Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 10 Januari 2020

“Air Seperti Gelombang, Langsung Menghantam”

“Air itu seperti gelombang, langsung menghantam,” kesaksian korban banjir Jakarta di Kalideres. Air tak surut setelah sepekan banjir karena harus dipompa. Pompanya butuh listrik.

Penduduk Kampung Semanan di Kalideres, Jakarta Barat, mencuci mobil yang terendam banjir, 7 Januari 2020 (Foto: Siti Sadida Hafsyah)

DALAM rapat koordinasi penanganan banjir Jakarta di Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, pemerintah DKI melaporkan bahwa mereka bisa menangani genangan air di sekujur ibu kota hanya dalam waktu lima hari sejak banjir besar pada awal tahun. Pada 7 Januari 2020, pemerintah mengklaim tak ada lagi genangan di mana pun alias 0%. "Kesimplan: penanganan telah tuntas," demikian laporan pemerintah DKI.

Untuk menguji klaim tersebut, saya mengunjungi Semanan di Kalideres, Jakarta Barat, bersama sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Jakarta. Pada hari itu, wilayah ini masih terendam. Di Semanan, ketika banjir ada penduduk meninggal karena terseret arus. “Air seperti gelombang, langsung tumpah dalam hitungan detik,” kata Taska, 49 tahun, staf RT 10 Semanan, menceritakan banjir pada 1 Januari 2020.

Konstruksi Kayu

Air tumpah berasal dari kali Semanan yang meluap ke jalan, masuk ke rel, dan menerjang perkampungan. “Langsung brug begitu saja,” kata Taska. Penduduk tak sempat menyelamatkan barang dari rumah. Mereka lalu mengungsi ke kantor PT Biolife yang ada di pintu masuk perkampungan.

Hingga 7 Januari 2020, air masih menggenangi jalan, gang, dan perumahan penduduk setinggi betis. Para anggota DPRD harus melipat celana ketika memasuki kawasan kampung. Menurut seorang penduduk, di dalam desa air masih setinggi pinggang orang dewasa. Penduduk bergantian bercerita tentang banjir pada awal tahun itu.

Ada yang tak sempat mengungsi, ada yang bertahan karena anggota keluarga sakit, banyak juga yang mengeluhkan kekurangan makanan karena banjir tak kunjung surut.

Air tak kunjung surut karena letak Semanan berada di bawah permukaan jalan, kali, dan gorong-gorong. Air banjir harus dipompa ke selokan jika ingin dikeringkan. “Tapi pompa yang ada tidak cukup menyedot air,” kata Gunawan, Ketua RT 10. “Terutama air di wilayah RT 1, 2, dan 10.”

Tidak hanya jumlahnya yang kurang, kata Gunawan, ketika dibutuhkan, pompa yang ada tak bisa dipakai karena butuh listrik. Sementara setrum sudah mati ketika air meredam kampung ini. “Jadi kami minta bantuan ke pemadam kebakaran untuk menyedot air,” katanya.

Gunawan cemas dengan informasi bahwa puncak hujan akan terjadi pada Februari-Maret 2020, seperti diumumkan Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika. Ia khawatir banjir besar kembali menghantam Semanan ketika air banjir sekarang sudah bisa disedot seluruhnya.

Ketua Fraksi Golkar DPRD DKI Jakarta, Basri Baco, melemparkan ide membentuk Panitia Khusus (Pansus) penanganan bencana banjir di provinsinya. “Penyebab banjir harus didalami,” katanya. “Agar kita tahu solusi dan siapa yang harus bertanggung jawab.”

Sementara Ketua Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Idris Ahmad mengkritik Pemerintah DKI soal penyerapan anggaran pengendalian banjir. Menurut dia, pemerintah Jakarta lebih banyak memperdebatkan konsep ketimbang melaksanakan program sesuai dengan anggaran yang dirancangnya. 

"Di sini jadi bukti konkret serapan anggaran pengendalian banjir rendah dan ada program yang tidak berjalan,” katanya. “Kita sibuk berdebat naturalisasi atau normalisasi sungai untuk menangani banjir padahal masalahnya semua konsep itu tidak dijalankan.”

Seorang anak berjalan di genangan air Kampung Semanan, Kalideres, Jakarta Barat, 7 Januari 2020. Air belum surut setelah banjir besar pada 1 Januari 2020. (Foto: Siti Sadida Hafsah)

Sebelum ke Semanan, rombongan DPRD DKI Jakarta menyambangi rumah keluarga korban jiwa Kemayoran, Jakarta Pusat. Di sini air banjir sudah surut total. Permukiman sudah kembali tampak bersih dan rapi. Penduduk beraktivitas normal.

Korban meninggal di Kemayoran adalah Arfico Alif Pradana, usia 16 tahun. Latif, ayahnya, menceritakan bahwa Alif meninggal karena tersetrum.

Ketika hujan deras 1 Januari itu, kata Latif, anaknya sedang membeli sesuatu di warung. Tiba-tiba uangnya jatuh. Ketika berusaha mengambil uang jatuh ke air yang meninggi dengan payungnya, secara refleks tangannya meraih tiang listrik. “Rupanya ada setrumnya,” kata Latif, dengan murung. “Benar-benar meninggal di tempat.”

Alif adalah satu dari 60 korban meninggal dalam banjir Jakarta awal 2020, menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana per 8 Januari 2020. Sebanyak 18.870 orang mengungsi. Dalam rapat koordinasi di Kementerian PMK, pemerintah Jakarta mengklaim, sebagian besar pengungsi sudah kembali ke rumah masing-masing.

Berbeda dengan BNPB, pemerintah Jakarta hanya mencatat 19 korban meninggal dalam banjir kali ini. Jumlah pengungsi puncak terjadi pada 2 Januari sebanyak 36.445 jiwa yang terus berkurang hingga tinggal 691 orang per 7 Januari 2020.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain