APA yang berubah setelah hutan produksi seluas 60 juta hektare dieksploitasi sejak tahun 1970-an dan rusak lebih dari separuhnya? Apa yang berubah saat ini dalam reboisasi dan rehabilitasi hutan serta lahan yang dilakukan sejak 1961? Apa yang berubah dalam pembangunan di Aceh setelah tsunami 2004? Adakah pembelajaran dalam menyusun kebijakan publik setelah penyebaran Covid-19 ini berakhir?
Hampir semua persoalan yang kita hadapi menuntut kita membuat solusi. Secara ideal, solusi itu semestinya ditetapkan berdasarkan tinjauan fakta dan masalah yang benar. Ilmu pengetahuan dan pengalaman sangat berguna untuk mengungkap fakta dan analisisnya agar solusi itu berguna dengan mengatasi masalah yang benar, bukan membuat solusi dengan keliru mendeteksi masalahnya. Sebab, solusi tidak begitu memerlukan pemikiran mendalam ketika masalahnya sudah diketahui.
Albert Einstein, ilmuwan tersohor itu, sekali waktu ditanya: Apabila ia mempunyai 1 jam untuk menyelamatkan dunia, bagaimana memanfaatkan waktu tersebut? Ia mengatakan: “Saya akan menghabiskan 55 menit untuk merumuskan masalah dan 5 menit untuk membuat solusinya.”
BACA: Dunia Setelah Virus Corona
Kini yang terjadi sebaliknya. Banyak orang, tak hanya peneliti, mengeluh bahwa ilmu pengetahuan mereka, hasil analisis data, pengalaman di lapangan bertahun-tahun, komparasi dari berbagai negara, diabaikan ketika disampaikan kepada para pengambil kebijakan. Banyak orang juga punya anggapan bahwa berbagai kejadian penting dapat menjadi pembelajaran, banyak kata-kata bijak yang dapat membangkitkan inspirasi dan inovasi, bahkan ancaman dosa dan neraka bila membuat kebijakan yang merugikan banyak orang, tetap saja semua itu tidak bernilai dalam pembuatan atau perbaikan kebijakan.
Jika kita memakai pendekatan “ilmu politik pengetahuan”, dari turunan ilmu kebijakan dan ilmu politik, kenyataan seperti itu lebih mudah dipahami. Pendekatan politik pengetahuan menjelaskan bahwa di dalam struktur otoritas kebijakan, seperti di kementerian, lembaga ataupun pemerintah daerah, ilmu pengetahuan berperan hanya apabila sesuai dengan kepentingan politik mereka saja.
Saya pernah mencatat hasil perbincangan dengan 207 orang pada 2016 hingga 2018, untuk mengetahui dari mana para pembuat kebijakan mendapat pengetahuan sebagai dasar penetapan atau perubahan aturan yang mereka buat. Para informan itu berkedudukan sebagai eselon 1, 2 dan 3 atau staf dari berbagai kementerian dan pemerintah daerah. Kebijakannya di seputar bidang kehutanan, perkebunan, pertanahan maupun lingkungan hidup.
Jumlah sumber inisiatif penetapan atau perubahan kebijakan yang berjalan di pusat berturut-turut dari yang terbanyak yaitu: instruksi atasan (26), regulasi (19), cara pikir sendiri (15), pemikir dari lingkaran internal (13), politik makro/arahan presiden (12), korban langsung kebijakan (12), kelompok penekan dan media (6), jurnal, publikasi ilmiah (4).
Adapun sumber inisiatif penetapan atau perubahan kebijakan di provinsi berturut-turut dari yang terbanyak yaitu: regulasi yang sering disebut "tekanan" pusat” (35), cara pikir sendiri/penjabaran instruksi atasan (17), korban langsung kebijakan/mitra usaha (15), politik makro/arahan gubernur (10), instruksi atasan/insidental (10), pemikir dari lingkaran internal (8), kelompok penekan, media (4), jurnal, publikasi ilmiah (1).
Dari semua sumber informasi tersebut menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan dari hasil kajian atau penelitian yang dipublikasikan di berbagai jurnal sangat kecil peranannya. Hal itu karena fokus sumber pengetahuan, misalnya untuk bidang-bidang kehutanan, pertanian, kesehatan, maupun teknologi, umumnya terbatas pada pengetahuan teknis.
Para pengambil kebijakan sering kali membuat “model rekayasa kebijakan” sebagai argumen pernyataan pendapatnya. Dengan cara pandang seperti itu, mereka telah lama menghadapi paradoks, yaitu walaupun banyak pengetahuan yang relevan dengan kebijakan, penggunaannya hanya sedikit yang mempengaruhi ranah pengambilan keputusan.
Dalam “The political use of knowledge in the policy process” di jurnal Policy Science (2015), Falk Daviter menyatakan bahwa ilmu pengetahuan terikat atau ditentukan batasannya oleh struktur lembaga negara. Ilmu digunakan oleh pembuat kebijakan hanya apabila mendukung perluasan otoritas dan kontrol mereka. Maka bisa diperjelas di sini, dari sisi penguasa, politik pengetahuan arahnya untuk mendukung posisi kebijakan yang telah ditentukan. Penggunaan politik pengetahuan juga sebagai strategi melegitimasi keputusan kebijakan yang sebelumnya telah dibuat.
Untuk itu para pembuat kebijakan biasanya menghargai ilmu pengetahuan bila ada kontribusi dalam pelaksanaan kontrol kepentingan politiknya. Epistemologi organisasi, tugas-tugas dan fungsi yang terfragmentasi, menentukan apakah ilmu pengetahuan digunakan atau tidak. Ilmu pengetahuan mengenai resolusi konflik, misalnya, tidak akan didengar oleh unit kerja yang tugasnya hanya menanam pohon, meskipun penyelesaian konflik itu menentukan keberhasilan rehabilitasi lahan yang menjadi pekerjaan mereka.
Dalam kondisi berbeda, yaitu ketika terdapat banyak informasi dari berbagai ilmu pengetahuan, minat teoretis birokrasi akan bergeser dari produksi dan diseminasi penggunaan ilmu pengetahuan menjadi penyaringan dan mobilisasi pengetahuan yang relevan untuk kebijakan yang akan mereka buat. Ilmu pengetahuan alternatif akan disingkirkan.
Maka, fungsi inti lembaga negara dalam proses kebijakan adalah untuk menyediakan filter persepsi dan pilihan informasi bagi penetapan kebijakan serta ketetapan mengenai cara menafsirkannya. Para ahli menyebut ilmu pengetahuan adalah produk dari proses politik dan birokrasi. Dengan kata lain, organisasi birokrasi dan politik memperoleh, menafsirkan, dan mengevaluasi informasi berdasarkan pada konvensi pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Informasi yang bertentangan dengan tujuan lembaga tersebut biasanya ditekan atau ditolak.
Jadi, apakah kita masih berpikir kebijakan yang buruk akibat kurangnya ilmu pengetahuan dan penelitian ilmiah?
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :