SELAMA ini Ramadan selalu dikesankan sebagai bulan yang meriah, gegap gempita, kita makan makanan yang lebih mewah dibanding bulan-bulan yang lain. Bahkan belanja makanan kita melonjak di bulan suci ini.
Meski tidak salah, menyambut Ramadan dengan gegap gempita seperti itu mungkin sedikit berbeda dengan makna asli dari Ramadan dan shaum (puasa). Jika kita membuka kamus dan mu’jam (penjelasan makna kata) bahasa Arab, kita akan dapati bahwa Ramadan berasal dari kata ramadha yang berarti hujan pertama di musim gugur. Hujan yang menghapus panas dari musim sebelumnya, yaitu musim kemarau.
Sebelum datang Islam, penanggalan Arab memakai sistem solar (syamsiyah), yang didasarkan pada perputaran bumi pada matahari. Ini mirip dengan sistem penanggalan umum yang kita pakai saat ini. Dalam sistem penanggalan matahari, setiap bulan jatuh di musim yang sama. Misalnya, Desember di belahan bumi utara selalu jatuh di musim dingin. Demikian juga saat masyarakat Arab sebelum Islam memakai penanggalan solar, maka di saat itu Ramadan selalu jatuh di awal musim gugur.
BACA: Virus Corona: Buah Kita Merusak Bumi
Hal ini berubah seiring dengan bergantinya penanggalan Arab dari solary menjadi lunary (dihitung berdasarkan satu putaran bulan mengelilingi bumi). Di penanggalan lunary seperti penanggalan hijriah sekarang, bulan datang di musim yang berbeda setiap tahunnya. Ini karena ada perbedaan sekitar 10 hari dibandingkan penanggalan solary.
Dalam surat Al-Baqarah dijelaskan bahwa puasa tidak hanya diwajibkan kepada umat Islam, tapi juga kepada umat-umat sebelumnya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa umat-umat terdahulu juga berpuasa di awal musim gugur.
Sebagaimana kita tahu, musim gugur dan dingin di negara empat musim (sub-tropis) adalah musim ketika banyak hewan yang mulai bersiap untuk berhibernasi. Demikian juga dengan tumbuhan. Mereka mulai merontokkan daun dan sementara “pingsan” untuk tumbuh lagi di musim semi. Ramadan adalah lambang dari hibernasi, waktu di mana kita berdiam dan tidak melakukan banyak aktivitas di luar rumah.
Meski Ramadan di masa Islam tak lagi selalu jatuh di musim gugur, semangat yang sama, semangat untuk berhibernasi seperti halnya alam sekitar, juga diadopsi. Perhatikan, semua ibadah di bulan Ramadan dibuat dengan maksud agar kita lebih banyak berdiam untuk melakukan taamul. Dalam bahasa modern, taamul ini diterjemahkan sebagai meditasi.
Di bulan Ramadan, manusia seperti beruang yang berhibernasi. Kita tidak makan dan minum (meski hanya setengah hari) dan juga berdiam diri (i’tikaf). Tidak hanya dua ibadah utama itu, ibadah yang lain seperti banyak membaca Al-Quran dan memperbanyak zikir juga dirancang agar kita masuk ke dalam gua dan mengurangi aktivitas fisik. Bahkan Nabi SAW berkata bahwa tidurnya orang puasa itu ibadah.
Arti puasa atau shaum sendiri adalah menahan diri. Tidak hanya lapar dan haus. Dalam surat Maryam dikisahkan, ibunda Isa Al-Masih ini melakukan shaum dengan tidak bicara. Jadi, shaum atau puasa adalah menurunkan atau membatasi peran dan aktivitas fisik kita.
Tujuan dari semua pembatasan aktivitas fisik ini adalah memberi kesempatan kepada kita untuk masuk lebih menukik ke dalam dimensi spirit (ruh) yang selama ini kerap kita lupakan. Itu karena kita selama ini lebih banyak berkonsentrasi pada dimensi fisik.
BACA: Sedikit Puasa Banyak Sampahnya
Tujuan kedua dari puasa adalah mengistirahatkan bumi dari eksploitasi yang selama ini kita lakukan. Bumi sebagai mustaqar (tempat berdiam) yang disebut oleh Allah di surat Al-Baqarah perlu juga diistirahatkan agar mampu memberikan mataa’ ila hiin, bekal kepada umat manusia hingga satu masa kelak.
Sayangnya, selama ini yang kita lakukan adalah sebaliknya. Saat Ramadan kita justru semakin memperbanyak aktivitas fisik dan mengkonsumsi bekal yang Allah sediakan itu. Di masa pandemi ini, ada baiknya kita mengembalikan makna puasa dan Ramadan kepada esensinya, hingga bumi bisa beristirahat sejenak.
Gambar oleh cdd20 dari Pixabay.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Sarjana Hadits Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, Kairo
Topik :