Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 03 Februari 2020

Bahaya Menutup Informasi

Pemerintah membatasi publik mengakses informasi tertentu, terutama soal omnibus law. Gejala otoritarianisme?

Memutus informasi publik (Foto: Shutterstock)

INTERNET membuat semua informasi terbuka. Mereka yang tak bisa menjangkau buku sejarah kini bisa mengakses informasi tentang perbedaan pendapat para aktivis politik tentang siapa yang harus menandatangani naskah Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Berkat Internet kita juga tahu Sukarni menentang pendapat Sukarno yang ingin semua yang hadir membubuhkan paraf di naskah itu.

Kita juga tahu bagaimana konsep dasar negara Indonesia yang diajukan Muhammad Yamin dan 69 anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pertentangan dan diskusi-diskusinya dalam sidang-sidang yang dipimpin Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat itu.

Catatan rapat-rapat maupun berita yang ditulis wartawan pada masa kemerdekaan yang dibuka ke publik membuat kita bisa belajar bagaimana sebuah ide didiskusikan, bagaimana sebuah konsep dipertentangkan, hingga melahirkan keputusan-keputusan besar yang menentukan nasib bangsa ini. Kita juga bisa membaca bagaimana para pendiri bangsa kita mengesampingkan kepentingan kelompok mereka dan bersandar pada norma moral yang umum ketika mengambil keputusan untuk Indonesia.

Semua itu berkat keterbukaan informasi. Internet, meski kini jadi sarana menyebarkan kabar palsu dan propaganda, tetap menjadi medium untuk demokratisasi informasi—ia terbuka luas diakses siapa saja.

Hal-hal berguna itu rupanya tak dilihat oleh pemerintah Indonesia di era modern. Dalam hal omnibus law yang sedang dibahas pemerintah dan mengundang penasaran orang seluruh negeri, pemerintah menutup semua informasi tersebut. Bahkan tim pembahas yang membocorkannya akan kena tegur serta dianggap melanggar etika. Alasannya pun aneh: bila orang tidak paham konteks, masyarakat bisa ribut. Pernyataan ini, misalnya, disampaikan Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian, Susiwijono, kepada majalah Tempo edisi 26 Januari-2 Februari 2020.

Setelah 70 tahun lebih Indonesia merdeka, pemerintah kita berpikir agar masyarakat tidak ribut cara terbaik adalah menutup informasi. Kira-kira logikanya begini: dari pada orang rebutan air karena kehausan, lebih baik menutup kerannya sekalian. Jadi mereka tidak ribut. Alih-alih mengatur supaya tidak rusuh, pemerintah menutup sumber keributan itu sekalian. Padahal, bukan rusuh yang jadi pokok soal, melainkan kehausan.

Apabila dugaan ribut akibat masyarakat tidak paham konteks, mengapa pemerintah tidak menjelaskan konteks itu saja? Apakah konteks ini barang rahasia? Mengapa masyarakat dibiarkan bahkan didorong tidak mengetahui sebuah peraturan yang akan menentukan nasib mereka ke depan? Pemerintah lupa bahwa ketertutupan informasi bisa menjadi sumber keributan juga. Manusia biasanya berdebat tentang sesuatu karena mereka tak paham konteks dan informasinya secara utuh.

Soal hak mendapatkan informasi ini memang jadi urusan kompleks di Indonesia. Meski ada konstitusi menjamin hak mendapatkan informasi, seperti tertuang dalam pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 atau pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, kita abai melaksanakannya.

Pengalaman saya terlibat membahas pelbagai rancangan undang-undang menunjukkan itu. Ketika membahas Rancangan Undang-Undang Pertanahan tahun lalu, misalnya, saya lihat apa yang disebut konsultasi publik hanya formalitas belaka. Konsultasi publik diisi oleh “instruksi kata-kata” di mana publik dipaksa hanya mendengar dan menelan apa yang dinyatakan baik dan benar oleh para perumus rancangan itu. Instruksi itu telah menjadi perintah tunggal sehingga mendekati otoritarian. Diskusi masyarakat menjadi percuma.

Menurut teori, bekerjanya otoritarian akibat adanya “meta-power”. Ia semacam kekuatan besar melampaui negara yang terstruktur dalam menetapkan aturan, terutama dalam pemanfaatan sumber daya alam secara ekstraktif, serta menata kondisi agar tindakan dan interaksi dalam memainkan aturan tersebut bisa berjalan. Meta-power menetapkan parameter berbagai tindakan melalui struktur yang ada, biasanya berupa lembaga pemerintahan maupun koalisi-koalisi usaha.

Konsep meta-power dan ekstraksi sumber daya alam, antara lain, ditelaah Malin, Ryder, dan Lyra (2019) dalam jurnal Environmental Sociology berjudul “Environmental Justice and Natural Resource Extraction: Intersections of Power, Equity, and Access”.

Menurut mereka, meta-power mengendalikan pembentukan kebijakan dan akses informasi, yang membatasi siapa yang bisa mengakses dan mempengaruhi diskusi, proses, dan hasil kebijakan secara otentik. Masyarakat yang berpotensi terkena dampak oleh proyek ekstraksi tersebut dibatasi pengetahuannya semata-mata untuk mencegah mereka menentang izin dan memprotes proyek tersebut. Caranya dengan mengontrol informasi apa yang boleh dan tak boleh disebarkan.

Saya membayangkan situasi itu seperti dalam film “Equilibrium” (2002). Film ini menggambarkan sebuah peradaban di bawah kepemimpinan seseorang yang menyebut dirinya “The Father”. Peradaban ini meyakini bahwa semua kegaduhan dan kekacauan disebabkan karena manusia punya emosi. Takut, cinta, benci, membela, menentang, semuanya berasal dari emosi.

Maka untuk membuat keadaan damai, The Father membuat zopium, kapsul untuk menghapus emosi manusia. Orang yang terlihat masih punya perasaan akan dibunuh oleh tentara The Father. Aktor Christian Bale memerankan Preston, instrumen keamanan dan perlindungan The Father, berasal dari “grammatean” kelas utama. Preston memiliki keterampilan bela diri dan perang paling hebat. Tugasnya membantai semua orang yang terindikasi memiliki perasaan.

Di ujung cerita, Preston mendapat kesadaran ketika dengan tanpa perasaan dan penyesalan membunuh teman kerja paling dekatnya. Juga ketika istrinya dieksekusi rezim The Father. Rupanya ia masih punya perasaan sampai menilai konsep The Father keliru. Zopium tak terlalu merasuk menghilangkan emosinya. Ia lalu berbalik melawan kekuasaan lalim itu.

Imajinasi film ini adalah mempertahankan kekuasaan bukan dengan memberdayakan masyarakat melainkan dengan mobilisasi rakyat sebagai benda-benda tanpa perasaan. Warga negara hanya obyek-obyek kelas bawah untuk ditundukkan. Dari keadaan itu, harapan yang ada adalah “mukjizat kesadaran”, seperti diterima Preston, yang tidak bisa diintervensi kekuasaan sehingga ia berbalik menyerangnya. Betapa mengerikan...

Kita tahu mukjizat kesadaran hanya datang kepada orang yang cukup dengan informasi dan pengetahuan. Jika ia ditutup, kedatangan mukjizat akan telat.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain