Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 24 Desember 2019

Kapal Kuno di Rembang

Petani tambak menemukan kapal paling kuno yang pernah ada. Dua abad sebelum Borobudur.

Kapal kuno Punjulharjo, Rembang

TERIMA kasih kepada teknologi. Berkat inovasi pengujian karbon, kita bisa memperkirakan usia benda-benda. Para arkeolog yang mengeskavasi perahu kuno di pantai Nyamplung, Rembang, Jawa Tengah, memperkirakan usia perahu tersebut 13 abad. Dengan menguji kandungan karbon pada tali, pasak, dan kayu perahu itu diperkirakan ia dibuat pada abad 7 atau 8 Masehi—dua abad sebelum pembangunan candi Borobudur.

Syahdan, para petani garam Rembang di Punjulharjo menemukan reruntuhan perahu ini dua meter terkubur di bawah tanah dan 500 meter dari garis pantai ketika sedang menggali tanah untuk tambak pada 2008. Perahu dengan panjang 18 meter ini masih tergolong utuh meski rapuh karena sel-sel kayunya dipenuhi air laut. Tapi pengaruh resapan air laut itu yang diduga justru membuat kayunya awet hingga hari ini.

Dari pengujian di Miami, Amerika Serikat, itu peneliti mengetahui bahwa lambung kapal terbuat dari kayu Nyatoh (Palaquium obtusifolium Burck.), pasaknya dari kayu putih. Kapal berukuran besar ini diperkirakan bisa mengangkut 25 orang. Karena itu para arkeolog menduga, kapal tersebut merupakan moda transportasi orang-orang Mataram kuno di masa awal. Mereka kemungkinan saling berdagang dengan masyarakat kerajaan Sriwijaya yang baru berdiri di Palembang.

Pertukaran dagang itulah yang diduga perahu terbuat dari Nyatoh, pohon endemik Bangka Belitung. Karena berada di pantai, dan masih utuh terkubur, para arkeolog menduga perahu ini ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya karena usia.

Perahu Punjulharjo ini mengkonfirmasi bahwa nenek moyang orang Indonesia bangsa pelaut. Temuan ini juga sangat penting di dunia maritim maupun sejarah karena merekam begitu banyak data masa lalu. Dengan reruntuhannya yang masih relatif utuh, kapal ini menjadi kapal paling kuno yang berhasil ditemukan dan paling utuh sebagai peninggalan masa 13 abad silam.

Pujian terletak pada teknologi pembuatan kapal dan bahan baku yang digunakan para pembuatnya. Kayu Nyatoh bukan kayu terkuat dibanding ulin atau jati. Kekuatannya menengah. Ada dugaan ia dijadikan bahan perahu karena mudah dibentuk dan alur seratnya khas dan indah. Percampuran dengan air laut diduga yang makin menguatkan struktur perahu ini. Di dunia modern, Nyatoh dipakai sebagai bahan baku mebel.

Nyatoh mungkin seperti bitti (Vitex coffasus), kayu endemik Sulawesi yang jadi bahan baku kapal Pinisi. Pelaut Bugis memakai kayu bitti untuk lambung kapal karena mudah dibentuk dan makin kuat jika terendam air laut. Kini masyarakat Bulukumba masih memakai bitti untuk membuat kapal Pinisi pesiar atau yacht.

Untuk mengawetkan perahu tersebut dan tersimpan di situsnya, para arkeolog merendamnya dalam larutan polietilena glikol (PEG) 400, cairan pengawet kayu. Dibutuhkan 26 ton atau 60 drum cairan PEG untuk merendam seluruh kayu perahu ini. Situs tempat perahu ini dipajang adalah lokasi pertama saat petani menemukannya. Pemerintah membeli lahan tambak seluas 5.700 meter persegi untuk lokasi situs ini.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain