Kabar Baru| 26 Februari 2020
Tepatkah Cukai Plastik untuk Menyelamatkan Lingkungan?
DEWAN Perwakilan Rakyat sudah setuju dengan usulan pemerintah menerapkan cukai terhadap kantong plastik, minuman berpemanis, dan produk-produk yang menghasilkan karbon dioksida. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, pengenaan cukai plastik untuk mengurangi sampahnya. Indonesia, kata Sri, menjadi produsen sampah plastik kedua terbesar di dunia setelah Tiongkok.
“Jadi bagaimana ikan-ikan mati dan binatang di laut mati terkena dampak plastik ini. Kita merupakan negara terbesar yang memproduksi sampah plastik, ini sesuatu yang perlu kita lihat,” ujarnya saat rapat kerja dengan Komisi Keuangan DPR pada 19 Februari 2020.
Tepatkah alasan itu?
Indonesia memang memproduksi 9,6 juta ton sampah plastik pada 2019, 37% dibuang ke laut. Tapi sampah plastik bukan jumlah terbanyak rasio sampah di Indonesia. Sampah plastik hanya 15% dari 68 juta ton sampah yang diproduksi orang Indonesia tahun lalu. Sampah terbanyak justru runtah organik berupa tanaman dan sisa makanan, yang mencapai 60%.
Artinya, sampah plastik bukan ancaman terberat bagi lingkungan, meskipun ia masalah serius jika tak ditangani. Sebab, dengan pengelolaan sampah yang masih centang-perenang, sampah itu bisa merusak lingkungan. Apalagi, sampah di Indonesia hanya 7% yang diolah kembali. Paling banyak ditimbun di tempat pembuangan akhir dan sisanya ditimbun atau dibakar serta dibuang ke sungai.
Problem lingkungan yang berakibat pada krisis iklim adalah emisi yang dihasilkan dari pembakaran. Artinya, sektor energi, baik untuk industri dan transportasi, menempati urutan terbanyak sebagai penghasil emisi. Sektor lainnya adalah degradasi lahan dan deforestasi karena hilangnya penyerap karbon, perumahan, sektor pertanian, peternakan--yang mengkonversi hutan--limbah, dan bagian sangat kecil adalah sampah yang menghasilkan gas metana.
Maka, kendati pengenaan cukai plastik harus disambut karena pemerintah memakai instrumen fiskal dalam menjaga lingkungan, kebijakan itu tak menyasar problem pokok ancaman lingkungan akibat pemanasan global. Kebijakan tepat adalah mengendalikan pemakaian energi yang masih menyumbang 90% pada emisi sektor industri dan transportasi.
Indonesia masih memakai energi batu bara untuk pembakaran sektor industri juga minyak bumi untuk kendaraan bermotor. Besarnya pemakaian minyak itu tecermin dari besarnya angka defisit neraca perdagangan Indonesia yang masih sebesar US$ 3,2 miliar. Dari angka ini impor minyak dan gas menempati urutan terbesar hingga melumat ekspor non migas yang menjadi andalan dagang Indonesia.
Defisit neraca perdagangan membuat nilai tukar rupiah terhadap mata uang lain menjadi loyo. Akibatnya ekonomi Indonesia terus berada dalam tekanan. Cina dan Amerika yang terus bersitegang dalam perang dagang membuat ekspor Indonesia juga melemah karena Cina yang mengonsumsi 40% barang mentah Indonesia mulai mengurangi produksi akibat barang-barang mereka ditolak Amerika.
Maka kebijakan mengendalikan energi tak hanya akan bermanfaat bagi lingkungan tapi juga mendorong ekonomi Indonesia bersaing lebih sehat dalam dunia perdagangan. Jika Indonesia bisa mengurangi ketergantungan pada impor minyak, uang yang keluar untuk membelinya juga berkurang sehingga kekayaan Indonesia tak terus tergerus untuk meladeni kecanduan kita akan minyak bumi.
Sektor transportasi adalah penyumbang terbesar dalam penghasil emisi. Persetujuan DPR atas cukai plastik juga sekaligus pajak untuk produk yang menghasilkan karbon. Tapi keduanya belum jelas. Sri Mulyani mengatakan pemerintah mesti mendesain ulang kebijakan ini agar tak menjadi senjata makan tuan bagi ekonomi Indonesia yang sedang melemah.
Agaknya kebijakan cukai untuk kendaraan bermotor pun tak akan menyasar soal pokoknya. Beberapa kebijakan pemerintah belum mencerminkan pengendalian konsumsi kendaraan bermotor. Penjualan mobil laris, jalan tol terus diperpanjang. Mobil paling laris di Indonesia tahun lalu masih Toyota Avanza, jenis mobil yang berada di luar daftar 10 mobil teririt dalam pemakaian bahan bakar.
Ironisnya, pembangunan infrastruktur yang masif tak diimbangi oleh dukungan pemerintah terhadap moda transportasi yang ramah lingkungan berbahan bakar nonminyak, seperti mobil listrik. Meski teknologinya sudah tersedia yang bisa diproduksi massal, dukungan pemerintah masih setengah hati dalam mendorong pertumbuhannya. Padahal, jika transportasi listrik digenjot--dengan insentif pajak sehingga harganya lebih murah--akan mengurangi secara drastis konsumsi bahan bakar minyak.
Amerika pada awal 1970-an, ketika terjadi embargo minyak dari Timur Tengah, membuat kebijakan yang sekaligus memukul negara-negara yang menutup ekspor minyak ke negara itu. Caranya dengan mendorong industri mobil membuat mesin yang irit bahan bakar, dari 9 kilometer per liter bensin menjadi 11,5 kilometer per liter. Hasilnya, tak hanya merepotkan anggota OPEC, Amerika juga menggoyahkan Uni Soviet yang menjadi eksportir minyak kedua terbesar karena konsumsi bahan bakar Amerika menjadi lebih rendah dibanding sebelum embargo.
Atau Denmark. Negara ini memberlakukan pajak CO2 sejak 1990 untuk semua jenis barang yang menghasilkan karbon. Tiap rumah tangga mendapatkan pajak ini untuk tiap konsumsi listrik. Dulu kebijakan ini dikritik karena Denmark baru saja menemukan cadangan minyak di lepas pantai mereka. Menurut para pengkritik, ekonomi Denmark akan terancam tumbang akibat negara kian agresif memajaki rakyat dan industri dan produksi minyak tak akan terserap karena konsumsinya dikurangi.
Sepuluh tahun kemudian, ekonomi Denmark justru tumbuh jauh lebih pesat. Sebab, uang pajak CO2 itu diinvestasikan untuk membuat energi angin dan matahari yang ramah lingkungan. Pada 2008, "energi surga" (karena sumbernya berada di atas bumi) ini menyumbang 16% terhadap kebutuhan total energi Denmark.
Masyarakat menjadi lebih hemat dan produktif di tengah kelangkaan sumber energi dan pengangguran terserap dengan industri energi baru. Jika pada 1973 sumber energi Denmark 99% berasal dari Timur Tengah, pada 2008 mereka telah menghentikan sepenuhnya impor minyak dan gas dari sana.
Maka jika cukai plastik tak diimbangi dengan investasi ramah lingkungan, ia akan seperti dikhawatirkan Sri Mulyani: memukul industri dan ekonomi karena masyarakat menanggung harga produk lebih mahal karena pengusaha menaikkan harga akibat ongkos produksi barang jadi naik. Sri memperkirakan akibat cukai plastik akan memicu inflasi 0,045%, meskipun ada tambahan pendapatan negara Rp 1,6 triliun.
Jika melihat komposisi sampah, mestinya cukai plastik juga diimbangi dengan insentif bagi industri daur ulang sampah organik atau cukai sampah sisa makanan bagi restoran dan rumah tangga. Dengan cukai ini, sampah organik akan berkurang atau masyarakat terdorong memanfaatkannya. Ada begitu banyak inisiatif anak muda menciptakan industri daur ulang. Tapi dukungan pemerintah berupa keringanan pajak pada proses dan produknya belum masif.
Dus, edukasi kepada masyarakat memilah sampah sejak dari rumah. Kebiasaan mencampur sampah membuat industri daur ulang kelimpungan dengan bahan baku karena mereka harus menambah rantai proses produksi yang bertambah akibat pemilahan sampah sebelum produksi. Dengan sampah yang sudah terpilah dari rumah, bahan baku akan melimpah sehingga mendorong industri daur ulang tumbuh untuk memanfaatkannya. Masyarakat juga akan punya penghasilan baru karena sampah jadi produk ekonomi kendati dipungut cukai terhadapnya.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :