Kabar Baru| 15 April 2020
Mengenang Rachel Carson, Penulis Silent Spring
RACHEL Carson percaya bahwa kesehatan manusia merefleksikan keadaan lingkungan. Jika dunia modern direpotkan oleh mewabahnya virus-virus ganas, ia menunjukkan bahwa lingkungan kita tak sedang baik-baik saja. Penyakit, virus, kuman, akan muncul menginvasi ruang hidup manusia karena mereka kehilangan rumah akibat habitat yang rusak.
Perusak lingkungan itu adalah manusia. Rachel Carson menginvestigasi ulah kita itu dan menuliskannya dengan liris dalam buku yang membuat kita paham bahwa ilmu pengetahuan bisa memprediksi masa depan: Silent Spring. Buku ini terbit pada 1962, dua tahun sebelum Carson wafat pada hari ini, 14 April, di usia 56. Pada zamannya, Silent Spring memicu debat panas di kalangan ilmuwan, pebisnis, hingga politikus Amerika.
Dunia waktu itu sedang menikmati masa kebebasan dan kemajuan ekonomi seusai Perang Dunia II dan terjebak dalam Perang Dingin yang memperebutkan pengaruh kapitalisme di Barat dan komunisme di Timur, dengan saling ancam dalam industri bom atom. Amerika sedang merayakan kapitalisme. Carson mencatat produksi pestisida sintesis di sana naik 5 kali lipat pada 1960 dibanding pada 1947. Industri, pertanian, peternakan, perikanan, sedang digenjot untuk memenuhi hasrat menjadi negara adidaya.
Maka kritik dan kecemasan Carson diragukan di mana-mana. Tidak hanya karena ia tak punya gelar doktor bahkan profesor di universitas terkenal yang menjadi kriteria ilmuwan yang diakui, yang paling pokok adalah karena ia perempuan. Perempuan yang menggeluti ilmu yang tak populer: biologi kelautan.
Amerika tahun 1960-an adalah Amerika yang masih rasialis. Perempuan, betapa pun perannya penting dan dicatat dalam sejarah negara itu, ia masih tersisih atau disisihkan dalam peran-peran publik. Maka tulisan-tulisan Carson dicibir di mana-mana hingga Presiden Kennedy menengahi perselisihan itu dengan menurunkan sebuah tim untuk mengecek temuan-temuan Carson dalam Silent Spring.
Hasilnya memang memicu lahirnya lembaga-lembaga pemantau lingkungan, pakta-pakta dan diskusi global tentang masa depan planet ini. Makin banyak orang tertarik pada ilmu biologi, seperti dicatat Edward O. Wilson yang menulis kata penutup untuk buku ini dalam edisi perbaruan pada 2002. Tapi, kita tahu kini, peringatan-peringatan Carson tak banyak digubris.
Silent Spring tak hanya liris dan memikat dalam menuturkan pikiran dan argumen Carson. Lebih dari itu ia berangkat dari temuan di lapangan. Carson meneliti dampak obat kimia dalam mendongkrak produksi pertanian, perikanan, peternakan terhadap lingkungan. Ia menunjukkan dengan telak kerusakan begitu nyata akibat DDT terhadap hewan air, satwa tanah, bahkan burung-burung di udara.
Ia mengukur kadar polutan dan zat kimia di sungai-sungai Alabama, di pesisir pantai Florida, dan mencatat kerusakan dan hilangnya mikroorganisme di dasar-dasar sungai, di dalam tanah yang membuat suhu udara dan ekosistem tak lagi seimbang. Pada akhirnya semua tragedi itu akan membuat manusia sakit dan merana. “Di masa depan ini akan memungkinkan plasma kuman berubah secara by design,” tulisnya.
Maka ia menyodorkan istilah yang tepat untuk obat-obat kimia penyubur tanah itu. Ia menolak istilah “insektisida” yang dipakai ketika itu untuk obat pembasmi hama dan serangga. Carson mengusulkan istilah baru: “biosida”, yang bermakna racun pembunuh semua bentuk kehidupan. Kita tahu, siapa yang menang dalam pertarungan wacana itu kini.
Tapi, kini kita juga menyaksikan apa yang diramalkan Carson sungguh-sungguh terbukti. Polusi udara yang membuat suhu bumi naik, pencemaran tanah, polusi air, adalah problem-problem pelik yang dihadapi dunia modern akibat manusia terus menerus mengeksploitasi sumber daya alam demi ekonomi, demi hasrat peradaban.
Racun dan suhu udara yang naik akan membunuh ganggang di laut Pasifik membuat tiram kehilangan pakan sehingga burung-burung yang memangsanya menjadi sakit. Mereka menularkan virus ke hewan laut lain ketika bermigrasi mencari pakan di samudra lain. Hewan berpenyakit itu kemudian dimangsa manusia dan lahirlah pandemi.
Pemanasan global hanya dampak lain dari menyusutnya keanekragaman hayati di planet ini yang memicu mutasi gen, membangkitkan virus-virus yang kehilangan inang. Pada akhirnya, kata Carson, ulah kita itu akan berbalik kepada manusia sendiri.
Segala polusi dari atas dan bawah itu akan kian melemahkan sistem alamiah kekebalan tubuh manusia. Organ manusia telah didesain membunuh kuman dan virus dalam tubuh sehingga kita bisa menang melawan penyakit. Ketika kekebalan itu menurun, virus yang makin kuat karena mutasi akibat zat kimia, akan menyerang dengan mudah sistem pertahanan kita.
Dari judul bukunya ini saja, Carson telah mengingatkan bahwa planet tak akan lagi seindah dibanding setelah kita mendesain kerusakan alam demi keserakahan. Burung-burung tak akan terdengar bernyanyi lagi ketika pagi. Suara-suara hewan liar akan hilang karena habitatnya kita rebut. Musim semi akan menjadi sunyi. Kelak, kesunyian itu tak hanya karena bumi kehilangan kicau burung, tapi mungkin juga suara manusia.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :