Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 09 Agustus 2020

Pengalaman Terinfeksi dan Sembuh dari Covid-19

Pengalaman Wakil Ketua Ombudsman Lely Pelitasari Soebekty sembuh dari infeksi virus corona Covid-19. “Jangan lengah, ini virus bandel,” katanya.

Kunjungan Kepala Rumah Sakit Bhayangkara yang merawat pasien Covid-19.

SETELAH Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dinyatakan positif terinfeksi virus corona Covid-19 pada 14 Maret 2020, semua pimpinan kementerian dan lembaga negara diminta untuk tes. Saya dan pimpinan Ombudsman yang lain menjalani tes pada 20 Maret 2020. Hasilnya keluar empat hari kemudian. Dokter menelepon bahwa saya dinyatakan positif. Belakangan saya baru tahu bahwa dari tujuh pimpinan Ombudsman yang dites, hanya saya dan Bu Ninik Rahayu, anggota Ombudsman, yang dinyatakan positif.

Dokter bertanya apa yang saya rasakan selama ini. Saya jawab tidak ada gejala sakit apa pun. Empat gejala infeksi virus corona adalah demam tinggi, batuk kering, sesak napas, dan lemah lunglai. Kadang juga diawali dengan diare. Tak satu pun gejala corona itu saya rasakan. Suhu tubuh saya ketika itu juga di bawah 370 Celsius. Suhu tubuh sangat normal.

Konstruksi Kayu

Memang ada gejala ringan pada malam sebelum hasil tes diumumkan, yakni badan agak meriang dan tenggorokan gatal. Tapi itu tidak lama. Membaik esok harinya. Karena itu dokter menyarankan saya menjalani isolasi mandiri di rumah. Baru ke rumah sakit jika ada gejala makin parah.

BACA: Cerita Mahasiswa Indonesia Terkurung Wabah Corona di Cina

Untuk mencegah gejala sakit corona meningkat, saya setuju ke rumah sakit. Saya dan Bu Ninik direkomendasikan ke Rumah Sakit Bhayangkara Brimob di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Rumah sakit ini baru saja jadi rujukan rumah sakit untuk merawat pasien covid-19. Jadi kami berdua termasuk angkatan (batch) pertama yang masuk ke rumah sakit ini sebagai pasien covid-19. Total ada sembilan orang yang dirawat karena positif corona. Saya sekamar dengan Bu Ninik Rahayu.

Walaupun judulnya dirawat di rumah sakit, tapi pada prinsipnya tetap merupakan isolasi mandiri, karena—menurut dokter—belum ada obat untuk virus corona ini. Dokter hanya memberikan tiga jenis antibiotik dan beberapa obat yang sifatnya preventif. Obat hanya dimakan ketika gejala muncul. Juga suplemen vitamin C dan B1. Selebihnya kami mengonsumsi beberapa suplemen lain seperti madu, VCO, habbatussauda. Suplemen ini kami bawa sendiri dan dokter tidak keberatan.

Kegiatan sehari-hari selama isolasi bisa dibilang wajar saja. Pagi dan sore kami berolahraga, berjemur jam 10 pagi dengan memanfaatkan sinar matahari yang masuk melalui jendela, makan dan minum secara rutin, ibadah, berdoa, membaca, dan tidur cukup. Makan tiga kali sehari. Dokter berkunjung sehari sekali. Suster dan dokter, juga petugas kebersihan, masuk ke ruangan kami memakai alat pelindung diri lengkap.

Pemeriksaan darah (Dok. Lely Pelitasari Soebekty)

Untuk memudahkan komunikasi antar pasien dan paramedis serta mencegah risiko penularan terhadap perawat karena intensitas masuk ruang perawatan, kepala perawat membuat grup WhatsApp yang berisi pasien-pasien serta paramedis.

Saya juga masih tetap rapat dengan kolega dan tim kerja di kantor secara online. Jadi tidak ada yang berubah. Saya tidak terlalu merasa bosan karena mungkin sekamar berdua. Kami saling menyemangati.

Sekali waktu, pikiran saya agak rungsing karena memikirkan sebuah masalah. Saya merasa meriang dan terbangun malam-malam. Tenggorokan juga agak gatal. Ketika dicek, ternyata suhu tubuh normal seperti biasa, 370 Celsius. Selama masa karantina itu, suhu tubuh saya tak lebih dari 37,20 C. Jadi apa yang menyebabkan meriang itu?

Pikiran sadar saya mengatakan bahwa saya harus melawan kondisi ini. Saya buru-buru menyeduh air panas dan mencampurkannya dengan madu. Lalu minum satu gelas penuh. Setelah itu kumur air garam. Saya menata pikiran kembali dan berdoa. Alhamdulillah, bisa tidur dan ketika bangun saya berkeringat. Meriang hilang dan tenggorokan tidak gatal lagi.

Apa yang saya rasakan ternyata juga sama dirasakan oleh Bu Ninik. Ia beberapa kali merasakan gejala (agak meriang dan sedikit sesak di dada). Segera kemudian dilawan dengan air hangat atau berbaring.

BACA: Fungsi Masker untuk Mencegah Virus Corona

Jadi, mungkin ini sugesti karena saya tak tahu teorinya. Tapi, virus corona ini mungkin benar menyerang kekebalan tubuh. Imunitas kita drop ketika pikiran kita tidak jejek dan semangat untuk sembuh menurun.

Gejala virus ini sangat ringan, tapi tidak berarti kita boleh menganggap enteng. Sebab ketika kita mengabaikan gejala tersebut, saat itulah virus menyerang. Ketika kita menganggap enteng, kita akan abai dengan gejala, padahal ketika itu virus sedang menggerogoti pertahanan tubuh kita.

Ingatan untuk tidak lengah juga datang dari wakil kepala rumah sakit. Saat berkunjung ke ruangan, beliau cerita bahwa pasien di ruang sebelah meninggal padahal pagi sebelumnya masih bugar dan berolahraga. Malamnya ia meriang dan paginya sudah tiada.

Setelah meriang malam-malam itu, saya tak pernah absen minum madu hangat dan percaya tubuh saya kuat antara lain karena itu. Walhasil, kami saling mengingatkan dan menghibur saja jika salah satu dari kami mengalami gejala. Sungguh, saya bersyukur kami bisa ditempatkan satu kamar. Mungkin lain cerita jika kami diisolasi sendiri. Bisa jadi semangat sembuh mungkin tidak akan setinggi ini.

Bersama Bu Ninik Rahayu (kiri), teman sekamar di Rumah Sakit Bhayangkara Depok (Dok. Lely Pelitasari Soebekty)

Itu juga kesimpulan dari dokter yang merawat kami. Ia bercerita tentang seorang pasien (konon pejabat di satu instansi) berstatus pasien dalam pemantauan (PDP) yang kehilangan semangat untuk sembuh. Ia murung sejak dinyatakan positif terinfeksi virus corona. Akibatnya imun tubuhnya merosot dan virusnya menyerang lebih leluasa. Bagi para dokter, kondisi ini tentu akan membuat proses penyembuhan lebih sulit. Karena itulah mungkin setiap berkunjung, dokter dan perawat lebih banyak memberikan dukungan agar kami terus bersemangat untuk sembuh. 

Dalam satu kunjungan dokter, saya sempat ditanya riwayat pertemuan saya dengan orang lain dalam 14 hari sebelum tes. Dokter ingin tahu sumber penyebaran virusnya. Secara rinci saya jelaskan dengan niat membantu rumah sakit melakukan tracing.

Meski sebulan terakhir saya tak keluar Jakarta, saya memang bertemu dengan banyak orang, berinteraksi dengan kolega di kantor, mengantar keponakan ke rumah sakit untuk pemeriksaan dokter, dua kali menengok teman yang sakit di rumah sakit, dan, ya, ada rapat dengan seorang kolega yang baru pulang dari luar negeri.

BACA: Makin Banyak Pasien Corona Sembuh

Sewaktu rapat kami tidak tahu bahwa ada peserta yang baru pulang dari luar negeri. Esoknya saya baru tahu bahwa teman itu baru tiba dari luar negeri dua hari sebelum kami rapat.

Sesuai prosedur, begitu kami dinyatakan positif, seluruh anggota keluarga yang tinggal serumah dan pegawai di kantor yang berinteraksi dengan saya dan Bu Ninik, juga dites. Alhamdulillah rapid test pertama terhadap sembilan orang anggota keluarga saya dan lima orang anggota keluarga Bu Ninik hasilnya negatif. Demikian juga rapid test terhadap 100 pegawai di kantor, termasuk sekretaris yang berada satu ruangan dengan saya. Semua hasilnya negatif. 

Mereka juga telah menjalani tes kedua setelah 14 hari. Keluarga Bu Ninik dan 100 pegawai kantor menjalani tes dan hasilnya negatif. Sedangkan anggota keluarga saya menjalani tes swab dan hingga tulisan ini dibuat masih menunggu hasilnya. Sementara lega juga ternyata saya tak menulari orang lain. Soal siapa yang menulari saya, sampai sekarang belum terlacak.

Setelah dua kali swab ulang, saya dan bu Ninik dinyatakan sembuh pada 8 April 2020 dan dibolehkan pulang. Tapi selama 14 hari ke depan masih tetap harus menjalani isolasi mandiri di rumah. Saya tidak tahu virus ini benar-benar sudah musnah atau belum dari tubuh saya. Dari pelajaran yang saya petik selama di rumah sakit, saya menyimpulkan virus corona adalah virus yang bandel. Ia menyerang ketika kita sedang lengah dan mental kita turun.

Sebelum pulang dan dinyatakan sembuh dari Covid-19, 8 April 2020 (Dok. Lely Pelitasari Soebekty)

Karena itu isolasi 14 hari setelah dari rumah sakit menjadi sangat penting. Sejalan dengan informasi dari dokter, secara teori masa aktif virus ini totalnya 28 hari.

BACA: Dunia Setelah Virus Corona

Jadi, sekarang saya di rumah. Merasa sehat dan menjalani isolasi. Corona juga telah mengingatkan saya tentang keseimbangan hidup, antara bekerja, beribadah, makan, tidur dan olahraga.. Jika kita sakit ikhtiar itu wajib, tawakal akan takdir itu harus.

Untuk masyarakat dan pasien yang masih isolasi, ayo semangat. Insya Allah virus ini bisa kita lawan jika kita bersemangat, tidak banyak pikiran buruk, dan percaya bahwa kita lebih kuat dari mereka.

Salam sehat untuk semua.

* Seperti dituturkan kepada Forest Digest pada 11 April 2020.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Wakil Ketua Ombudsman Indonesia

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain