalau di negara-negara lain iklan, promosi, dan sponsorship rokok sudah hampir musnah; kegiatan Audisi Badminton PB Djarum malahan seperti perayaan ketiganya sekaligus.
Lebih buruk daripada “sekadar” menjadi target iklan, promosi, dan sponsorship rokok, masyarakat menyaksikan bahwa anak-anak malah dilibatkan sebagai pelakunya. Komunikasi kegiatan yang benar-benar sangat masif itu memanfaatkan anak-anak peserta audisi, untuk menggamit ribuan anak-anak lainnya. Apakah orang tua mereka menyetujui anak-anaknya dipergunakan di dalam materi komunikasi itu? Apakah orang tua mereka sadar bahwa anak-anak mereka telah terlibat dalam iklan, promosi, dan sponsorship rokok sekaligus? Tampaknya tidak. Mereka tak betul-betul memahami taktik industri rokok. Mereka hanya orang tua yang suportif dan penuh harap atas prestasi anaknya.
Penelitian-penelitian telah membuktikan bahwa olahraga merupakan salah satu jalan CSR-washing industri rokok yang paling popular, selain musik. Anak-anak juga terus menjadi target industri rokok sejak beberapa dekade lalu. Kajian-kajian serupa telah menunjukkan bahwa bila perusahaan rokok melakukan kegiatan sosial, banyak perokok yang berpikir bahwa perusahaan itu lebih baik dibandingkan perusahaan rokok yang lain, bahkan dibandingkan perusahaan di sektor lainnya.
Kalau sebagian saja dari anak-anak peserta audisi, maupun anak-anak yang terpapar kegiatan tersebut, memandang bahwa rokok adalah barang normal, yang layak dikonsumsi ketika mereka dewasa, itu berarti PT Djarum telah berhasil mengurangi tekanan publik atas mereka kelak.
Dalam kasus perselisihan antara PB Djarum dan KPAI, tampak bahwa sebagian publik—yang tak memahami konsep CSR dengan benar, dan tak bisa membedakannya dengan CSR-washing—bukan saja membela PB Djarum, melainkan meluaskan pembelaannya kepada PT Djarum, bahkan industri rokok secara umum.
Ini berarti CSR-washing yang mereka lakukan selama ini memang berhasil membuat sebagian publik, konsumennya maupun bukan, berada di sisi mereka.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Aktivis pemantau CSR
Topik :