Kabar Baru| 02 Februari 2020
Gedung Berbahan Kayu Lebih Ramah Lingkungan Ketimbang Beton
JIKA ada kabar baik sekaligus buruk, penelitian Universitas Postdam Jerman ini salah satu contohnya. Para ilmuwan di sana menyimpulkan bahwa gedung-gedung tinggi atau bangunan rumah akan lebih ramah lingkungan jika strukturnya memakai kayu dan segala hal yang diambil dari alam. Tentu saja, kesimpulan yang dimuat dalam jurnal Nature Sustainability edisi 27 Januari 2020 ini bisa menjadi kabar buruk karena eksploitasi hutan bisa lebih masif di tengah krisis iklim sekarang.
Para peneliti itu agaknya sadar dengan kontradiksi ini. Karena itu analisis mereka tak hanya berhenti pada saran membangun gedung dengan kayu, tapi juga menghitung bagaimana memanen kayu yang lebih lestari dihubungkan dengan jumlah emisi karbon pada 2050. Hasilnya menjadi penelitian yang menarik dan layak ditengok serta dibaca oleh para pembuat kebijakan, mengingat kebutuhan akan perumahan, perkantoran, hingga infrastruktur akan meningkat 30 tahun ke depan karena desakan jumlah populasi manusia.
Pada 2050 diperkirakan jumlah manusia yang nongkrong di planet ini akan sebanyak 9,5 miliar, 75% di antaranya akan hidup dan tinggal di lingkungan perkotaan. “Urbanisasi dan pertumbuhan populasi akan menciptakan permintaan besar akan pembangunan perumahan baru dan bangunan komersial,” kata Galina Churkina, dari Yale School of Forestry and Environmental Studies , Amerika Serikat, dan Potsdam Institute for Climate Impact Research in Jerman, yang menjadi kepala peneliti. “Karenanya produksi semen dan baja akan tetap menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca kecuali jika ditangani dengan tepat.”
Ada dua alasan mengapa para peneliti itu menganjurkan memakai kayu sebagai bahan baku gedung dan rumah. Pertama, seperti dikatakan Churkina, pemakaian kayu akan mengurangi produksi semen yang menjadi inovasi baru membangun infrastruktur di era modern. Produksi semen, yang memakai bahan bakar tak terbarukan, menyumbang 8% emisi global pada 2018 dari total 11 miliar ton emisi setara CO2. Jumlah ini jauh lebih banyak ketimbang produksi emisi penerbangan yang hanya 2,4%. Penelitian The Shift Project tahun lalu menghitung 80% energi global memakai sumber tak ramah lingkungan.
Kedua, kayu yang menjadi bahan baku bangunan tetap akan menyerap karbon dari udara. Meski sudah diolah, kayu tetap menyimpan karbon sepanjang ia tak musnah. Fosil-fosil kayu yang terkubur tanah tetap menyimpan karbon yang mereka serap selama hidup sehingga akan mengurangi gas buang ke atmosfer yang menjadi pemicu pemanasan global. Dalam perhitungan para peneliti bangunan lima lantai yang terbuat dari kayu bisa menyerap 180 kilogram karbon per meter persegi ruangannya.
Angka tersebut mengejutkan karena daya serap kayu pada bangunan tersebut tiga kali lebih banyak dibanding biomassa hutan alam dengan kepadatan karbon tinggi. Meski begitu, Churkina buru-buru mengingatkan, daya simpan karbon di hutan alam tetap lebih tinggi dibanding di perkotaan meski 90% bangunannya berkayu. Polusi transportasi, aktivitas manusia, produksi ekonomi tetap saja menguras oksigen dan menghasilkan karbon yang membuat pemanasan global tak terhindarkan.
Ada empat skenario pertumbuhan bangunan dan emisi yang terproduksi yang dihitung para peneliti Postdam hingga 2050. Dengan asumsi pertumbuhan bangunan berjalan seperti sekarang, dihubungkan dengan jumlah penduduk 30 tahun ke depan, jumlah gedung baru yang memakai bahan kayu hanya akan bertambah 0,5%. Jika jumlah gedung baru berbahan kayu bisa didorong menjadi 10% saja, setidaknya 10 juta ton karbon per tahun bisa diserap.
Daya serap karbon akan makin tinggi seiring makin banyaknya jumlah bangunan yang memakai kayu. Dalam perhitungan peneliti Postdam, jika negara-negara industri rendah meningkatkan panen kayu untuk membangun hingga 90% gedung, setidaknya 700 juta ton karbon yang terlempar ke udara bisa diserap per tahun. Angka ini di luar separuh emisi yang bisa dicegah akibat produksi semen dan beton secara global.
Menurut Churkina, di tengah usaha banyak negara menurunkan emisi untuk mencegah suhu bumi naik di atas 2 derajat Celsius pada 2050, seperti janji mereka dalam Perjanjian Paris, inovasi menyerap emisi harus dicoba sebanyak mungkin. Sebab, ada emisi yang tak bisa dihindari akibat aktivitas manusia dan pertanian untuk memenuhi kebutuhan kita.
Agar ide ini tak menjadi senjata makan tuan bagi lingkungan, Churkina menyarankan peningkatan manajemen hutan yang lestari. Sebab, penyebab utama deforestasi dan degradasi lahan dipicu oleh manajemen hutan yang tak mengindahkan manajemen berkelanjutan. “Melindungi hutan dari penebangan yang tidak berkelanjutan dan berbagai ancaman lainnya merupakan kunci jika pemakaian kayu meningkat,” kata Christopher Reyer dari Postdam University.
Bagi Indonesia, ide ini juga bisa membantu mengangkat kembali bisnis kehutanan yang lesu. Larangan ekspor log dan kayu bulat membuat kayu tak terserap di pasar global sementara pasar dalam negeri juga tak bisa menampung produksi kayu dari hutan produksi. Menurut Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University Hariadi Kartodihardjo, Finlandia sukses menjadi eksportir kayu bulat dengan cara menjaga harga kayu mereka lewat ekspor log terbatas.
Dengan mengalihkan bahan baku bangunan dari semen ke kayu, industri kayu dalam negeri akan giat lagi berproduksi karena permintaan di pasar dalam negeri akan meningkat. Syaratnya itu tadi, pengelolaan hutan produksi lestari. Indonesia sudah punya perangkatnya untuk mencegah pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal, yakni sertifikasi. Verifikasi lacak balak hingga audit manajemen lestari harus ditingkatkan dan ditegakkan dengan keras jika kita ingin mencapai pertumbuhan industri sekaligus menjaga hutan.
Chrsitoper Reyer mengakui bahwa ada ketidakpastian pasar dan skenario dalam hal pengelolaan hutan lestari dengan ide memindahkan bangunan ke kayu. Tapi, ia menduga sektor perkebunan akan meningkat, terutama budidaya bambu di negara-negara tropis. Di Indonesia, bambu belum mendapat perhatian optimal padahal pasar hasil hutan bukan kayu ini relatif stabil di pasar dunia.
Pada 2017, nilai total perdagangan bambu dan rotan US$ 60 miliar, 80% dari jumlah itu disumbang oleh perdagangan bambu, terutama produk olahannya. Tahun berikutnya malah naik menjadi US$ 1,69 miliar dengan bambu menguasai pangsa 40%. Jadi, menurut Reyer, jika infrastruktur beralih ke kayu dan bahan alami, ia akan menciptakan efek ganda bagi banyak sektor lain.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :