Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 27 Februari 2020

Belanja Online Tak Ramah Lingkungan

Studi terbaru menunjukkan belanja online tak ramah lingkungan. Tapi belanja fisik juga tetap menghasilkan karbon. Kenapa?

Inovasi mencegah sampah nota belanja

PIKIRKAN lagi dugaan bahwa segala hal yang serba online akan menyelamatkan lingkungan. Menurut sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal Environment Science and Technology pada 26 Februari 2020, belanja online tak ramah bagi lingkungan.

Sama seperti produksi emisi dari Kindle atau iPhone jika dibanding dengan produksi emisi buku. Membaca naskah melalui pdf ternyata lebih boros energi ketimbang membaca buku fisik. Tayangan live streaming dua tahun lalu lebih besar dibanding emisi seluruh penerbangan yang menyumbang 4% terhadap emisi global.

Kini belanja online juga dinyatakan membahayakan lingkungan akibat pemakaian energi pengiriman dan sampah pembungkus barang-barang.

Selama satu-setengah tahun para peneliti Ilmu Lingkungan di Radboud University, Belanda, mengamati perilaku belanja orang Inggris dan Amerika Serikat. Ada tiga jenis belanja yang mereka amati: belanja barang di toko konvensional, belanja melalui pesan online lalu menjemput barangnya di toko, dan pesan online lalu pengirimannya memakai transportasi.

Jenis belanja ketiga paling tak ramah lingkungan. Sebab, seperti terungkap dalam penelitian itu, tabiat konsumen ketika belanja online adalah memesan per item. Toko pemilik barang lalu mengepak dan mengirimkannya juga per item. Banyaknya bungkus barang akan menjadi sampah dan makin banyak jenis transportasi yang digunakan: kapal, pesawat, mobil, sepeda motor—hingga barang itu sampai di tempat tujuan.

Belanja fisik di toko konvensional paling rendah menyumbang jejak karbon. Menurut para peneliti, dari 75% semua barang yang diteliti, emisi karbon yang dihasilkan lebih rendah dibanding dua jenis belanja lain. Meskipun, jejak karbon pada jenis belanja ini tetap ada.

Umumnya, masyarakat berbelanja bulanan di toko kelontong atau mal dengan banyak item sekaligus. Karena itu mereka membutuhkan angkutan barang yang besar, seperti mobil van. Jejak karbon jenis belanja ini tetap banyak karena bensin yang dibakar untuk mengangkut barang dari toko ke rumah.

Apalagi, di Indonesia, belanja bulanan acap diselingi dengan jalan-jalan dan jajan yang menghasilkan sampah lain akibat makanan. Apalagi, jika makanan tersebut tak habis. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sebanyak 60% sampah dari 68 juta ton sampah yang diproduksi orang Indonesia adalah sampah sisa makanan. Posisi kedua diduduki sampah plastik sebanyak 15%.

Secara keseluruhan, 63%, pesan online lalu mengambil barangnya di toko memiliki jejak karbon paling rendah. “Jadi jejak karbon dari belanja sangat tergantung kebiasaan konsumen di tiap negara,” kata Sadegh Shahmohammadi, mahasiswa doktoral Radboud University, yang menjadi anggota peneliti kepada CNN.

Perkiraan emisi per unit perangkatn online dan offline.

Penelitian ini muncul seiring dengan berita terbaru dari Jeff Bezos, pemilik Amazon, situs belanja online terbesar di dunia. Ia mengumumkan akan menyumbangkan US$ 10 miliar atau Rp 136,9 triliun untuk mitigasi perubahan iklim. Bezos hendak memodali penelitian dan cara-cara baru untuk mencegah bumi kian memanas akibat aktivitas manusia yang memakai energi tak terbarukan.

Setiap tahun Amazon mengirimkan 10 miliar item ke seluruh dunia melalui pesawat dan truk. Akibatnya, jejak karbon semua barang itu menghasilkan 44,4 juta ton karbon yang setara dengan 587 ribu tanker minyak. Pada September 2019, Bezos mengumumkan hendak memakai 100.000 mobil listrik untuk pengiriman barang demi menuju Amazon bebas karbon pada 2030.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 

Today, I’m thrilled to announce I am launching the Bezos Earth Fund.⁣⁣⁣ ⁣⁣⁣ Climate change is the biggest threat to our planet. I want to work alongside others both to amplify known ways and to explore new ways of fighting the devastating impact of climate change on this planet we all share. This global initiative will fund scientists, activists, NGOs — any effort that offers a real possibility to help preserve and protect the natural world. We can save Earth. It’s going to take collective action from big companies, small companies, nation states, global organizations, and individuals. ⁣⁣⁣ ⁣⁣⁣ I’m committing $10 billion to start and will begin issuing grants this summer. Earth is the one thing we all have in common — let’s protect it, together.⁣⁣⁣ ⁣⁣⁣ - Jeff

A post shared by Jeff Bezos (@jeffbezos) on

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain