Kabar Baru| 05 Desember 2019
Dari Tepi Hutan Mencatat Hutan Sosial
PERHUTANAN sosial adalah isu lama tapi baru populer lima tahun belakangan. Ia sesungguhnya tema Kongres Kehutanan Sedunia ke-8 di Jakarta tahun 1978 dengan nama “forest for people”, hutan untuk rakyat. Tapi orientasi pembangunan ekonomi Orde Baru membuat tema ini tak diterapkan secara mulus. Masyarakat yang mengelola kawasan hutan dianggap perambah karena izin diberikan sepenuhnya kepada korporasi.
Hasilnya adalah deforestasi dan degradasi kawasan hutan yang menjadi problem pelik hari ini. Pemerintah kemudian menengok kembali tema itu dan menjadikannya kebijakan nasional dengan menempatkan perhutanan sosial menjadi direktorat jenderal sendiri di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sejak 2014. Targetnya lumayan besar, 12,7 juta hektare selama lima tahun dengan satu keyakinan bahwa masyarakat lebih arif dalam memperlakukan hutan di sekitar mereka.
Sebab, praktik hutan sosial sesungguhnya sudah lama diterapkan oleh masyarakat Indonesia secara turun temurun. Keberadaan mereka hingga hari ini menjadi bukti bahwa masyarakat jauh lebih lestari dalam mengelola hutan karena rimba adalah ekosistem yang menjadi hidup dan menyatu dengan kebiasaan-kebiasaan mereka sehari-hari.
Karena menyangkut manusia maka sebuah hutan sosial sesungguhnya memiliki cerita yang memiliki semua anasir pengisahan. Penulis buku ini, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, agaknya sadar bahwa sebuah hutan sosial memiliki aktor yang bergerak membentuk kisah-kisah unik dengan segala kearifan lokal yang ada di dalamnya.
Maka meski penceritanya seorang pejabat yang menangani dan menjadi komandan kebijakan ini, yang tampil dalam buku ini adalah para petani hutan yang mempraktikkan pengelolaan rimba secara berkelanjutan, para pendamping, penyuluh, hingga offtaker yang terlibat di dalamnya. Penulisnya hanya menjadi semacam pengamat dari praktik perhutanan sosial yang ia kawal kebijakan dan realisasinya di lapangan.
Secara empirik dan kebijakan, delegasi izin mengelola hutan kepada masyarakat memiliki tujuan meningkatkan ekonomi, meredakan konflik, dan meningkatkan tutupan hutan secara ekologis. Buku ini tak mengurai secara rigid tiga tujuan ini satu per satu. Tapi kisah-kisah yang dipilih dalam buku ini secara otomatis mencerminkan tiga tujuan tersebut yang dibungkus dengan cerita petani dengan bahasa yang mudah dicerna dan dekat dengan percakapan kita.
Masih belum banyak buku yang menceritakan praktik kebijakan negara di tingkat tapak yang disajikan dengan cara berkisah seperti ini. Karena itu buku ini menjadi semacam oase: kebijakan negara pun bisa dituliskan secara asyik, enak dibaca, dan mudah dipahami.
Agaknya, ini buku kedua tentang perhutanan sosial yang disajikan secara berkisah seperti ini, setelah Lima Hutan Satu Cerita yang ditulis wartawan Tosca Santoso dan terbit awal 2019. Bedanya, yang ditulis Bambang Supriyanto ini sebanyak 11 cerita perhutanan sosial, baik yang sudah mendapatkan izin maupun belum tapi sudah mempraktikkan cara-cara mengelola hutan memakai salah satu skema hutan sosial sejak lama. Tentu saja, 11 cerita ini masih kurang karena kini sedikitnya ada 5.000 hutan sosial yang sudah mendapatkan izin kendati baru 1 persen yang benar-benar mandiri hingga bisa memasarkan produknya ke luar daerah petani.
Bambang melengkapi 11 cerita perhutanan sosial itu dengan cerita ia menempuh ujian menjadi pejabat eselon I di KLHK. Agaknya bab ini dibuat sebagai latar belakang karena dalam ujian tersebut Bambang menyajikan konsep pengelolaan perhutanan sosial, terutama inovasi kebijakan mempercepat realisasi pemberian izin kepada petani sekitar hutan. Bagi para pejabat, ini cerita penting karena bisa menjadi rujukan bagaimana menempuh ujian eselon I dengan kewajiban menulis makalah dan menghadapi pertanyaan dari para penguji dalam waktu yang relatif sempit.
Seperti kata Imam Prasodjo yang membahas buku ini saat peluncuran pada 28 November 2019, di hari kedua Festival Perhutanan Sosial Nasional di Manggala Wana Bakti, buku ini kurang mengulas “konflik” dalam pengelolaan hutan sosial. Sosiolog Universitas Indonesia itu menilai Bambang masih terlalu sopan sehingga tak mengulas soal proses pemberian izin hutan sosial yang ribet dan birokratis. “Buku ini enak dibaca karena disajikan secara naratif seperti novel,” kata Imam. “Tapi novel yang datar.”
Mendapat tantangan itu, Bambang berjanji ia akan membuat edisi revisi buku itu, juga edisi kedua karena masih banyak hutan sosial yang inspiratif dan layak mendapat tempat dalam sebuah buku agar dokumentasinya bisa baca generasi mendatang.
Dalam pidato sambutannya, Bambang menyitir ungkapan penulis besar Amerika, Sylvia Plath, yang menyebut bahwa tiap keping cerita hidup layak dituliskan. Mereka yang tak menuliskannya acap kali karena takut menuangkannya. Sebab, dengan mengutip Pramoedya Ananta Toer, Bambang mengatakan bahwa “menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :