DI hari Jumat seperti sekarang ini saya sering berharap ada khatib yang berbicara tentang lingkungan hidup. Tidak perlu bicara yang jauh-jauh tentang pemanasan global, cukup bicara tentang sampah plastik dan bagaimana dampaknya pada lingkungan. Itu saja sudah cukup. Misalnya, bagaimana gelas plastik air mineral yang kita bagikan di berkat pengajian itu akan punya dampak panjang pada lingkungan.
Sayangnya, saya hampir tidak pernah mendengar khotbah Jumat (atau ceramah agama) seperti itu. Kalau pun ada, hanya disinggung sedikit sebagai pelengkap khotbah. Agak mengherankan kenapa soal lingkungan hidup, yang kerusakannya dirasakan oleh orang satu bumi ini tidak menjadi perhatian para penceramah agama? Kenapa isu raksasa yang mengancam kehidupan kita di bumi ini tidak menjadi agenda penting bagi kaum beriman?
Saya memang tidak pernah membuat atau membaca riset tentang kepedulian para ustaz soal ini, tapi dari semua khotbah Jumat, kultum setelah salat, atau ceramah di televisi yang saya dengar, jarang sekali hal ini diangkat.
Indonesia—sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar—merupakan salah satu penyumbang terbesar sampah plastik dunia. Itu belum termasuk kerusakan lingkungan lain, seperti pembakaran dan pembabatan hutan.
Mungkin, karena soal lingkungan hidup dan pemanasan global bukan perhatian utama kita. Mungkin karena kita menganggap bahwa Tuhan tidak menggarisbawahi hal ini, dan karenanya kalah penting dibanding hal lain.
Benarkah begitu?
Benarkah soal lingkungan hidup di bumi ini bukan topik penting bagi agama?
Saya justru melihat sebaliknya. Masalah lingkungan hidup adalah salah satu concern utama agama. Bahkan menjaga kelangsungan kehidupan di bumi adalah tujuan kita diciptakan. Hal itulah yang diungkapkan oleh Allah SWT saat ingin menciptakan manusia dan memberitahukan rencana itu kepada para malaikat.
Hal ini tertuang di surat Al-Baqarah ayat 30: “Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada malaikat : ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah.” (Al-Baqarah: 30).
Ayat ini kerap salah dimengerti dan dianggap sebagai dalil akan wajibnya khilafah atau negara Islam. Secara terminologi, khalifah sendiri sebenarnya bukan berarti pemimpin, tapi wakil. Wakil siapa? Wakil Tuhan. Jadi, Allah memberitahukan kepada malaikat bahwa Ia ingin menciptakan wakil-Nya di muka bumi.
Malaikat saat itu juga ketakutan atau khawatir, wakil Tuhan itu nantinya akan menumpahkan darah dan berbuat kerusakan. Kenapa? Karena sepertinya malaikat juga sadar bahwa makhluk yang diberi kewenangan begitu besar akan cenderung untuk menyalahgunakannya.
Itu kalau khalifah diartikan sebagai pemimpin di muka bumi yang mendapat kewenangan dari Tuhan.
Kita harus memperhatikan kata Tuhan di ayat 30 itu. Sebagaimana di surat An-Naas, tuhan dalam terminologi Al-Quran ada tiga: Ilah (Tuhan yang disembah), Malik (Tuhan yang menguasai), dan Rabb (Tuhan yang menumbuhkan dan menciptakan). Di ayat 30 surat Al-Baqarah itu, Allah tidak memakai kata ilah atau malik, tapi Rabb.
Artinya, kita tidak diminta menjadi wakil dari kekuasaan Tuhan (bukan sebagai pemimpin) apalagi wakil dari Tuhan yang disembah, karena dalam Islam tidak ada perwakilan penyembahan. Memakai kata Rabb karena kita diminta menjadi wakil dari Tuhan yang menumbuhkan alam semesta. Karenanya, tugas utama khalifah adalah memelihara dan menumbuhkan kelestarian di muka bumi.
Ini klop dan sejalan dengan konsep Islam sebagai rahmatan lil-alamin, cinta kasih untuk seluruh alam. Konsep ini hanya bisa dijalankan oleh khalifah atau wakil Tuhan yang selalu mengembangkan kelestarian di muka bumi.
Ini juga sejalan dengan perkataan Rasul: “Aku ini diutus hanya untuk menyempurnakan moral.”
Dengan moral dan cinta, tugas khalifah (sebagai pelestari dan pengayom kelestarian alam) bisa dilakukan.
Karenanya, agak aneh jika seorang mengaku muslim, ingin memperjuangkan khilafah, tapi senang menebar kebencian (bukannya cinta kasih). Aneh kalau orang bicara moral (bahkan ingin ada polisi moral), tapi tidak menjaga kelestarian lingkungan, buang sampah sembarangan, mendukung penggundulan hutan.
Dengan memahami tujuan penciptaan seperti itu, maka bisa dimengerti mengapa begitu banyak ayat yang melarang kita berbuat kerusakan di muka bumi, larangan melakukan kerusakan di laut dan daratan, atau di ladang-ladang pertanian. Selama ini ayat-ayat itu ditafsirkan sebagai larangan berbuat kerusakan moral, bukan lingkungan. Ini ada benarnya, tapi itu merupakan makna kedua yang didapat dari ta’wil. Adapun makna pertama yang tertangkap langsung oleh nalar kita adalah kerusakan dalam arti yang sesungguhnya.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Sarjana Hadits Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo
Topik :