Kabar Baru| 19 Maret 2020
Udara Jakarta di Tengah Wabah Corona
DUA hari setelah pemerintah Jakarta menetapkan anjuran KDR, kerja dari rumah atau work from home, kualitas udara Jakarta mencapai moderat. Air Visual mencatat angkanya 77 pada 17 Maret 2020 siang.
Biasanya, di hari kerja, kualitas udara Jakarta selalu tidak sehat dengan level di atas 100. Berkurangnya kendaraan bermotor di jalan raya ibu kota juga membuat data polutan di bawah 2,5 mikrogram—sangat kecil sehingga bisa tembus masker—(PM 2.5) harian sebesar 24,5 mikrogram per meter kubik atau lebih rendah dari ambang batas yang ditetapkan WHO sebesar 25 mikrogram.
Presiden Joko Widodo dan para kepala daerah menganjurkan masyarakat bekerja dari rumah, tidak bepergian memakai angkutan publik, untuk mencegah penyebaran virus corona—virus flu dari Wuhan, Tiongkok, yang menggerogoti kekebalan tubuh sehingga menaikkan risiko penyakit yang sudah diidap manusia. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga memperpanjang keadaan darurat dari 29 Februari menjadi 29 Mei 2020.
Kementerian Kesehatan mencatat, hingga 17 Maret 2020, ada 134 orang yang terinfeksi virus ini, lima orang di antaranya meninggal, dan delapan orang dinyatakan sembuh. Laporan-laporan dari daerah juga menambah daftar panjang korban virus yang menularnya lebih cepat dibanding wabah SARS pada 2002. Beberapa negara bahkan menutup akses ruang dan fasilitas publik untuk mengurangi sesedikit mungkin penyebarannya.
Virus flu yang gennya identik dengan tenggiling ini diduga berasal dari kelelawar. Pertama menjangkiti Wuhan, virus tersebut kini menyebar di lebih dari 83 negara dengan jumlah orang yang terinfeksi mencapai lebih dari 80.000 orang. Berawal pada September 2019, virus Wuhan mengganas pada Desember. Akibatnya, pemerintah Cina melarang perayaan tahun baru Cina yang dimulai pada 29 Januari 2020.
Biasanya, libur merayakan tahun baru itu selama sepekan. Akibat virus, pemerintah Cina memperpanjang waktu libur hingga sebulan kemudian. Transportasi publik berhenti beroperasi, toko-toko tutup, pabrik-pabrik berhenti bekerja, aktivitas masyarakat sangat dibatasi. Yang paling terasa akibat lockdown itu adalah udara Cina yang jadi bersih.
The Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) yang berbasis di Finlandia merilis laporan karbon yang bisa dikurangi selama masa lockdown itu mencapai 200 juta ton setara karbon dioksida (CO2). Angka ini sebesar 25% seluruh karbo yang diproduksi Cina pada 2019 dan setara 6% emisi global tahun lalu—lebih tinggi dari seluruh emisi yang dihasilkan pesawat selama setahun. Pengurangan emisi paling banyak berasal dari berhentinya mesin industri.
Selama ini Cina paling banyak menghasilkan emisi akibat industrinya masih banyak yang memakai bahan bakar minyak dan batu bara. Carbon Brief menghitung sepuluh hari setelah perayaan tahun baru Cina, emisi yang bisa dikurangi dari sektor industri saja mencapai 50%. Aktivitas industri belum sepenuhnya pulih setelah penutupan itu.
Meski emisi berkurang, para ekonom memperingatkan bahwa emisi akan naik dua kali lipat setelah virus flu Wuhan berlalu. Soalnya, industri akan menggenjot produksi lebih masif untuk menutup hilangnya pendapatan akibat penghentian mesin mereka. Tak hanya di Cina, negara-negara lain yang juga menghentikan aktivitas masyarakat akan kembali membakar energi yang menghasilkan banyak emisi.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :