Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 09 Maret 2020

Omnibus Law Sudah Berjalan di Industri Kehutanan

Kesalahan utama pemerintah dalam menyusun omnibus law adalah menganggap bahwa melonggarkan berbagai peraturan akan meningkatkan investasi. Padahal, ia menuntut prasyarat—yang luput disediakan sebelum membuat peraturan omnibus.

Ekspor kayu

DALAM percakapan singkat di dalam lift kantor suatu kementerian di Jakarta pekan lalu, seorang kawan berbisik, “Sudah baca peraturan Menteri Perdagangan yang baru? Dampak omnibus law?” Karena harus keluar lift segera, saya hanya bisa menampakkan mimik muka belum membacanya. 

Setelah itu, siangnya, sambil membahas perhitungan kerugian negara akibat tambang ilegal di kantor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di Jakarta, saya tanya sana-sini lewat WhatsApp tentang peraturan itu. Rupanya, peraturan itu adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2020 tertanggal 18 Februari 2020, mengenai ketentuan ekspor industri kehutanan.

Konstruksi Kayu

Dalam perjalanan pulang ke Bogor, saya buka dokumen peraturan tersebut dan ternyata dalam konsideran menimbang disebutkan bahwa aturan ini ingin “memberikan kepastian berusaha dan menyederhanakan prosedur ekspor produk industri kehutanan”. Ciri peraturan-perundangan kita umumnya seperti itu. Azas dan tujuannya melegakan masyarakat, meskipun isinya bertolak belakang.

Maka saya teruskan membacanya dan menemukan dua hal.

Pertama terdapat Tim Koordinasi yang dibentuk Menteri Perdagangan untuk menolak atau menyetujui produk industri kehutanan, apabila diragukan memenuhi kriteria teknis (Pasal 4 dan Pasal 5). Kedua, sebelum produk diekspor harus dilakukan verifikasi atau penelusuran teknis sebelum muat barang, yang dilakukan oleh surveyor yang ditetapkan oleh Menteri Perdagangan (Pasal 6). Pasal-pasal berikutnya, yang berakhir di Pasal 20, berisi hal-hal administratif dan sanksi yang tampak tidak berhubungan dengan pertanyaan kawan saya itu.

Lalu saya lanjutkan membaca lampiran 1 mengenai jenis produk industri kehutanan yang diekspor dan lampiran 2 mengenai kriteria teknis untuk menentukan produk tersebut, serta lampiran 3 mengenai format laporan realisasi ekspor produk industri kehutanan. Di sini saya mulai menafsir, sambil mengirim pesan WhatsApp kawan-kawan yang saya anggap menjadi pelaku-pelakunya, untuk meminta tanggapan.

Pertama, ketentuan mengenai verifikasi legalitas kayu dihapus, kriterianya hanya soal teknis, bukan legal. Karena itu, soal ini perlu dibahas tersendiri berbagai risiko maupun dampaknya. Kedua, setelah saya melihat angka-angka ukuran dan tingkat olahan menemukan bahwa luas penampang maksimum kayu yang bisa diekspor tetap seperti peraturan sebelumnya. Itu artinya, dengan alasan teknis dan finansial, peraturan baru ini tidak ditujukan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan kayu. Di bagian ini seorang kawan pengusaha industri perkayuan membenarkan tafsir saya.

Seorang pengusaha yang lain malah panjang lebar menyoal Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 di atas. Saya diingatkan atas hasil survei akhir tahun lalu, tentang pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 mengenai pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau online single submission (OSS) pada 21 Juni 2018.

BACA: Bisakah Industri Kehutanan Bangkit Lagi?

Survei itu menyimpulkan peraturan tersebut tidak berjalan. Artinya suap dan peras dalam perizinan serta lambatnya pelayanan perizinan masih terjadi. Atas dasar itulah pengusaha ini meragukan peran dan kerja obyektif Tim Koordinasi dan Surveyor, di samping berbagai peran pemerintah daerah dalam perizinan yang cenderung belum berubah.

Pada saat beberapa undang-undang yang disusun dengan metode omnibus nanti berjalan, mungkin peraturan semacam peraturan Menteri Perdagangan ini akan banyak bertebaran. Bila dugaan kawan-kawan saya tersebut benar, kesalahan utama pemerintah dalam menyusun omnibus law adalah menganggap bahwa melonggarkan berbagai peraturan akan meningkatkan investasi. Padahal, ia menuntut prasyarat—yang tak disediakan negara sebelum membuat peraturan omnibus.

Apalagi, dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja—salah satu omnibus yang hendak menyederhanakan perizinan investasi—yang segera dibahas DPR, ada referensi keliru tentang birokrasi. Dalam naskah akademik Rancangan itu disebutkan untuk mengatasi persoalan birokrasi perizinan, ada perubahan sistem dari semula license approach menjadi risk-based approach (RBA). Pendekatan RBA, menurut penulis naskah akademik itu, sudah diterapkan di Inggris dan negara-negara maju anggota OECD.

BACA: Inovasi di Tengah Macetnya Birokrasi

Ketika menulis artikel ini, saya mendapat bahan bacaan dari mas Rimawan Pradiptyo, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada dan pegiat anti-korupsi. Ia mengirim artikel tentang perizinan berbasis risiko, yang menyebut bahwa pendekatan tersebut sebagai kerancuan berpikir omnibus law. Sebab, begitu kesimpulannya, naskah akademik RUU Cipta Kerja acap mengutip konsep risiko tapi literatur yang dirujuknya berbeda bahkan bertolak belakang. Karena itu, penulis artikel tersebut bersaran agar pendekatan berbasis risiko dalam memecahkan persoalan berizin perizinan dalam RUU Cipta Kerja dibatalkan.

Maka jika ada pertanyaan apakah Peraturan Menteri Perdagangan sebagai dampak pertama dari omnibus law? Saya berharap kawan yang bertanya di lift itu membaca artikel ini sebagai jawabannya.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain