Kabar Baru| 15 Februari 2020
Penyebab Utama Deforestasi dan Degradasi Lahan
DEFORESTASI dan degradasi lahan menjadi momok pengelolaan hutan Indonesia. Lajunya yang kencang membuat segala usaha melindungi hutan Indonesia seolah sia-sia. Sebab dua hal ini yang selalu jadi patokan dalam melihat bagaimana komitmen Indonesia menjaga alamnya.
Keberhasilan memitigasi pemanasan global acap bersandar pada indikator seberapa banyak pemerintah Indonesia bisa memperlambat laju keduanya. Dalam sektor kehutanan, yang menyumbang 17% emisi secara nasional sebesar 1,1 miliar ton CO2 pada 2017, degradasi dan deforestasi menyumbang 60% terhadap produksi karbon. Akibatnya, dua hal itu menjadi fokus perhatian utama pemerintah sepanjang waktu.
Kebakaran, perambahan, konversi lahan untuk pelbagai keperluan adalah pemicu utama deforestasi dan degradasi lahan. Dari 125 juta hektare kawasan hutan Indonesia, sebanyak 35 juta lahan hutan merupakan kawasan yang sudah tak produktif karena tutupan tajuknya di bawah 30%. Tapi, jika ditarik lebih jauh, apa yang sebenarnya memicu deforestasi? Tepatnya, apa yang memicu pembakaran, perambahan, dan konversi lahan?
Menurut Profesor Dodik Ridho Nurrohmat, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, penyebab utama semua itu adalah faktor ekonomi. Kemiskinan, rendahnya akses terhadap sumber daya, kian tingginya kompetisi terhadap sumber ekonomi, menjadi penyebab penduduk masuk ke kawasan hutan. Tapi di dalam kawasan hutan pun, nilai ekonominya tetap rendah.
Dalam perhitungan Dodik, nilai hutan dengan segala pohon dan ekosistemnya hanya Rp 400 per meter persegi per tahun. Nilai tersebut akan naik menjadi Rp 1.500 per meter persegi per tahun jika hutan dijadikan sawah, naik lagi menjadi Rp 3.800 jika dijadikan kebun kelapa sawit, Rp 40.000 jika dijadikan perumahan. “Apakah ada nilai yang lebih tinggi dari itu?” tanya Dodik dalam seminar perhutanan sosial di Bogor, 14 Februari 2020. “Jika hutan dijadikan holtikultura.”
Dengan kata lain, sistem agroforestri adalah solusi atas deforestasi dan degradasi lahan. Agroforestri adalah sistem bercocok tanam yang mengombinasikannya pohon berkayu dengan tanaman pertanian. Praktik-praktik tradisional dalam perhutanan sosial di banyak tempat sudah membuktikan bahwa hutan bisa mencukupi kebutuhan penduduk dari segi sosial, ekonomi, dan ekologi.
Tiga faktor itu, menurut Dodik, yang menjadi penyebab deforestasi. Konflik-konflik tenurial acap terjadi karena rebutan lahan antar penduduk, penduduk dengan negara lewat perambahan, penduduk dengan perusahaan pemilik konsesi akibat tumpang tindih izin. Rebutan lahan itu menjadi problem sosial yang belum sepenuhnya terpecahkan hingga hari ini.
Konflik mereda setelah kebutuhan ekonomi penduduk terpenuhi. Seperti di Ogan Komering Ilir. Dengan skema perhutanan sosial, masyarakat diberikan akses mengelola kawasan hutan maksimal 2 hektare per keluarga dengan diizinkan menanam karet. Penghasilan karet Rp 3 miliar per bulan. Mereka pun berhenti berkonflik dan pendapatan per kapita penduduk Rp 760 ribu per bulan per kapita. Karena mengikuti skema perhutanan sosial penduduk wajib menjaga mata air dan menanam pohon berkayu di sela pohon karet. Masalah ekonomi, sosial, ekologi pun terpecahkan.
Karena itu, menurut Dodik, untuk menghentikan deforestasi dan degradasi solusi yang tepat adalah menyelesaikan problem ekonomi masyarakat. “Sepanjang hutan tak memberikan manfaat ekonomi yang besar dan memenuhi kebutuhan mereka, deforestasi tak bisa dihentikan,” katanya.
Dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 14/2004, hutan didefinisikan sebagai lahan dengan luas lebih dari 0,25 hektare yang ditumbuhi pepohonan dengan tinggi lebih dari 5 meter dan tutupan kanopi lebih dari 30 persen. Artinya, deforestasi terjadi hanya jika hutan telah rusak di bawah ambang batas definisi hutan. Jika masih di atas itu, kita menyebutnya sebagai degradasi belaka.
Rendahnya nilai hutan itu juga tecermin dalam Produk Domestik Bruto, alat ukur yang mencerminkan kesejahteraan masyarakat. Dari 190 juta hektare luas daratan, atau 65 persen dari luas Indonesia, seluas 125 juta hektare adalah kawasan hutan. Namun, hanya 0,6% PDB sektor kehutanan. “Artinya, keberadaan hutan tidak memberikan nilai ekonomi signifikan,” kata Dodik.
Perhitungan-perhitungan nilai hutan dan peruntukan lain itu merupakan perkiraan yang disimpulkan dari banyak penelitian. Kini, 35 juta hektare lahan hutan telantar karena ditinggalkan pemilik konsesi akibat hutan tak lagi memiliki nilai ekonomi. HPH kemudian diubah menjadi HTI bahkan kebun kelapa sawit untuk memberikan dampak ekonomi dan penerimaan pajak.
Dalam agroforestri, pohon hutan dikombinasikan dengan jenis yang menghasilkan secara ekonomi per bulan, tiga bulan, dan tahunan. Seperti para petani Sunda Hejo di Garut. Mereka memulihkan kembali hutan lindung milik Perhutani di Gunung Mandalawangi dengan menanam kopi. Kopi tumbuh membutuhkan naungan sehingga mereka harus menanam pohon berkayu terlebih dahulu.
Kini, setelah pohon tumbuh dan kopi menghasilkan, mereka mengombinasikannya dengan buah-buahan. Sehingga ketika tak panen kopi, penghasilan mereka tetap terpenuhi dari memanen buah-buahan.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :