DALAM perjalanan Jakarta-Padang, saya tergelitik membaca Rancangan Undang-Undang Sistem Budidaya Pertanian yang kini sedang dibahas DPR dan kemungkinan segera disahkan sebelum berganti periode. Saat membacanya saya memakai kacamata kebijakan publik, bukan teknis pertanian. Sependek yang saya tahu, belum ada pandangan, awam sekalipun, terhadap isi rancangan ini yang oleh penyusunnya diklaim membela petani kecil ini.
Beberapa poin di bawah ini saya garis bawahi dan kelihatannya justru malah melemahkan petani. Jadi, selain perubahan Undang-Undang KPK yang melemahkan pemberantasan korupsi, perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengembalikan otoritarianisme, RUU Pertanahan yang mencemaskan pelestarian hutan, kini ada RUU Budidaya Pertanian yang sama tak jelas arah dan pembelaannya kepada petani keci.
Dalam Bab Ketentuan Umum Pasal 1 tidak ada pengertian “petani kecil” dan “pelaku usaha” yang dipakai dalam dalam pasal-pasal berikutnya sebagai basis pengertian dan definisi yang spesifik objek sebuah peraturan. Padahal keduanya bisa saling berhadapan ketika di lapangan karena keduanya berkepentingan dalam mengolah lahan pertanian.
Pada Pasal 13 juga tidak ada penjelasan maksud dari “kepentingan umum” untuk alih fungsi lahan budidaya pertanian. Lahan pengganti sebagai syarat alih fungsi juga tak ada ketentuannya: luas, di mana, kapan. Ini akan menimbulkan potensi diskresi penguasa karena aturannya tak dicantumkan secara jelas. Kita tahu, diskresi hanya baik jika dikeluarkan oleh penguasa yang baik. Artinya, moral hazard jauh lebih besar dalam hal pengeluaran aturan berdasarkan kewenangan dan kekuasaan.
Sebab alih fungsi lahan tersebut mengandung konsekuensi pidana. Jika alih fungsi dilakukan di luar persyaratan, pelakunya akan mendapat hukuman pidana maksimal 5 tahun penjara dan denda maksimal Rp 1 miliar seperti diatur Pasal 109. Dengan diskresi dan pasal karet itu, ada kecenderungan kriminalisasi kepada penggarap atau pengolah lahan yang dianggap tak sesuai dengan aturan ini.
Petani kecil bisa mengedarkan varietas hasil pertanian dengan melaporkannya kepada pemerintah daerah. Masalahnya, peredaran itu dibatasi hanya di dalam kelompok petani kecil seperti diatur Pasal 23. Jika petani kecil mengedarkan hasil pertanian secara luas maka pengedarnya harus pemerintah.
Pelanggaran atas ketentuan ini diatur dalam Pasal 111. Jika melanggar ada hukuman pidana 6 tahun dan denda Rp 750 juta. Alih-alih memberikan program pendorong (affirmative) untuk petani kecil, mereka disamakan dengan petani atau pelaku usaha yang punya modal. Mereka tentu tak akan bisa bersaing.
Pasal 40: lahan pertanian boleh memanfaatkan air. Namun tak ada penjelasan kategorinya: apakah air permukaan atau air dalam. Sebab, ketidakjelasan ini akan membuat rancu pemanfaatan air untuk pertanian dengan sumber air untuk bisnis air kemasan. Mana yang lebih prioritas? Tak jelas.
Batasan mengenai “perlindungan dan pemeliharaan pertanian” hanya terbatas pada batas-batas fisik-biologis seperti tercantum dalam Bab VII. Bagaimana dengan kebakaran di lahan mineral/gambut akibat kegiatan pertanian?
Perlindungan terhadap petani kecil muncul dalam Pasal 51. Pemerintah pusat dan daerah wajib meringankan beban petani kecil yang gagal panen. Namun, aturan-aturan pendukung dalam pasal lain tak jelas mengatur sanksinya. Jika pidana untuk petani sangat jelas, kewajiban melindungi petani ini tak dijelaskan hukumannya jika hal itu tidak dilakukan.
Dalam RUU urusan identifikasi persoalan pasar disebut pada Pasal 6, tapi dalam batang tubuhnya sama sekali tidak satu pun menjabarkan soal itu, terutama mengenai larangan monopoli komoditas pertanian. Demikian pula mengenai perlindungan dan pemberdayaan petani yang muncul dalam Pasal 100. Tidak ada bentuk perlindungan terhadap komoditas pertanian jika harga dan efisiensi produksinya jatuh.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :