WABAH virus corona telah menjalar ke seluruh dunia. Bahkan ke Amazon. Kementerian Kesehatan Brazil melaporkan ada anak usia 13 tahun yang meninggal setelah dinyatakan positif terinfeksi virus dari Wuhan, Tiongkok, ini. Pulau-pulau kecil di Karibia juga tak luput dari infeksi virus pneumonia ini.
Akibatnya, ketakutan dan kesedihan menjalar ke seluruh dunia. Kota-kota sepi karena pemerintah memberlakukan karantina wilayah. Penduduk berdiam di rumah seraya cemas virus hinggap di teras.
Masyarakat Adat Karuhun Sunda Wiwitan di Cigugur Kuningan, Jawa Barat, menyadari soal itu. “Vibrasi Covid-19 ini vibrasi kesedihan,” kata Oki Satrio, Girang Pangampi atau Pendamping dan Pembimbing Para Sepuh Wilayah Bagian Luar Sunda Wiwitan pada 13 April 2020.
BACA: Mengapa Kelelawar Jadi Sumber Virus Mematikan?
Menurut Oki, masyarakat Sunda Wiwitan yang bermukim di kaki Gunung Ciremai sudah menjalankan anjuran pemerintah menjaga jarak ketika mengobrol dan menjalankan pembatasan interaksi sosial untuk mencegah penularan virus.
Para sesepuh, sementara itu, punya ide memainkan gamelan tiap malam selama satu jam untuk melawan aura kesedihan yang dibawa virus corona. “Dalam keyakinan kami virus membawa aura kesedihan dan kemarahan harus dilawan dengan kegembiraan,” kata Oki. “Gamelan adalah upaya untuk membangkitkan aura kebahagiaan dan welas asih.”
Dalam perspektif masyarakat adat Sunda Wiwitan, kata Oki, virus juga adalah mahluk hidup. Seperti manusia, mereka juga memiliki perasaan, naluri, frekuensi, dan vibrasi ketika mendatangi habitat kita. “Virus akan hidup dan memperbanyak diri jika menemukan inang dengan vibrasi serupa,” kata Oki.
Karena itu para sesepuh juga bernyanyi sambil memainkan gamelan menembangkan rumpaka-rumpaka (syair lagu) tentang kasih sayang seorang ibu, kasih sayang terhadap kehidupan. Syair-syair itu berisi peringatan agar kita lebih welas asih kepada sesama mahluk hidup lain, peduli pada lingkungan, dan menjaga alam.
Menurut Oki, virus corona yang membawa aura kesedihan dan kemarahan itu akan semakin liar jika manusia juga menyambutnya dengan kemarahan dan kesedihan. Sebab, kita akan memiliki aura serupa dengan virus yang sedang mencari inang baru di tubuh manusia itu.
Oki dan para sepuh Sunda Wiwitan sadar apa yang mereka lakukan menimbulkan pertanyaan bagi kalangan luar komunitas di tengah anjuran pembatasan interaksi sosial. “Beberapa kalangan mempertanyakan, ‘Ini orang adat, kok, masih pukul gamelan?’,” kata Oki.
Apalagi sempat ada kabar salah seorang penduduk Sunda Wiwitan tertular Covid-19. Penduduk ini membuka warung dan diduga tertular dari pembelinya. Namun, ketika diperiksa di rumah sakit dan menjalani tes, penduduk tersebut dinyatakan negatif. Ia menderita tifus.
Oki menambahkan soal nyanyian dan gamelan itu: “Ini cari kami membantu, mendoakan bumi untuk melawan frekuensi. Gelombang kesedihan dan kemarahan itu berapa MegaHertz? Kami harus geser ke beberapa karakter rumpaka lama yang membuat orang menjadi bahagia, cinta tanah air, cinta pada kehidupan, pada tanah, pada orang tua. Sehingga aura kesedihan dan kemarahan itu bergeser pelan-pelan.”
BACA: Virus Corona dan Hilangnya Keanekaragaman Hayati
Dalam perspektif ilmu pengetahuan, virus corona menyerang kekebalan tubuh. Kekebalan tubuh manusia akan turun ketika kita bersedih, marah, takut akibat mengonsumsi berita-berita soal kepanikan akibat wabah corona. Para ahli sudah sepakat bahwa manusia memiliki sistem alami dalam kekebalan tubuh melawan segala jenis virus, kuman, dan bakteri.
Wakil Ketua Ombudsman Lely Pelitasari Soebekty yang terinfeksi virus ini memiliki pengalaman serupa. Imunitas tubuhnya turun karena memikirkan sebuah masalah di masa isolasi di Rumah Sakit Bhayangkara, Jawa Barat. Akibatnya, tenggorokannya gatal dan ia meriang tiba-tiba. Lely melawannya dengan menata pikiran, meminum madu dan air hangat, serta berpikir lebih positif.
Wali Kota Bogor Bima Arya juga menyarankan hal serupa. Melalui media sosialnya ia menganjurkan agar masyarakat tak terlalu banyak mengonsumsi berita negatif tentang corona karena akan menurunkan sistem kekebalan tubuh akibat cemas dan takut. Akibatnya, virus corona akan menyerang lebih leluasa.
Mengikuti anjuran pemerintah dalam pembatasan interaksi sosial di masa pandemi, Masyarakat Adat Karuhun Sunda Wiwitan sudah memutuskan tidak menyelenggarakan Seren Taun, upacara adat panen padi yang dilakukan setiap tahun pada Agustus. Para pupuhu atau Kepala Adat Karuhun Sunda Wiwitan meminta Seren Taun dirayakan dalam suasana yang lebih sunyi.
Para pupuhu, kata Oki, meminta masyarakat adat mengupas padi dalam diam, memakai tangan, sambil mendoakan dan meminta para leluhur menjaga bangsa ini. Seren Taun biasanya menumbuk padi sebagai simbol panen dan mencukupi kebutuhan ke depan. “Kami kupas setiap hari dengan memakai pakaian adat,” kata Oki.
Karena akan membutuhkan waktu lama, Seren Taun dengan mengupas padi memakai tangan ini dimulai bulan April 2020.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB
Topik :