Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 21 Februari 2020

Hukum Memelihara Burung

Bolehkah memelihara dan menangkarkan burung? Keadaan bumi dulu dan sekarang sudah lain.

Burung dalam sangkar

SETELAH tren batu akik berlalu, dalam beberapa tahun belakangan muncul tren lain: memelihara burung. Orang beramai-ramai memelihara burung dalam sangkar. Seperti juga tren batu akik, tren burung juga mendongkrak bisnisnya. 

Menurut Presiden Joko Widodo, saat menghadiri Festival dan Pameran Burung Berkicau di Kebun Raya Bogor pada Maret 2018, nilai uang di sekitar bisnis burung kicau mencapai Rp 1,7 triliun setahun. “Dihitung dari bisnis penangkaran, sangkar, pakan, obat-obatan,” kata dia.

Konstruksi Kayu

Di antara hal popular seputar burung yang kerap ditanyakan di mesin pencari seperti Google adalah, apa hukum memelihara burung menurut Islam? Ada banyak artikel yang membahas soal ini, mengutip sejumlah ayat Al-Quran, hadis Nabi SAW, dan juga pendapat para ulama.

BACA: Spesies Burung Indonesia Bertambah

Hampir semua seragam mengatakan bahwa tidak ada larangan memelihara burung, karena memang tidak ada hadis atau ayat yang melarangnya. Ada sejumlah catatan dari sejumlah ulama yang mengatakan boleh selama tidak menzalimi binatang-binatang tersebut, seperti memberi makan dan minum dengan cukup.

Saya tidak akan membahas soal hukum memelihara burung. Saya akan memakai fenomena ini untuk memulai pembahasan soal fikih lingkungan.

Apa itu fikih lingkungan?

Fikih artinya adalah pemahaman. Banyak yang salah mengartikan fikih sebagai hukum. Dalam Islam, ada syariat yang berupa aturan-aturan yang diterangkan oleh Allah dan Nabi-Nya. Hal ini bisa kita temui dalam Al-Quran atau hadis (perkataan dan perbuatan) Nabi SAW.

Nah, fikih adalah pemahaman para ulama terhadap syariat. Pemahaman ini bisa berbeda dari satu ulama ke yang lain. Perbedaan ini bisa dikarenakan perbedaan latar belakang budaya, pengetahuan, politik, hingga budaya tempat mereka tinggal.

Misalnya, Imam Syafii yang mazhabnya (aliran) dipakai di Indonesia. Beliau memiliki qaul qadim (pendapat lama) saat dia tinggal di Baghdad, Irak. Ketika pindah ke Mesir, sejumlah pendapatnya berubah dan itu disebut qaul jadid (pendapat baru).

Jika Imam Syafii yang berpindah tempat saja bisa berubah pemahamannya soal hukum, tentu perbedaan waktu yang terpaut jauh antara masa lalu dan kini akan menuntut pemahaman baru. Salah satunya, misalnya, soal zakat. Dalam Al-Quran dan hadis tidak ada zakat untuk penyedia jasa seperti dokter atau sopir taksi. Maka para ulama kontemporer berijtihad membuat pemahaman baru yang sesuai dengan zaman.

Demikian juga dengan masalah lingkungan. Di masa lalu, soal lingkungan hidup memang tidak terlalu menjadi concern fikih, karena lingkungan hidup belum banyak terdampak oleh kehidupan manusia. Namun, di saat ini, ketika terjadi krisis lingkungan, ketika banyak hal berubah oleh tindakan kita, maka pemahaman (fikih) pun bisa berbeda.

Tentu, dasarnya ada. Sejumlah ayat atau hadis yang meminta kita untuk tidak merusak bumi, tidak menganiaya makhluk lain, melakukan perbaikan, merupakan pijakan dasarnya. Artinya, soal hukum memelihara burung, kita tidak bisa hanya memakai pemahaman lama yang cuma melarang jika ada penzaliman terhadap binatang yang dipelihara.

Kita juga harus melihat dampak lingkungan yang ditimbulkan darinya. Tren memelihara burung ternyata punya dampak yang cukup luas. Di antaranya adalah terancam punahnya sejumlah spesies burung yang populer dan mahal. Meskipun ada juga yang berpendapat, memelihara burung justru melanggengkan keberadaannya, jika dipelihara dengan ilmu pengetahuan.

Bagi yang menolak, mereka mengajukan fakta bahwa dampak memelihara burung bukan cuma hilangnya sejumlah spesies, tapi juga ada keseimbangan alam yang terganggu. Allah SWT menciptakan setiap makhluk dengan tugas tertentu, bahkan nyamuk sekali pun, seperti yang Ia firmankan di surat Al-Baqarah. Artinya, hilangnya satu spesies akan berdampak pada terganggunya keseimbangan alam. Jika ini terjadi, apa yang Allah firmankan dalam Surat Ar-Rum ayat 41 akan terjadi:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah membuat mereka merasakan (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Sebelum kita merasakan akibat kerusakan itu, ada baiknya kita jaga bumi ini dan mengasihi sesama makhluk Allah SWT.

Gambar oleh Hundefan dari Pixabay

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Sarjana Hadits Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain