AKHIRNYA, setelah alot dibicarakan dalam Konferensi Perubahan Iklim di Katowice, Polandia, akhir tahun lalu, pemerintah Indonesia meluncurkan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) pada 9 Oktober 2019. Lembaga baru non-eselon ini berada di bawah Kementerian Keuangan yang akan mengelola seluruh dana yang masuk dan keluar untuk membiayai program perlindungan lingkungan hidup, termasuk urusan mencegah pemanasan global.
Rupanya, pemerintah Indonesia melakukan strategi yang lebih luas. Urusan lingkungan hidup tak semata mitigasi perubahan iklim, seluruh program perlindungan lingkungan, seperti mengatasi kebakaran hutan, perdagangan karbon, hingga memodali industri kecil sektor kehutanan oleh masyarakat. BPDLH secara resmi akan mulai beroperasi pada 1 Januari 2020.
Peluncuran lembaga baru ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK 01/2019 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup. Dalam peraturan itu, urusan lingkungan hidup mencakup sektor kehutanan, energi dan sumber daya mineral, perdagangan karbon, jasa lingkungan, industri, transportasi, pertanian, kelautan dan perikanan, dan bidang lainnya terkait lingkungan hidup sesuai dengan regulasi.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, badan ini akan bertugas mengatur keluar masuk dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta swasta di dalam maupun di luar negeri, termasuk sumbangan bilateral, lembaga internasional, maupun filantropi. “Modal awal lembaga ini sebesar Rp 2,1 triliun,” katanya. Dana ini diperkirakan bertambah menjadi Rp 4,29 triliun pada 2020.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menambahkan bahwa badan baru juga untuk menyokong komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris yang akan menurunkan emisi karbon sebesar 26% dengan usaha sendiri dan 41% dengan dukungan pihak lain. Menurut Siti, pendirian badan ini sebagai langkah konkret mencapai cita-cita dan komitmen pada 2030 itu.
Dalam hal pendanaan mencegah pemanasan global, BPDLH akan mengatur pendanaan yang masuk untuk semua kegiatan yang menyokong program ini. Siti bahkan menekankan bahwa BPDLH tak sekadar mengatur pembiayaan melainkan membuat regulasi terkait lingkungan hidup. “Termasuk tata ruangnya,” kata dia. “Jika ada program lingkungan hidup akan diatur bagaimana subsidinya, pajaknya, tarifnya.”
Menurut Siti, BPDLH merupakan kelanjutan dari tugas badan layanan umum yang mengatur pembiayaan lingkungan hidup semacam dana reboisasi. Peran lembaga yang berada di KHLK ini kelak akan dilebur ke dalam lembaga baru tersebut. BPDLH merupakan implementasi Peraturan Pemerintah 77/2018 tentang pengelolaan dana lingkungan hidup.
Meski belum menjelaskan sumber-sumber pemasukan bagi kas lembaga ini, Sri Mulyani mengatakan potensi uang yang bisa masuk ke kas BPDLH bisa mencapai Rp 800 triliun. Sejauh ini, sumber pasti kas BPDLH berasal dari APBN. Anggaran menangani perubahan iklim terus naik sejak 2016, dari Rp 72,4 triliun menjadi Rp 109,7 triliun pada 2018 atau 4,9% dari total APBN tahun tersebut. “Kami akan lihat bagaimana strategi dan skema pemakaiannya,” kata Sri.
Menurut Menteri Siti, pemerintah telah mengelola berbagai sumber pendanaan yang mendukung pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup, dari dana dalam negeri maupun luar negeri, namun pemakaiannya belum secara optimal mencapai target. Dengan BPDLH, kata Siti, upaya menangani kebakaran hutan dan lahan yang terjadi tiap musim kemarau bisa dianggarkan lebih awal sehingga penanganannya pun tuntas.
BPDLH dibicarakan dalam Konferensi Iklim di Katowice, Polandia. Setelah bersidang dua pekan, Pasal 6 Kesepakatan Paris hampir buntu karena paling akhir disepakati, terutama mengenai mekanisme perdagangan karbon dalam isu perubahan iklim. Dengan BPDLH, negara maju yang berkomitmen menurunkan gas rumah kaca bisa menyalurkan bantuan mereka menurunkan emisi bagi negara berkembang seperti Indonesia.
Dalam konferensi itu pemerintah Indonesia menyampaikan estimasi kebutuhan pendanaan iklim untuk sektor kehutanan pada periode 2018-2030 sekitar Rp 78 triliun. Untuk mengakses pendanaan internasional, Indonesia diminta membuat prioritas kegiatan menurunkan emisi, seperti mencegah kebakaran hutan dan lahan, hingga membuat kerja sama bilateral seperti perdagangan karbon dengan Norwegia.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan IPB
Topik :