Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 10 Maret 2020

Problem Omnibus Law Cipta Kerja dari Segala Segi

Omnibus law RUU Cipta Kerja mengandung banyak problem dalam banyak hal. Dari konvensi hukum hingga pasal-pasal sektoral.

Penduduk hutan adat Tanatoa, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Hutan adat ini telah mendapatkan izin perhutanan sosial dari pemerintah.

KIAN banyak kritik yang tertuju kepada omnibus law, sebuah rancangan peraturan yang bertujuan memampatkan dan menyederhanakan pelbagai aturan yang tumpang tindih. Di Indonesia, omnibus law Cipta Kerja akan dipakai untuk mempermudah investasi. Pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo meyakini bahwa tumpang-tindih aturan itu membuat investasi tak kunjung masuk sehingga ekonomi tak lekas melesat.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja adalah salah satu omnibus law yang rancangannya sudah diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Menghimpun 79 undang-undang yang sedang berjalan, RUU Cipta Kerja berisi 1.224 pasal dengan tebal lebih dari 1.000 halaman.

Konstruksi Kayu

Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (Huma) yang mengkaji RUU Cipta Kerja menemukan beberapa cacat mendasar. Para peneliti di lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada kajian masyarakat adat ini mempresentasikan hasil telaah mereka dalam kertas kebijakan yang dipublikasikan dalam sebuah diskusi di Jakarta Selatan pada 10 Maret 2020.

NAMA

Menurut dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Sumatera Barat, Kurnia Warman, yang menjadi pembicara diskusi, dari segi nama, RUU Cipta Kerja menyeleweng dari konvensi atau pakem pembuatan undang-undang yang selama ini dipakai di Indonesia. RUU Cipta Kerja tak mengacu pada objek yang hendak diaturnya, seperti terlihat pada beleid lain semacam Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Pangan, Undang-Undang Pertahanan.

Nama RUU Cipta Kerja mengacu kepada hasil dan cita-cita atau harapan yang ingin dicapai dari pasal-pasal yang ada di dalamnya, yakni menghadirkan investasi sebanyak-banyaknya. “Sehingga jika investasi tak naik dan lapangan kerja tak tercipta, undang-undang ini bisa dikatakan gagal,” kata Kurnia Warman. “Secara formal dan proses RUU Cipta Kerja tak sesuai dengan undang-undang.”

NORMA

Sistem hukum Indonesia menganut civil law, yakni hukum yang berpedoman pada undang-undang tertulis, yakni konstitusi yang menjadi muara semua aturan. Dalam sistem hukum ini hakim memiliki keleluasaan mencari bukti pelanggaran sebelum memberikan vonis dalam sebuah peradilan pidana.

BACA: Kesalahan-kesalahan Berpikir dan Problem Etis RUU Cipta Kerja

Sementara di negara common law seperti Amerika Serikat, hukum berdasarkan yurisprudensi, atau hukuman yang sudah berlaku atau pernah diberlakukan sebelumnya. Karena itu, di pengadilan Amerika, penilai sebuah kejahatan adalah juri. Hakim hanya memberikan vonis setelah juri—umumnya dipilih dari masyarakat yang dianggap mewakili—menimbang kesalahan seorang terdakwa.

Menurut Koordiantor Riset Huma, Nadya Demadevina, bahkan di Amerika omnibus law dianggap anti demokrasi karena acap ditunggangi kepentingan politik yang menyusup dalam pasal-pasal yang diajukan dalam rancangan sebuah beleid. Dengan waktu yang mepet tapi begitu banyak pasal yang harus dibahas, anggota parlemen dan masyarakat acap luput melihat pasal-pasal selundupan itu.

Karena itu, kata Kurnia Warman, omnibus law di negara dengan sistem civil law dibahas dengan sangat hati-hati. Bentuknya juga bukan berupa satu undang-undang yang menghimpun banyak undang-undang, melainkan berupa “Kitab Hukum”. Undang-undang yang hendak diatur ulang itu dikumpulkan untuk ditinjau dalam harmonisasi hukum. “Misalnya, buku 1 membahas soal kehutanan, buku 2 memuat soal tenaga kerja, buku tiga soal tambang, dan seterusnya, sehingga satu buku dengan yang lain saling menyelaraskan,” katanya.

BACA: Arah Omnibus Law: Amendemen Konstitusi?

Prancis dan Vietnam adalah salah dua negara yang menganut sistem civil law yang membuat “Kitab Hukum” untuk menyelaraskan banyak aturan. Sebab, kata Warman, “sudah dari sononya” negara penganut civil law menjadi produsen aturan untuk tiap jenjang kekuasaan. Bupati berhak membuat aturan, menteri begitu juga, bahkan eselon I hingga camat punya hak membuat aturan. Saking banyaknya, aturan-aturan itu bisa tak selaras bahkan bertolak belakang satu sama lain.

KODIFIKASI

Karena itu, sebagai negara penganut civil law, kata Nadya, penyelarasan hukum di Indonesia seharusnya berupa kodifikasi, tak sekadar penyederhanaan atau harmonisasi aturan. Dalam kodifikasi, pelbagai aturan itu diintegrasikan ke dalam satu kitab hukum sehingga aturan yang tak selaras dan bertentangan bisa diatur ulang. Karena hanya menyederhanakan, kata Nadya, urusan sektoral masih kuat kendati beberapa pasal RUU Cipta Kerja hendak menarik semua kewenangan desentralisasi itu kembali ke pusat.

MASYARAKAT ADAT

Akibat pertama RUU Cipta Kerja yang hanya menyederhanakan, yang paling terasa adalah pengaturan soal masyarakat adat. Tak hanya bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2012 yang menyatakan hutan adat dikeluarkan dari hutan negara, RUU Cipta Kerja bahkan mencantumkan pengertian dan definisi yang beragam tentang masyarakat adat.

Kajian Huma menemukan 72 pasal dalam RUU Cipta Kerja yang menyebut masyarakat hukum adat dengan segala variannya: masyarakat hukum adat, masyarakat adat, masyarakat tradisional, kearifan lokal, hak ulayat, hak tradisional, wilayah adat, wilayah kelola adat, dan seterusnya.

Huma menyimpulkan perbedaan-perbedaan sebutan itu menunjukkan RUU Cipta Kerja bukan undang-undang kodifikasi, tapi hanya mengambil begitu saja urusan adat dari pelbagai undang-undang yang sudah ada dan disusun oleh banyak lembaga pemerintah. “Selama ini masyarakat adat diatur oleh banyak lembaga oleh banyak aturan dengan definisi yang berbeda-beda,” kata Nadya.

BACA: Omnibus Law: Deregulasi yang Mencederai Reformasi

Karena itu, menurut Nadya, RUU Cipta Kerja melenceng dari tujuan yang hendak dicapai pemerintah membuat omnibus law yakni sinkronisasi aturan sektoral untuk mempermudah investasi. “RUU Cipta Kerja gagal menyelaraskan antara dalih dengan kenyataan,” kata dia.

Akibatnya, kata Nadya, alih-alih menjadi solusi, RUU Cipta Kerja tak bisa menyelesaikan problem pelik masyarakat adat, yakni tumpang tindih izin di wilayah mereka, terutama dengan industri yang diberi hak oleh pemerintah mengelola sebuah kawasan. “Bahkan isinya membuat rentan perampasan wilayah adat,” kata Erwin Dwi Kristianto, Deputi Riset dan Advokasi Huma.

Menurut Kurnia, dari terminologi, omnibus berati bus besar yang membawa banyak orang yang berjalan ke tempat tujuan yang sama. Dalam hal omnibus law Cipta Kerja, tujuan itu adalah menggaet sebanyak mungkin investasi. Karena itu, RUU ini akan memangkas apa pun yang menghambat tujuan itu. “Apakah masyarakat adat dianggap punya tujuan yang sama dengan penumpang lain dalam menggaet investasi?” katanya. “Jika tidak, jangan gede rasa dulu.”

Selama ini, kata dia, masyarakat adat dianggap sebagai penghambat investasi karena acap berkonflik dengan industri akibat tumpang tindih izin tersebut. Karena itu, Kurnia menilai, tidak mengherankan jika RUU Cipta Kerja tak punya niat membereskan problem serius ini, yang berimbas pada lingkungan. “Jika seperti itu, perjuangan Huma dalam advokasi masyarakat adat semakin berat,” katanya.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain