DALAM dua bulan terakhir, saya mengikuti perbincangan mengenai studi-studi dalam pengambilan keputusan kebijakan lingkungan hidup. Yang banyak mendapat sorotan ternyata seputar kualitas studi analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
Pada umumnya, keputusan-keputusan itu belum memuaskan masyarakat untuk menjadi “penjaga” lingkungan hidup. Di sisi lain, studi-studi itu dianggap pemerintah hanya memperlambat prosedur berinvestasi, sehingga akan dihapus. Seperti kita baca dari pernyataan Menteri dan Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang.
Saya telah menghimpun pelaksanaan studi-studi itu—walaupun belum selesai seluruhnya, beserta keputusan-keputusan di baliknya dalam menentukan pelaksanaan investasi perizinan hutan, tambang, dan kebun kelapa sawit. Hasil sementara tidak mengejutkan, karena serupa dengan opini masyarakat tersebut.
Dari hanya 31 orang yang saya tanya, seberapa benar dan besar manfaat studi-studi Amdal, 22 orang di antaranya memberi nilai buruk, sisanya malah memberi nilai sangat buruk. Tentu saja jumlah itu jauh dari mewakili pandangan khalayak, namun orang yang saya tanya itu juga termasuk tim penilai Amdal kabupaten, provinsi maupun pusat, yang bisa dianggap punya konflik kepentingan.
Walau begitu, Amdal masih menjadi ikon paling populer dan hampir identik dengan lingkungan hidup itu sendiri. Di media daring, misalnya, mesin pencarian Google, kata ‘amdal’ muncul sebanyak 2,73 juta. Sebagai kajian akademik dan produk hukum, dokumen Amdal memang paling sering dibaca publik untuk mengetahui seluk-beluk lingkungan hidup. Mengapa Amdal dimusuhi sekaligus dicari?
Saya menemukan sekurangnya 32 titik potensi transaksi penyimpangan dalam penyusunan Amdal. Potensi penyimpangan itu bisa dilakukan oleh pelaku-pelaku dari lembaga pemerintah dan pemda, konsultan dan tenaga ahlinya, investor/pemrakarsa, ataupun masyarakat di mana pembangunan itu dilaksanakan. Berikut ini kasus-kasus yang terjadi di berbagai daerah yang terkait dengan Amdal, meskipun tidak bersifat kumulatif.
Pertama, untuk menyusun dokumen, permohonan informasi kesesuaian tata ruang dan izin prinsip ada biayanya, demikian pula aparat pemerintah dari mulai tingkat desa hingga provinsi, dapat terlibat atau mengatur biaya konsultasi publik. Dalam hal ini siapa yang ditetapkan sebagai konsultan penyusun Amdal juga bisa diatur, sehingga berpotensi menjadi konflik kepentingan. Ada juga konsultan yang menyewakan atau meminjamkan sertifikat kompetensi penyusun Amdal. Sedangkan untuk menekan biaya bisa juga melalui pengaturan pendapat masyarakat yang dilibatkan dalam konsultasi publik agar memberi persetujuan investasi.
Kedua, kualitas materi dokumen Amdal dapat dipengaruhi oleh transaksi pengesahannya yang memerlukan biaya, bahkan biaya itu bisa lebih besar daripada biaya studinya. Misalnya, dari satu kasus biaya Amdal sekitar Rp 500 juta, total biaya pengesahannya sampai Rp 2 miliar. Dalam kondisi seperti itu pemrakarsa tidak memandang perlu harus memberi informasi rencana kegiatan atau proyek secara transparan, karena bukan di situ kepentingannya. Pemrakarsa lebih melihat dokumen Amdal sebagai persyaratan administrasi, daripada sebagai pedoman pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup.
Ketiga, dalam penilaian dokumen Amdal, biaya penilaian bisa tidak wajar karena ada tambahan biaya lain-lain, termasuk menambah jumlah pelaksanaan konsultasi dalam bentuk rapat dengan beban biaya ditanggung pemrakarsa. Dalam Pasal 69 ayat (2) PP No. 27 Tahun 2012, jasa penilaian Amdal dan pemeriksaan UKL-UPL yang dilakukan oleh Komisi Penilai Amdal dan Tim Teknis dibebankan kepada pemrakarsa, tanpa ada suatu mekanisme untuk menghindari adanya potensi konflik kepentingan. Akibatnya, proses penilaian sering kali hanya bersifat formalitas dan mengabaikan aspek ilmiah. Penilaian itu pun bisa keliru, ketika konsultan atau pemrakarsa menyembunyikan isu krusial penting untuk menyederhanakan studi mereka. Hal itu bisa dipengaruhi oleh pemrakarsa yang tidak transparan dalam menyajikan informasi kegiatan.
Keempat, biaya menjadi bengkak karena dimanipulasi oleh konsultan Amdal. Para konsultan biasanya meminta bayaran lebih tinggi dengan alasan menutup biaya birokrasi yang tak bisa dibuktikan atau tak sebesar yang diminta oleh oknum pejabat pemerintah.
Kelima, hal-hal di atas menjadi penyebab rendahnya kualitas mutu dokumen Amdal. Penilaian dokumen Amdal yang pernah dilakukan oleh KLHK sebanyak 199 (2016) dan 114 (2017), yang memiliki kualitas substansi baik hanya sebanyak 25% dan 31%.
Kelima persoalan di atas menjadi pembenar niat pemerintah bahwa Amdal menjadi penghambat investasi dan sedang diselesaikan melalui omnibus law. Dalam paparan Menko Perekonomian (2019), tujuan omnibus law fokus pada penyelarasan pasal-pasal, menyeragamkan kebijakan, memadukan perizinan dan memutus rantai birokrasi, meningkatkan koordinasi dan meningkatkan kepastian hukum.
Tetapi apakah benar, persoalan Amdal dapat diselesaikan melalui penyederhanaan perintah teks undang-undang? Lalu apa muatan Undang-Undang Kemudahan Berusaha sebagai perwujudan omnibus law yang sedang dirancang saat ini agar kebijakan lingkungan hidup berjalan secara efisien?
Rancangan tersebut tentunya tidak bisa membuang pasal-pasal mengenai lingkungan hidup, karena mandat lingkungan hidup terdapat di dalam Undang-Undang Dasar. Dengan begitu, sepanjang izin lingkungan diperlukan, transaksi perizinan yang memperbincangkan “harga” Amdal, bukan dampak lingkungan apa yang harus ditanggung, harus bisa dihapus.
Karena ketika kesepakatan itu sudah terjadi, secara de facto keahlian tidak lagi diperlukan. Seperti saat ini, umumnya isi Amdal menjadi sajian-sajian data, informasi maupun metodologi yang sudah disaring agar dokumen itu disahkan. Di sini persoalan konflik kepentingan birokrasi dan administrasi menjadi sumber utama yang menghapus manfaat Amdal yang sesungguhnya.
Dengan kenyataan seperti itu, isi omnibus law perlu ditapis melalui instrumen yang bisa menghilangkan potensi konflik kepentingan maupun berbagai kegiatan yang memungkinkan terjadinya korupsi. Salah satu pendekatan yang bisa diterapkan, misalnya, metoda corruption impact assesment (CIA).
Selain itu, perhatian perlu diarahkan pada birokrasi dan administrasi yang memerlukan perlindungan khusus atas adanya tekanan dari dalam maupun dari luar organisasi. Demikian pula, tidak dapat ditinggal, pentingnya penegasan keterbukaan informasi perizinan bagi publik, sebagai langkah meminimalkan konflik kepentingan.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :