Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 17 Maret 2020

Bisakah Kita Mewariskan Keindahan Alam?

Pertanyaan yang menuntut kita segera mengubah gaya hidup yang boros energi, mewah, mahal, dan tak bertanggung jawab kepada alam. Sumber daya adalah kekayaan yang terbatas.

Jalan di hutan

DALAM Kenduri Kebangsaan di Bireun, Aceh, Presiden Joko Widodo mengingatkan bahwa pembangunan sebuah peradaban tidak ditentukan oleh banyaknya kepemilikan materi. Lebih penting ialah kualitas dan sikap orang-orangnya. Saya mengutip pernyataannya yang dimuat di Media Indonesia edisi 25 Februari 2020.

Pernyataan tersebut sangat relevan untuk kita. Karena itu saya memberi judul artikel ini “Mewariskan Keindahan Alam”. Alam yang indah adalah alam yang masih utuh. Hutan, laut, pantai, sabuk bakau, ngarai, adalah komponen-komponen bumi yang memancarkan keindahan jika ia berada dalam kondisi alami.

Matahari terbit yang terlihat dari Penanjakan di Taman Nasional Gunung Bromo Tengger Semeru adalah keindahan alamiah yang amat menakjubkan. Kita melihat rona alam yang luar biasa, dengan Gunung Batok, Gunung Tengger, dan Gunung Semeru, dalam satuan garis lurus.

Atau lanskap hutan alam yang “dilapisi” gelombang pucuk hijau pepohonan hutan hujan tropis dengan tebing jurang dan lembah sungai mengular sepanjang dataran tinggi Kappi yang terlihat jika kita terbang dari Medan ke Takengon di Aceh pada pagi hari. Tempat ini merupakan habitat gajah, badak, harimau terpenting selain Lawe Mamas. Di Lawe Bengkung danau garamnya tempat semua mamalia besar berkumpul. Kelembaban berlumut hutan Ketambe yang menjadi pusat penelitian orangutan, yang tahun depan berusia 50.

Semuanya di Taman Nasional Gunung Leuser. Indonesia masih memiliki 53 taman nasional lainnya yang juga tidak kalah unik dan menakjubkan.

BACA: Para Pembalak Liar Gunung Leuser

Pertanyaannya, akankah semua keindahan alam itu kita wariskan? Dengan kata lain, akankah semua kehebatan alam itu bertahan hingga 100 tahun mendatang?

Pertanyaan hipotetis dan filosofis yang mestinya kita siapkan dari sekarang. Memang menuntut tanggung jawab dan keadilan lintas generasi yang sungguh berat. Barangkali kita mesti membaca dan merenungi lebih dalam apa yang dilakukan Greta Thunberg—gadis Swedia berusia 17 tahun yang memikirkan dampak perubahan iklim global. Ia berjuang dengan cara-cara yang sangat mencengangkan, seperti mengkritik dengan lugas kehidupan mewah-mahal oleh penduduk Swedia.

Pernyataannya yang terkenal dan menyindir banyak pemimpin dunia, yang terdokumentasi dalam buku kecilnya, No One is Too Small to Make a Difference (Pinguin Book, 2019). (Lihat resensi buku ini atau membaca profilnya di sini dan di sini). 

“The political system that you have created is all about competition. You cheat when you can, because all that matters is to win, to get power. That must come to an end, we muust stop competing with each other, we nee to cooperate and work together and to share resources of the planet in fair way”

Sebuah sindiran yang tajam dan tepat sasaran kepada semua politikus yang sebenarnya hanya mementingkan diri dan kelompoknya untuk mendapatkan pengaruhnya melalui power yang ada di tangan mereka. 

Merenungkan hal-hal abstrak tetapi sebenarnya nyata tersebut, mengusik kita pada pertanyaan mendasar: “Mau dibawa ke mana peradaban manusia?” Pertanyaan mendasar yang akan melahirkan pertanyaan lain semacam, “Modernitas yang seperti apa yang akan kita raih?” “Apakah dengan mencontoh negara-negara utara?” “Atau kita memiliki cara sendiri?”

Menurut saya, kita harus menemukan cara sendiri untuk menentukan arah pembangunan manusia dan cara melestarikan alam yang indah. Masyarakat Adat Ammatoa Kajang di Bulukumba, Sulawesi Selatan, memilih hidup dalam rangkulan dan rengkuhan erat hutan adatnya seluas 300 hektare, dengan cara mereka sendiri.

BACA: Kearifan Adat Ammatoa Kajang

Demikian juga dengan masyarakat Badui Dalam. Selaras dengan irama napas yang dialunkan oleh alam semesta. Menyatu dengan alam adalah puncak dari kebahagiaan mereka. Waktu seolah berhenti berdetak di Ammatoa Kajang dan Badui Dalam. Mungkin juga di banyak komunitas adat yang hidup di dalam hutan warisan nenek moyang mereka. Pilihan mereka harus kita hormati dan hargai, sebagaimana pilihan-pilihan hidup dari manusia modern di abad digital saat ini, yang materialistis dalam keriuhan komunikasi tanpa batas.  

Natural capital” adalah istilah yang sedang ramai diperbincangkan oleh pakar dan pemerhati lingkungan. Kapital alami tidak mungkin dibuat oleh manusia. Hutan hujan tropis yang memiliki tajuk pepohonan berlapis-lapis, dengan tingkat keragaman spesiesnya yang sangat tinggi, telah mampu membangun iklim mikro dan mengawal pembentukan material tanah yang subur untuk tumbuh kembangnya banyak mikroba, jasad renik, dan semua asosiasi di antara mereka.

Sekali siklus atau rantai makanan tertutup itu terputus atau sengaja diputus, karena intervensi (eksploitasi) manusia pada skala yang besar, akan menyebabkan perubahan asosiasi dan keterhubungan di antara semua unsur rantai makanan yang sangat rumit dan tali temali antara flora, fauna, dari predator teratas sampai ke binatang melata yang akan meremukkan sisa-sisa makanan menjadi pupuk dan bunga tanah di lantai hutan.

Bagaimana cara mengelola natural capital tersebut agar kelestariannya terjaga?

Pertama, harus menggunakan prinsip kehati-hatian (precautionary principle). Yang paling mudah adalah tidak mengambil pepohonan yang besar, karena ia berfungsi membangun iklim mikro kehidupan di bawahnya. Orientasi pemanfaatan mesti berubah kepada hasil hutan bukan kayu dengan pembatasan yang ketat sehingga bisa kita tahu tingkat pengembaliannya hingga awal ekosistem mereka sebelum kita ambil.

Pengalaman dan pengetahuan ini ada di para peramu, pengumpul, peladang dan masyarakat adat yang berabad-abad mengolah pengetahuan dan kearifan lokal berhubungan dengan alam di sekitar mereka. Karena itu tantangan kita sekarang adalah membatasi eksploitasi berlebihan meski ada permintaan pasar yang besar dan kebutuhan akibat pertambahan jumlah penduduk.

Memenuhi hasrat pasar akan cenderung mengabaikan prinsip kehati-hatian yang telah diterapkan masyarakat adat. Akibatnya, sumber daya akan mengalami penurunan kualitas dan kuantitasnya yang pada titik tertentu tidak akan pernah pulih kembali. Jika kondisi ini terjadi, kita tidak akan bisa mewariskan keindahan alam itu kepada generasi mendatang. Bahkan generasi saat ini akan menerima dampak negatif dari penurunan atau kerusakan sumber daya tersebut.

Mewariskan keindahan alam berarti juga memegang sikap hidup yang disebut dalam bahasa Jawa, “memayu hayuning bawono”—mempercantik bumi yang sudah cantik. Sikap mental ini menunjukkan kepada kita filosofi tentang tujuan hidup manusia di dunia ini yang utama adalah menjaga alam, memanfaatkannya dengan penuh tanggung jawab serta sikap kehati-hatian. Bahkan berusaha membuatnya lebih cantik, semakin indah, bukan malahan merusaknya.

BACA: 10 Cara Baru Mengelola Kawasan Konservasi

Sikap ini hanya bisa kita laksanakan apabila kita memiliki pandangan bahwa manusia itu adalah bagian dari alam. Inilah yang disampaikan oleh Ness sebagai deep ecology, pandangan ecosentrism, bukan antroposentrism. Sikap hidup yang antroposentris adalah sikap yang selalu ingin menaklukkan alam, mengambil apa saja yang ada di alam untuk kepentingan manusia itu.

Greta Thunberg mengingatkan kita agar mau bekerja sama dan berbagi sumber daya. Gaya hidup negara-negara utara yang super mewah harusnya bisa dikendalikan dan diubah. Sebab, kerusakan sumber daya alam bukan semata-mata karena pertambahan penduduk dan kemiskinan, tapi lebih banyak disebabkan keserakahan dan gaya hidup boros oleh sebagian kecil penduduk bumi ini. Kita ingat Gandhi, yang pernah mengatakan bahwa sumber daya di bumi ini sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, tapi tidak akan cukup untuk melayani keserakahannya.

Kutipan Mahatma Gandhi

Agar kita bisa mewariskan “keindahan” alam kepada generasi mendatang, cara hidup kita pun harus segera diubah, untuk lebih hemat, mengurangi sampah, mengurangi plastik, memakai energi bersih sebisa mungkin, berwisata ke alam secara bertanggung jawab, selalu menyadari bahwa sumber daya alam itu terbatas.

Kita masuk ke dalam wilayah kesadaran (consciousness), untuk selalu bersyukur atas nikmat keindahan alam di Indonesia, yang tidak habis-habisnya ditunjukkan oleh Tuhan kepada manusia penghuni bumi ini. “Verba volant scripta manent”.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain