Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 06 Januari 2020

2030 Jakarta Tenggelam: Bagaimana Mencegahnya?

Tahun 2030 diperkirakan Jakarta tenggelam karena banjir yang naik 180%. Bukan penataan sungai yang jadi penyebabnya, tapi penurunan muka tanah di utara

Banjir di Kelapa Gading, Jakarta.

JAKARTA tenggelam tak lama lagi. Setidaknya jika kita baca analisis banjir Yus Budiyono dalam disertasinya pada 2018 di Universitas Amsterdam, Belanda. Dalam Flood Risk Modeling in Jakarta: Development and Usefulness in a Time of Climate Change, Yus mengamati banjir sebelum 2017.

Memakai model risiko “Damagescanner-Jakarta” yang menghitung informasi tentang bahaya, paparan dan kerentanan. Dalam model ini bahaya banjir diwakili peta genangan yang menunjukkan tingkat dan kedalaman banjir, dengan probabilitas yang berbeda dan keparahan yang berbeda. Eksposur diwakili peta pemakaian lahan, di mana setiap kelas pemakaian lahan diberi kerusakan maksimum dalam US$. Nilai ini mencerminkan potensi kerusakan yang dapat terjadi untuk setiap jenis penggunaan lahan apabila terjadi banjir. Sementara, kerentanan diwakili oleh kurva kedalaman kerusakan dan bila kedalaman berbeda nilai kerusakan akan berbeda.

Dengan model tersebut, Yus mencatat pada 2030 ada peningkatan risiko banjir di Ibu Kota sebesar 180%. Pengaruh terbesar ancaman ini bukan pada pengendalian 13 sungai yang membelah Jakarta yang buruk. Melainkan penurunan tanah. Kontribusi risikonya mencapai 126%. Data Bappenas menunjukkan tanah Jakarta turun 7,5 sentimeter per tahun sejak 1975 akibat eksploitasi air tanah dan pembangunan gedung yang tak terkendali.

Curah hujan yang tinggi juga bukan penyebab utama lain. Banyak yang mengatakan banjir Jakarta pada 1 Januari 2020 akibat curah hujan yang sangat tinggi. Stasiun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Halim Perdanakusumah mencatat curah hujan 377 milimeter per hari pada tanggal tersebut—tertinggi dalam 24 tahun terakhir. Tapi kontribusi pada banjir Jakarta, menurut Yus, hanya maksimum 104%. Ia bahkan faktor yang tidak pasti karena bisa minus 94%.

Perubahan penggunaan lahan adalah ancaman lain banjir Ibu Kota. Jika konversi lahan berlanjut pada tingkat yang sama seperti yang terjadi selama periode 1980-2009, risikonya bisa naik +45% pada tahun 2030. Namun, apabila memakai skenario perubahan penggunaan lahan “ideal”, yang mengasumsikan bahwa Tata Ruang Jakarta 2030 sepenuhnya dilaksanakan, risiko bisa dikurangi hingga -12%.

Yus menyarankan langkah pengurangan risiko secara teknis, sosial maupun berbagai kebijakan yang diperlukan. Sebab korban dan kerugian yang ia catat akibat banjir Jakarta dari tahun ke tahun sangat tidak sedikit. Pada Januari 2013 kerugian akibat banjir diperkirakan sebesar US$ 3 miliar atau Rp 42 triliun, dengan 47 orang meninggal dan lebih dari 100.000 rumah hancur atau rusak. Sebelumnya, pada 2002 dan 2007, kerugian ekonomi akibat banjir  masing-masing US$ 1,5 miliar dan US$ 890 juta.

Adanya korban maupun kerugian materi akibat banjir, yang hampir rutin sejak abad 17 ini, sepatutnya tak lagi disebut bencana alam. Sebab, bencana alam terjadi tiba-tiba dan sekali. Keangkuhan dan kebodohan kita semua yang membuat banjir terus terjadi. Padahal, rekomendasi menanganinya sudah ada sejak banjir pertama. Artinya, tidak ada pembaruan landasan kebijakan yang memungkinkan penyebab-penyebab banjir bisa diminimalkan.

Dengan besaran kerugian banjir semakin naik ini, semestinya menggiring kita melihat banjir dengan lebih bijaksana. Pertama, kita harus antisipatif terhadap gejala alam tersebut. “Kita” di sini adalah lembaga-lembaga publik yang menjadi representasi masyarakat. Kedua, kita harus menghindari pernyataan: “banjir adalah tanggung jawab kita semua”.

Tentu saja arti kalimat itu benar, tetapi gagal mengartikulasikan siapa yang harus bertanggung jawab dan ke mana publik menuntutnya untuk perbaikan. Sebab persoalan yang paling mendasar saat ini bukan terletak pada tingkah laku perorangan, melainkan besarnya peluang (opportunity sets) bagi perorangan untuk merusak sumber daya alam dan daya dukung perkotaan akibat berbagai fungsi lembaga-lembaga publik yang tidak berjalan.

Sikap perorangan maupun lembaga pemerintah pada umumnya myopic-pragmatis, reaktif, sempit, dan jangka pendek. Sikap ini yang menjadi sebab berbagai rekomendasi teknis untuk memperbaiki kinerja pengelolaan lingkungan hidup tidak berjalan.

Dalam skala wilayah, sikap pragmatis tersebut ditunjukkan antara lain oleh lahirnya proyek-proyek fisik pengendalian banjir secara parsial. Misalnya, berupa bangunan-bangunan pengendalian air, rehabilitasi hutan dan lahan, pembongkaran bangunan yang tidak memenuhi tata ruang, dan lain-lain.

Dua syarat agar proyek-proyek tersebut bisa dikatakan sering kali tidak terpenuhi. Pertama, proyek-proyek yang dilaksanakan tidak menjadi kesatuan dan/atau lokasinya tidak tepat untuk meningkatkan fungsi kawasan lindung di daerah aliran sungai (DAS) tertentu, sehingga tidak mempunyai dampak signifikan. Setelah banjir di Jakarta 2002, Lembaga Penelitian IPB mencatatada 102 proyek terkait konservasi DAS Ciliwung dan pengendalian banjir di Jakarta, tetapi nilai sinerginya rendah. Saran untuk menyinergikan semua proyek itu tidak pernah terdengar dan dilakukan hingga hari ini.

Kedua, manfaat proyek bagi kawasan lindung adalah manfaat jangka panjang, namun keberlangsungan dampak jangka panjang dari proyek-proyek itu sulit diwujudkan. Penyebabnya, setelah proyek selesai, misalnya berupa rehabilitasi lahan, langsung gagal karena ada pelanggaran tata ruang lain di daerah proyek itu. Luas area hutan di DAS Cisadane hulu rata-rata berkurang sekitar 3.872 hektare per tahun selama periode 2003-2016. Angka ini sudah pasti datang dari pelanggaran tata ruang.

Dalam skala nasional, sikap pragmatis tersebut ditunjukkan, misalnya, dalam agenda pemerintah yang cenderung menganaktirikan fungsi lingkungan hidup. Padahal menurut Herman Daly, guru besar kebijakan publik di Universitas Maryland, Amerika Serikat, ada keterkaitan antara ekonomi dan daya dukung lingkungan

Daly memakai garis Plimsoll yang biasa dikenal di dunia maritim. Garis Plimsoll memberi petunjuk seberapa banyak muatan kapal bisa diangkut agar keamanan berlayar tetap terjaga. Garis itu analog dengan batas daya dukung lingkungan. Sistem ekonomi analog dengan cara mengatur barang di atas kapal dan apabila tidak efisien letak garis Plimsoll akan terlewati dan kapal dipastikan tenggelam jika memaksanya angkat sauh.

Dengan sumber daya alam yang rusak, lingkungan hidup maupun bencana yang meningkat dari waktu ke waktu, krisis daya dukung lingkungan sudah terjadi. Merujuk kiasan Herman Daly, apa yang seharusnya kita lakukan adalah mengatur barang di dalam kapal, sambil terus memperhatikan posisi garis Plimsoll. Tetapi, rupanya itu semua belum terjadi. Politik ekonomi nasional bahkan terus berjalan dengan angkuhnya, yang justru sepertinya memastikan bahwa garis Plimsoll itu tidak pernah ada.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain