NIAT memberikan stimulus ekonomi sebagai upaya tanggap virus corona Covid-19, pemerintah justru menjatuhkan nilai produk industri kehutanan dan memperbesar keran kayu ilegal. Pada 13 Maret 2020, Kementerian Koordinator Perekonomian mengumumkan sejumlah stimulus ekonomi kedua untuk menangkal dampak serangan virus dari Wuhan itu. Stimulus yang diberikan mencakup stimulus fiskal dan non-fiskal.
Salah satu stimulus non-fiskal adalah menghapuskan “v-legal” sebagai dokumen prasyarakat ekspor produk industri kehutanan. Tujuannya memberikan dorongan terhadap kegiatan ekspor-impor. Ada 306 kode HS pada produk ekspor industri kehutanan yang terdampak kebijakan itu melalui Peraturan Menteri Pedagangan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan (Permendag 15/2020) pada 18 Februari 2020.
V-legal merupakan tanda atau dokumen yang membuktikan bahwa produk kayu telah memenuhi ketentuan verifikasi legalitas kayu. Berdasarkan Permendag 84/2016, dokumen v-legal menjadi prasyarat administratif ekspor produk kayu. Artinya tanpa adanya v-legal, produk kayu tak dapat keluar dari pelabuhan Indonesia secara legal.
BACA: SVLK Dihapus Demi Apa?
Kehadiran verifikasi legalitas kayu tak dapat lepas dari sejarah kelam industri kehutanan di Indonesia. Memuncak pada awal 2000an, pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal menjadi topik utama yang menempatkan Indonesia sebagai sorotan utama berbagai pihak—pemerintah, organisasi masyarakat sipil, pelaku usaha, dan pihak internasional.
Deklarasi Bali pada 13 September 2001 mengenai Penegakan Hukum dan Penatakelolaan Hutan jadi tanda perlawanan terhadap pembalakan liar dan perdanganan kayu ilegal di Indonesia saat itu. Selama periode 1990-2001 tercatat laju deforestasi di Indonesia mencapai dua juta hektare per tahun. Angka deforestasi tersebut dua kali lipat dibanding periode sebelumnya.
Sebagai tindak lanjut Deklarasi Bali, Indonesia mengadopsi rezim sertifikasi. Dengan melahirkan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK), kini sertifikasi ini wajib bagi seluruh pelaku usaha yang mengelola produk kayu. Perlu ditegaskan bahwa SVLK bukanlah soal ekspor atau perdagangan semata, tetapi ikhtiar perbaikan tata kelola hutan.
Uni Eropa sebagai salah satu negara konsumen produk kayu ikut mendorong penerapan SVLK di Indonesia. Hal ini ditandai dengan adanya kemitraan sukarela (voluntary partnership agreement—VPA) antara Indonesia dengan Uni Eropa mengenai penegakan hukum kehutanan, penatakelolaan, dan perdagangan produk kayu ke Uni Eropa.
VPA ini diratifikasi dalam Perpres 21 Tahun 2014. Lalu pada 2016, setelah melewati proses negosiasi panjang dan a lot, Uni Eropa memberikan lisensi FLEGT (forest law enforcement, governance, and trade) kepada Indonesia. Sebagai bentuk pengakuan atas SVLK. Benefit bagi Indonesia, sampai saat ini produk kayu Indonesia dapat akses hijau ke Uni Eropa dengan harga premium.
Sejak Indonesia menerapkan SVLK, bukan hanya Uni Eropa beberapa negara lain juga mengikatkan komitmennya dengan Indonesia. Salah satunya Australia, komitmen Indonesia dengan negara ini memberikan kemudahan bagi produk kayu untuk tidak lewati proses uji tuntas saat masuk Australia.
Pemberlakuan SVLK sejak awal menyasar pelaku usaha pada tingkatan hulu dan hilir. Hal ini untuk memastikan bahwa tidak ada celah bagi kayu ilegal. Jika sertifikasi hanya bagi pelaku usaha pada tingkatan hulu, maka kayu ilegal akan mudah masuk ke industri lanjutan tanpa diketahui. Atau jika hanya berlaku pada pelaku usaha pada tingkatan industri hilir tapi tidak berlaku pada eksportir, maka kayu ilegal akan mudah disusupkan pada saat pengiriman barang.
Jangankan tanpa adanya kewajiban v-legal saat ekspor, dengan adanya dokumen v-legal saja cukong masih bisa memanipulasi laporan dan menyusupkan kayu ilegal. Laporan investigasi bersama majalah Tempo dan Auriga pada akhir 2018, menemukan sejumlah indikasi pemalsuan tanda v-legal dan dokumen angkut kayu. Pemalsuan dilakukan oleh industri pengolahan. Mereka menyusupkan kayu ilegal, dan melaporkannya seolah legal. Beberapa diantaranya tertangkap basah oleh Gakkum KLHK di Makasar, dan telah diproses hukum.
Bukannya menambal bolong SVLK, Kementerian Perdagangan sebagai salah satu implementator malah memperlebar bolong tersebut. Dengan dalih stimulus ekonomi. Padahal jika pemerintah mau saja melirik realisasi nilai ekspor produk kayu Indonesia, stimulus ini justru tidak tepat.
BACA: SVLK Tulang Punggung Perdagangan Kayu
Sejak berlakunya SVLK, nilai ekspor terus naik dari tahun ke tahun. Pada 2018 nilai ekspor produk kayu Indonesia mencapai US$ 12,1 miliar, atau 50% lebih tinggi dibanding nilai ekspor tahun 2013. Bahkan hingga 19 Maret 2020 nilai eksport produk kayu sudah mencapai US$ 2,6 miliar. Nilai tersebut, belum dijumlahkan dengan kebocoran akibat praktik under-pricing atau akibat manipulasi dokumen ekspor produk kayu (Prakarsa, 2019; Majalah Tempo, ed. 1/2/2020). Sangat mungkin nilainya akan jauh lebih besar dibanding yang ada saat ini.
Lagi-lagi dalam rangka stimulus ekonomi, pemerintah yang harusnya menambal kebocoran ekspor, malah memperlebar kebocoran tersebut dengan menghapuskan v-legal. Bukan hanya itu, stimulus yang dimaksud pemerintah juga berpotensi merusak harga produk kayu Indonesia terutama di pasar Uni Eropa. Apalagi ditiadakannya v-legal sebagai prasyarakat ekspor produk kayu jelas bertentangan dengan VPA Indonesia dengan Uni Eropa.
Perlu ditegaskan bahwa dampak penghapusan v-legal sebagai syarakat administratif ekspor tidak hanya terhadap 306 kode HS, tetapi seluruh kode HS produk kayu. Karena tidak ada lagi pengaturan perihal ekspor produk kayu selain Permendag 15/2020.
Pemerintah perlu mempertimbangkan lagi Permendag 15/2020 ini, sebelum telanjur menjadi pedoman perdagangan produk hasil hutan. Dalam situasi ekonomi yang tidak baik ini, stimulus-stimulus ekonomi yang dimunculkan harus penuh pertimbangan. Jangan sampai stimulus, justru membuat jurang ekonomi. Kecuali stimulus ini hanya akal bulus muluskan kayu ilegal.
Gambar oleh Reijo Telaranta dari Pixabay.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Senior Forest Campaigner Greenpeace Asia Tenggara. Sebelumnya, peneliti di Yayasan Auriga
Topik :