DALAM pelbagai aspek, jamak kita temukan istilah “keberlanjutan”. Kata ini seolah menjadi cita-cita semua orang, semua organisasi, sebagai hasil akhir dari apa yang mereka kerjakan. Pendeknya, keberlanjutan adalah ukuran kesuksesan yang menjadi tolok ukur keberhasilan.
Istilah “keberlanjutan”, yang diterjemahkan dari “sustainability”, pertama kali digunakan di Eropa pada abad 19 yang mengacu pada pengelolaan hutan. Tapi baru akhir 1980-an gagasannya dihubungkan dengan pembangunan.
Ada tiga faktor yang menjadi ukuran dan kriteria keberlanjutan: lingkungan, sosial, dan ekonomi. Tiga faktor itu juga sudah diakui secara ilmiah. Lembaga-lembaga internasional semacam PBB “menginternasionalisasikan” istilah dan gagasan ini untuk banyak hal: penggurunan, mitigasi iklim, manajemen penanganan keanekaragaman hayati.
BACA: Kesalahan-kesalahan Berpikir dan Problem Etis RUU Cipta Kerja
Semua itu sesungguhnya proses politik yang berpusat pada kontestasi pengetahuan dan siapa bisa berbicara untuk siapa. Setelah 30 tahun, uang besar sudah dihabiskan untuk mencapai gagasan keberlanjutan, jaringan berbagai pelaku telah terbentuk, aliansi, lembaga dan organisasi telah dibangun, berbagai proyek telah dijalankan.
Sejauh ini, tinjauan politik dari semua proses itu telah menarik keluar isu-isu konseptual dan literatur lintas-disiplin dalam gagasan “keberlanjutan”, yang kemudian mengerucut pada dua hal. Pertama, “politik pengetahuan”, yaitu bagaimana masalah dibingkai, definisi dan tujuan ditetapkan. Kedua, “politik kepentingan”, tentang bagaimana posisi ditegaskan, kepentingan komersial-politik dikerahkan, dan aliansi untuk atau melawan perubahan dibentuk.
Ian Scoones (2016) dalam The Politic of Sustainability and Development mencontohkan bahwa kelangkaan sumber daya telah dibingkai dalam pemahaman relasional dan politis. Dalam pandangannya, kelangkaan bukan fitur tetap terkait dengan sedikitnya jumlah komoditas dibanding permintaannya, tetapi berupa pola dan kekuatan yang dibentuk melalui proses sosial politik. Kelangkaan bagi seseorang mungkin keberlimpahan bagi orang lain. Sebab kelangkaan pun diproduksi oleh ketidaksetaraan akses akibat kacaunya hubungan sosial, politik, dan ekonomi. Oleh karenanya, gagasan keberlanjutan secara adil penting untuk reframing pembaruannya.
Sejalan dengan itu, literatur keberlanjutan kontemporer bukan fokus pada keberlanjutannya an sich, tetapi pada transformasi untuk mewujudkannya. Untuk itu, Watts dan Peluso (2013), menyarankan kita mencermati tiga rezim berikut dalam isu ini.
Pertama, perlu memahami “rezim kebenaran” dengan memperhatikan kebijakan dan cara membingkainya yang mengatur arah transformasi.
Kedua, rezim kebenaran semacam itu tertanam di dalam apa yang disebut sebagai “rezim pengaturan”, yaitu siapa sedang mengendalikan apa, melalui bentuk-bentuk lembaga.
Ketiga, dalam kondisi negara yang telah dilemahkan, politik transformasi bisa dipahami sebagai “rezim akumulasi”, dengan fokus pada pertanyaan siapa mendapat apa dan bagaimana distribusinya. Dalam hal ini corak kepentingan politik yang mempertahankan status quo akan mendapatkan dukungan politik dari akumulasi laba, baik oleh perusahaan swasta, negara, ataupun elite individu. Ian Scoones mensitir David Harvey (2005) menyebutnya sebagai “akumulasi dengan perampasan” atau penguasaan aset publik oleh pribadi-pribadi untuk mendapatkan keuntungan yang mendorong akumulasi dan meningkatkan ketidaksetaraan sosial.
Hubungan antara tinjauan keberlanjutan dengan mode kekuasaan di atas bisa digunakan untuk menjelaskan, seperti yang dilakukan pemerintah Indonesia saat ini, rumusan omnibus law. Apakah hukum yang hendak memprioritaskan datangnya investasi itu menjadi upaya menuju pembangunan keberlanjutan atau semata-mata hanya sebagai agenda ketiga rezim itu? Sebab faktanya, pendekatan klasik yang hanya menegaskan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan tidak mampu memahami dinamika politik pengetahuan dan politik kepentingan yang menentukan keberlanjutan.
BACA: Omnibus Law: Deregulasi yang Mencederai Reformasi
Di berbagai negara, omnibus law telah menjadi bentuk strategi politik oleh partai dominan melalui bangunan koalisi yang kuat, lebih mudah mewujudkan tujuannya, yang mungkin akan gagal bila dilakukan dengan cara konvensional (Kruitz, 2001). Apabila yang terjadi di berbagai negara itu berlaku juga untuk kondisi politik di Indonesia, kini memang menjadi waktu yang tepat menjalankan agenda omnibus law, karena kuatnya koalisi partai yang sedang berkuasa.
Menghadapi kekuatan politik seperti itu, dalam mencapai pembangunan berkelanjutan, Ian Scoones menyarankan adanya pemilihan dan mobilisasi lebih luas dari luar rezim yang sedang berkuasa—yang disebutnya sebagai “perang posisi”—serta melalui transformasi yang terkait dengan perjuangan politik perdebatan antara non-negara dan warga negara. Disebut non-negara karena kekuatan negara biasanya melemah melalui kombinasi liberalisasi dan penghancuran kapasitas negara. Hal seperti itu disebutnya menciptakan pemerintahan “pasca-politik”, yang semakin didominasi oleh aktor-aktor non-negara, terutama perusahaan besar.
Itu berarti transformasi menuju keberlanjutan bukanlah proses yang dikelola di bawah kendali tertib melalui struktur dan ilmu pengetahuan yang ketat, melainkan perlu melibatkan keberpihakan yang lebih beragam dan berbeda menurut lokasi dan permasalahannya.
BACA: Layakkah Indonesia Disebut Negara Agraris?
Karena itu Scoones menganjurkan tambahan dua faktor baru sebagai penunjang keberlanjutan: tata kelola dan ekologi politik. Kelestarian tak tercapai jika hanya mengacu pada keberlanjutan ekonomi, aspek sosial, dan lingkungan. Ia bisa dikatakan berhasil jika memenuhi aspek tata kelola kelembagaan (governance). Sebab, seperti diuraikan di atas, kelangkaan sumber daya bukan semata soal jumlahnya yang terbatas, tapi ketiadaan akses akibat buruknya tata kelola.
Dengan kata lain, sumber daya alam ditentukan oleh arena politik. Dalam ekologi politik, tumpuannya adalah masyarakat. Dalam konsep baru kelestarian, publik tak lagi dipandang sebagai objek, melainkan subjek yang aktif dan diberi ruang berperan dalam merumuskan keberlanjutan dan terlibat bersama-sama mencapainya.
Apakah omnibus law telah menempuh usaha mencapai lima faktor itu? Saya ragu karena pembahasan rancangannya saja sangat tertutup dan tak terbuka ruang masyarakat terlibat menyusunnya.
Gambar oleh Ajay kumar Singh dari Pixabay
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :